Politik

FPI Oposisi, Dinamika Politik Cenderung Tinggi Bahkan Volatile

Oleh : very - Senin, 01/07/2019 08:21 WIB

Pengamat politik dari President University AS Hikam. (Foto: channel indonesia)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Tekad Forum Pembela Islam (FPI) melancarkan apa yang disebut dengan `Jihad Konstitusional` adalah gestur politik bahwa ormas Islam ini telah berkeputusan untuk menjadi pemuka dalam barisan oposisi terhadap Presiden Joko Widodo dari kalangan masyarakat sipil Indonesia.

Pengamat politik dari President University, Muhammad AS Hikam mengatakan keputusan FPI itu penting bagi perkembangan politik pasca-Pilpres 2019.

“Dari 9 parpol peserta Pemilu 2019, hanya satu parpol, PKS, yang belum diwacanakan punya kemungkinan masuk ke dalam koalisi petahana. Gerindra, yang merupakan pengusung utama pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pun sudah dikabarkan sedang dalam tahapan tawar menawar dengan pihak Istana,” ujar Hikam di Jakarta, Minggu (30/6).

Jika hal itu benar-benar terjadi, maka PKS memerlukan dukungan kekuatan basis untuk menopang posisinya di Parlemen. Dan FPI akan potensial mengisi keperluan tersebut  bersama dengan komponen-komponan Islam politik lain, seperti GNPF, FUI, eks HTI, dll.

Menurut Hikam, dalam konstelasi politik yang demikian kehadiran dan pengaruh politik FPI di kancah politik Indonesia akan semakin terasa dan lebih signifikan ketimbang selama ini. Sinergi antara kekuatan politik elektoral dengan politik massa bisa terbangun tanpa mengalami kendala ideologis seperti saat berkolaborasi dengan Gerindra.

Seandainya Gerindra ternyata "urung" menjadi bagian dari koalisi petahana - karena satu dan lain hal -  dan berbalik bergabung dengan PKS, menurut Hikam, posisi FPI dalam kubu oposisi tetap menentukan. Gerindra tetap memerlukan sekutu basis massa untuk manuver politiknya pada 5 tahun ke depan.

“Implikasinya, FPI punya kesempatan terbuka untuk memperluas dan memperdalam lingkup pengaruh politiknya yang belum pernah mampu dilakukan selama dua dasawarsa terakhir ini. Terpulang kepada pimpinan FPI, khususnya Imam Besar yang masih di Makkah, bagaimana ormas ini akan berkiprah sebagai oposisi pada 5 tahun pemerintahan Presiden Jokowi ke 2,” ujarnya.

Menurut Hikam, dinamika politik lima tahun mendatang akan cenderung lebih tinggi bahkan bisa saja volatile, terutama apabila Gerindra tidak jadi gabung dengan pemerintah. Partai ini juga akan lebih berkesempatan meraih simpati publik melalui jalur oposisi di Parlemen ketimbang menjadi pendukung pemerintah. Dengan capaian sebagai nomor dua dalam Pileg 2019, bukan tidak mungkin bisa didongkrak lagi pada 2024!

Hikam mengatakan, bagi kehidupan demokrasi yang sehat, keberadaan kekuatan oposisi yang kuat sangat penting. “Kendati FPI memiliki ideologi politik Islam Salafis, tetapi masih belum bisa dikategorikan sebagai kelompok radikal seperti eks HTI, apalagi dibanding dengan JAT, JAD, NII, JI, ISIS, Al-Qaeda, dll. Jika FPI memperkuat barisan oposisi dari ranah masyarakat sipil, maka kekuatan pengontrol terhadap Pemerintah Presiden Jokowi dan parpol-parpol pendukungnya menjadi besar dan lebih seimbang,” pungkasnya.

Seperti diketahui, sebelumnya, Ketua FPI Sobri Lubis menegaskan, organisasinya tak bakal berhenti melawan, seandainya Mahkamah Konstitusi memenangkan Capres Cawapres nomor urut 1 Jokowi – Maruf Amin dalam perkara sengketa hasil Pilpres 2019.

Sobri menuturkan, kalau semua permohonan Capres Cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno ditolak MK, maka FPI akan berjuang melakukan jihad panjang secara konstitusional.

"Kalau 01 yang menang, kami tetap akan berjuang. Siapkan diri kita untuk jihad panjang. Jihad konstitusional jangka panjang," kata Sobri saat berorasi dalam aksi mengawal hasil sidang sengketa Pilpres di MK, Kamis (27/6/2019).

Dalam orasinya, Sobri mengajak agar massa aksi tetap berkomitmen mendukung Prabowo - Sandiaga. Ia mengatakan akan menolak segala bentuk kecurangan sampai kapan pun. (Very)

Artikel Terkait