Nasional

Narasi "Bunuh Sultan" Merupakan Provokasi Berlebihan

Oleh : very - Minggu, 06/05/2018 11:39 WIB

Narasai bunuh sultan di Yogyakarta sangat berlebihan. (Foto: Ist)

 

Yogyakarta, INDONEWS.ID - Sebagaimana disorot oleh banyak media, aksi Hari Buruh pada 1 Mei 2018 di ibukota dan berbagai daerah berlangsung dengan aman dan damai sekalipun diwarnai berbagai tuntutan atas perbaikan kehidupan buruh.

Berbeda dengan daerah lain, aksi di Jogyakarta di lokasi pertigaan kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga berlangsung ricuh. Aksi diwarnai dengan kericuhan antara warga dengan pendemo yang dipicu oleh penghinaan atas Sultan HB X bahkan ancaman tertulis “Bunuh Sultan” di tembok-tembok dan baliho oleh pendemo.

Aksi juga dilakukan dengan pembakaran ban dan penutupan Jalan Adisutjipto, salah satu jalan tersibuk di Yogyakarta karena merupakan akses utama ke Bandara dan ke luar kota. Tidak hanya itu, aksi juga ditingkahi dengan kebrutalan perusakan dan pembakaran pos polisi menggunakan bom molotov. Aksi berujung dengan penangkapan sekitar 69 orang pendemo.

Koordinator Setara Institute, Hendardi memberi catatan khusus atas peristiwa tersebut.

“Pertama, kebebasan berekspresi, berunjuk rasa, dan mengemukakan pendapat di depan umum merupakan hak konstitusional warga yang dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Namun demikian, penikmatan hak tersebut tidak boleh melanggar hak dan kebebasan orang lain,” ujarnya.

Selain itu, penunaian hak tersebut juga harus dilakukan secara damai, tanpa kekerasan, dan tidak dengan perusakan fasilitas-fasilitas umum. “Dalam konteks demo di pertigaan UIN Yogyakarta tersebut, kita harus memberikan kesempatan kepada kepolisian untuk melaksanakan kewenangannya dalam menegakkan hukum,” ujarnya.

Kedua, dalam rangka penegakan hukum tersebut, sebaliknya aparat kepolisian juga harus melaksanakan kewenangannya secara profesional sesuai dengan koridor hukum dan peraturan perundang-undangan. Aparat kepolisian, katanya, juga harus menjamin kerja-kerja bantuan hukum dan tidak menghalang-halangi kerja penasehat hukum untuk menjalankan profesinya dalam memberikan bantuan hukum bagi para pendemo yang ditangkap.

Ketiga, provokasi-provokasi yang dilakukan oleh oknum pendemo berupa penghinaan terhadap Sultan HB X, simbol utama kekuasaan politik dan kultural yang disegani di Jawa, khususnya di wilayah Kesultanan Jogyakarta, sama sekali tidak relevan dengan tuntutan dan isu perburuhan dalam aksi Hari Buruh Sedunia.

“Narasi ‘Bunuh Sultan’ yang cukup massif dalam demo kemarin nyata-nyata merupakan provokasi brutal yang sangat berlebihan. Narasi tersebut hampir pasti bukan muncul dari aspirasi mahasiswa atau buruh pendemo. Demo rusuh tersebut telah disusupi oleh pihak-pihak yang memang menginginkan kekacauan,” ujarnya.

Hal itu merupakan indikasi awal bahwa menjelang perhelatan elektoral, khususnya Pilpres 2019, ada pihak-pihak yang coba-coba merepetisi pola lama yaitu memancing situasi chaos dan menebar ketakutan di tengah masyarakat, untuk kepentingan politik Pilpres 2019.

“Dengan cara itu, kelompok yang kekuatan dan pengaruh riilnya kecil tersebut berharap, rasionalitas politik para pemilih dalam menggunakan hak pilihnya dapat ditekan sedemikian rupa,” pungkasnya. 

 

Artikel Terkait