Daerah

Warga Jonggol Minta Penegak Hukum Tuntaskan Dugaan Penyerobotan Lahan

Oleh : hendro - Sabtu, 16/06/2018 14:27 WIB

Ilustrasi penegak hukum (istimewa)

Bogor, INDONEWS.ID - Kasus dugaan penjualan lahan negara sekaligus penyerobotan tanah milik warga di Desa Singasari, Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor, terus bergulir.

Perkara yang diduga menyeret mantan Bupati Bogor Rahmat Yasin (RY) dan istrinya Ade Yasin alias Ade Munawaroh itu, bermula dari langkah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) yang menyita lahan PT Bank PSP di Desa Singasari yang sedang dijaminkan ke negara lantaran terkait kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), pada awal April 2018.

Beberapa pekan setelahnya, warga atau petani pemilik tanah di Desa Singasari melakukan unjuk rasa karena khawatir terhadap keputusan DJKN.

Mereka berharap agar tanahnya tidak ikut disita, apalagi warga mengklaim beberapa tahun sebelumnya tanah mereka seluas 14 hektar, diserobot oleh pihak yang disinyalir kroni Rahmat Yasin.

Persoalan ini terus berlanjut setelah Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Juanda melakukan aksi di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan menyerahkan sebundel berkas barang bukti, serta aksi susulan warga pemilik tanah di kantor KPK dan Istana Negara pada 7 Juni 2018 lalu.

Menurut Dace, salah satu pemilik tanah, menjelaskan peristiwa bermula kala dirinya dan warga hendak menjual tanah adat yang sudah dikelola turun temurun dan diwariskan kepada mereka, sekira tahun 2013-2014.

“Ketika hendak mengurus surat-surat tanah untuk diperjual-belikan, ternyata tidak bisa. Kami kaget karena tidak bisa menjual tanah karena sudah atas nama orang lain. Di antaranya sudah atas nama RY (Rahmat Yasin) dan kroninya, serta diklaim atas nama Siti Hutami Endang Adiningsing atau Mamiek Soeharto,” ujarnya, Sabtu (16/6/2018).

Karena merasa tidak pernah menjual lahan sebelumnya, Dace dan warga melakukan penelusuran. Hasilnya, kata Dace, diketahui jika pangkal persoalan berawal dari Rudi Wahab selaku kuasa lahan PT Bank Putra Surya Perkasa (PSP), yang memberikan tanah seluas sekitar 100 hektare sebagai kompensasi dikeluarkannya izin pendirian yayasan dan pondok pesantren oleh Pemerintah Kabupaten Bogor yang dipimpin Rahmat Yasin.

“Permasalahannya adalah RY dan para kroninya ingin menjual tanah tersebut kepada Mamiek Soeharto. Untuk menghindari kecurigaan adanya hibah yang sangat besar yaitu 100 hektar, RY dan para kroninya mengakali seakan-akan itu adalah tanah warga yang sudah dijual-belikan kepada mereka,” kata dia.

Guna memuluskan rencana, imbuh Dace, dibuatlah akta jual-beli (AJB) yang diduga palsu, beserta pelibatan para joki. Joki berperan sebagai warga yang seolah-olah telah menjual lahannya.

“Dari AJB palsu itulah kemudian terbit sertifikat tanah atas nama Rahmat Yasin, Ade Yasin, Lesmana, Zaenal Mutaqin, Rudi Ferdian, Diana, dan lain-lain. Parahnya bukan hanya tanah PT PSP yang digelapkan, tanah warga pun tidak luput diserobot oleh RY dan kroni-kroninya karena Mamiek ingin beli tanah satu hamparan,” papar Dace.

Sejak 2014, Dace dan pemilik tanah lainnya sudah berjuang untuk mempertahankan tanah mereka. Guna memperjuangkan keinginannya, mereka pun menggunakan jasa pengacara bernama Supasmo.

“Dulu sempat ingin dibayar murah Rp 40 ribu/meter, ya sangat murah lah. Sementara kami menggantungkan hidup di tanah kami yang sudah diwariskan secara turun temurun. Kami tidak rela tanah kami dirampas. Hari ini harga tanah sudah Rp500 ribu,” tandasnya.

Sementara, Janin, warga Desa Singasari yang mengaku menjadi joki, mengatakan dirinya hanya diminta menandatangani AJB dengan blanko kosong tanpa penjelasan pihak pertama dan kedua dalam transaksi, pada 2012 silam. Atas jasanya, Janin dan Joki lainnya diberi imbalan masing-masing Rp 700 ribu.

“Saya tanya (kepada pihak penyuruh), ‘Nanti ada kasus enggak awal-akhirnya?’. ‘Sudah enggak ada apa-apa, ini mah buat masyarakat. Jangan baca lama-lama sudah tanda tangan’ (jawab penyuruh),” ungkap Janin.

Belakangan Janin dan joki lainnya baru mengetahui jika lahan tersebut tanah sitaan kejaksaan dalam kasus BLBI pada 1998.

Janin membeberkan, ada sekitar 20 warga yang diminta meneken AJB, secara bertahap dan diberi imbalan uang. Karena tindakannya disinyalir bermasalah secara hukum, kata dia, para joki kini merasa ketakutan.

Sementara itu, Pengamat hukum sekaligus pemerhati masalah sosial M Idris Hady, meminta penegak hukum serius menangani kasus ini. Proses hukum diharapkan tidak tebang pilih, menyasar semua pihak yang dianggap bertanggung jawab.

“Aparat hukum harus segera memproses pihak-pihak yang terlibat dan wajib menuntaskannya. Ini adalah perampokan berencana dan sangat keji,” tandasnya. (Hdr)

Artikel Terkait