Nasional

LSM Kritik Pemblokiran Akses Internet Di Papua

Oleh : Ronald - Jum'at, 23/08/2019 10:55 WIB

Imbas dari kerusuhan yang terjadi di Papua pada Senin (19/8/2019) lalu, pemerintah memblokir akses internet di Papua. Kontras dan beberapa LSM mengkritik kebijakan tersebut karena dianggap diskrimintif. (Foto : ilustrasi)

Jakarta, INDONEWS.ID - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengkritik respons pemerintah yang memperlambat akses internet di beberapa wilayah Papua.

KontraS merasa langkah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melanggar hak masyarakat mendapat informasi sesuai Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945.

Perlambatan akses awalnya dilakukan hari Senin (19/8) ketika rusuh bermula di Manokwari, Papua Barat. Namun Hari Rabu (21/8), Kominfo memblokir akses internet di beberapa titik Papua dengan dalih mempercepat pemulihan situasi keamanan dan ketertiban di wilayah tersebut.

Yati Andriyani, Koordinator KontraS mengatakan main potong akses itu menunjukkan negara gagal menangani masalah Papua secara demokratis.

“Perlambatan ini seharusnya tidak dilakukan pemerintah,” kata Yati dalam keterangan tertulis, Kamis (22/8/2019).

Yati juga menjelaskan tindakan itu semakin menunjukkan perlakuan diskriminatif terhadap masyarakat Papua. Sementara tindakan rasis terhadap mahasiswa Papua belum jelas proses hukumnya.

“Kami nilai jauh dari penyelesaian yang tepat,” kata Yati.

Dirinya mengatakan pemerintah terkesan menghindari pengawasan dalam menangani situasi di Papua apabila internet diperlambat. Seharusnya akses internet dibuka agar publik dapat memantau kondisi keamanan di Bumi Cenderawasih itu.

Selain itu ia juga menyoroti nihilnya parameter pemerintah atas kebijakan pembatasan akses internet. Bukan pertama kalinya penggunaat internet dibatasi dengan alasan keamanan.

Dalam kerusuhan 22 Mei lalu, kebijakan serupa diambil Kominfo sehingga akses informasi dan komunikasi terputus atau melambat.

“Negara berdalih alasan keamanan, sementara kita tak pernah dapat akuntabilitas dari proses itu,” ujar Yati.

Menurut Yati, situasi menjadi janggal mengingat adanya penambahan aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI)/Polri bersamaan dengan blokir internet. Seharusnya kehadiran personel keamanan dibarengi pembukaan akses informasi seluas-luasnya.

“Demi memastikan adanya transparansi kinerja aparat keamanan,” katanya.

Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) Damar Juniarto. Menurutnya, pemblokiran yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dapat melanggar hukum negara sendiri.

"Sebab, hal itu mencegah orang melakukan pekerjaan mereka. Ini adalah langkah mundur dalam demokrasi dan pelanggaran serius," katanya sebagaimana dilansir dari Al Jazeera, Jumat (23/8/2019).

SAFEnet pun mengampanyekan penolakan atas kebijakan pemerintah tersebut.  Kampanye di media sosial dengan menggunakan tagar #KeepItOn dan #NyalakanLagi meminta pemerintah agar mencabut larangan internet di Bumi Cendrawasih tersebut.

Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Ferdinandus Setu menjelaskan bahwa kebijakan ini diambil setelah berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dan instansi terkait. Dia mengatakan layanan data telekomunikasi akan kembali normal jika suasana di Papua kembali kondusif.

“Kami memutuskan untuk melakukan pemblokiran sementara layanan data telekomunikasi mulai hari ini,” kata dia dalam siaran pers, Rabu (21/8/2019) lalu. (rnl)

 

Artikel Terkait