Nasional

Parpol Dinilai Tidak Etis "Iming-imingi" Panglima TNI Jabatan Politis

Oleh : very - Jum'at, 06/10/2017 11:32 WIB

Diskusi publik Meninjau Kembali Reformasi Sektor Keamanan Indonesia, yang digelar The Habibie Center, Rabu (4/10/2017) lalu. (Foto: Indonews.id)

Jakarta, INDONEWS.ID - Nama Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo semakin santer disebut-sebut bakal menjadi “kuda hitam” dalam Pemilihan Presiden 2019 mendatang.

Sejumlah partai, sejak jauh hari sudah menyebut nama Gatot untuk dipasangkan dengan capres incumbent Joko Widodo, maupun sebagai bakal calon presiden.

Partai Nasdem misalnya, sudah mengincar Gatot untuk diduetkan dengan Jokowi. Sedangkan Partai Amanat Nasional (PAN) bahkan menyebutkan partainya bisa saja mengusung Gatot sebagai Capres 2019 mendatang.

Pengamat militer dari Universitas Indonesia Edy Prasetyono menyayangkan sikap “genit” partai politik tersebut. “Tidak etis partai politik, orang masih formal Panglima, diiming-imingi jabatan politis,” ujarnya dalam diskusi publik “Meninjau Kembali Reformasi Sektor Keamanan Indonesia”, yang digelar The Habibie Center, Rabu (4/10/2017) lalu.

Edy mengatakan, reformasi TNI sejak 1998 menghadapi tantangan karena tiga hal yaitu intervensi sipil, sipil yang kurang mampu sehingga menarik militer berpolitik, dan adanya godaan dalam tubuh militer untuk ikut berpolitik.

Menurutnya, tentara yang terlibat dalam pembentukan awal sebuah negara memang cukup sulit melepaskan diri dari godaan politik. Karena itu, sipil diminta untuk mendukung reformasi TNI dengan tidak menyeret-nyeret institusi itu dalam gelanggang politik.

“Reformasi TNI harus dilindungi dari si petualang politik yang menggoda. Belum apa-apa sudah digoda ‘nanti tak jadiin gubernur, atau calon presiden,” ujarnya.

Menjawab pertanyaan peserta dialog, Edy mengatakan, salah satu intervensi partai politik (DPR) itu muncul dalam proses pengangkatan Panglima TNI melalui mekanisme uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Karena itu, Edy mengusulkan proses tersebut hanya berupa konsultasi.

“Mestinya pengangkatan Panglima TNI itu berupa konsultasi, dan bukan persetujuan politik. Oleh karena itu, UU harus diamandemen. Yang perlu adalah konsultasi. Kalau di Australia dilakukan konsultasi dengan partai oposisi,” ujarnya.

Anggota Dewan Direktur, Expert on Security Sectors Governace Lokataru, Mufti Makarim mengatakan, untuk menyiasati intervensi partai politik dalam proses di DPR tersebut, Presiden hanya mengajukan satu calon Panglima TNI.

Mufti menyayangkan sikap partai politik yang mendorong-dorong Panglima TNI masuk dalam dunia politik. Menurutnya, masyarakat saat ini mengalami “amnesia”, lantaran kembali mengidolakan calon dari latar belakang militer.

“Kita sekarang mengidap amnesia. Sebelumnya trauma dipimpin militer, tetapi sekarang malah mengidolakan Panglima,” ujarnya.

Dewan Pakar The Habibie Center, Indria Samego menilai langkah Jenderal Gatot Nurmantyo selama ini sudah “di luar domainnya”. Indria membaca sikap Gatot sangat politis demi kepentingan 2019 mendatang.

Namun, Indria tidak melihat langkah Gatot itu bisa “membahayakan” calon lain, seperti Jokowi, yang akan maju dalam kontes Pilpres. Dia beralasan, jika pensiun, maka “sinar” Panglima akan redup dengan sendirinya. Dia mencontohkan Jenderal (Purnawirawan) Moeldoko, yang “suaranya sayup-sayup” ketika menuntaskan jabatan. (Very)

Artikel Terkait