Nasional

Madya : Tiga Tahun Jokowi-JK, Pembangunan Sektor Kebudayaan Masih Terabaikan

Oleh : luska - Selasa, 31/10/2017 12:03 WIB

Diskusi Madya.(Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Koordinator Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (MADYA), Jhohannes Marbun menilai, selama tiga tahu memerintah, Presiden RI Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla belum memberikan perhatian terhadap sektor kebudayaan.

“pembangunan di sektor kebudayaan masih terabaikan,” kata Koordinator MADYA, Jhohannes Marbun dalam keterangan resminya, Selasa (30/10/2017). 

Padahal dalam nawacita, Jokowi pernah berjanji bahwa kebudayaan merupakan penjabaran Tri Sakti yang harus ditingkatkan. “Menjadi sama pentingnya dengan pembangunan ekonomi maupun infrastruktur sekaligus dimanfaatkan sebagai simbol kebangkitan kebudayaan nasional,” ujarnya.

Menurut Jhohannes ada beberapa pekerjaan rumah di sektor Kebudayaan yang harus diperhatikan oleh Pemerintahan Jokowi – JK di sisa pemerintahannya.

Pertama, soal keberagaman budaya. Menurut Jhohannes, situasi keberagaman dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan di pemerintahan Jokowi belum memperlihatkan kemajuan yang signifikan. Bahkan, sambungnya, diskriminasi etnisitas dan benturan sosial masih marak terjadi mewarnai keseharian wajah pemerintahan hari ini.

“Pemerintah harus menjamin generasi muda mendapatkan pengetahuan kebudayaan lokal (‘ibu’) dan multikultur yang mumpuni sejak dini baik melalui jalur informal maupun jalur formal. Sebab belajar kebudayaan, sama halnya dengan mengenal diri kita dan lingkungan sekitar,” ujarnya.

Kedua, mengenai peraturan mapun kebijakan masih tumpang tindih dan belum dijalankan dengan baik. Jhohannes menilai Peraturan Pemerintah mengenai pelaksanaan dalam pelestarian Cagar Budaya belum ditetapkan oleh Presiden RI sampai dengan saat ini.

“Padahal menurut Pasal 117 UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya disebutkan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pelaksanaan Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal pengundangan,” katanya.

Sementara, sudah 7 tahun UU Cagar Budaya ditetapkan, namun sampai saat ini Jokowi belum menerbitkan PP sebagai turunan UU.“Ini menjadi contoh tidak baik, menciderai komitmen Trisakti, menciptakan disharmoni terhadap peraturan daerah, serta berimplikasi pada komitmen dan partisipasi pemerintah maupun pemda dalam melestarikan warisan budaya,” katanya.

Jhohannes memberikan contoh lain yaitu pengelolaan Cagar Budaya Bawah Air (CBBA). Keputusan Presiden RI Nomor 19 Tahun 2007 Tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal Yang Tenggelam sebagaimana diubah dengan Keputusan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2009 sudah tidak sesuai lagi dengan UU CB No.11/2010 seperti arah dan tujuan pengelolaannya (untuk kegiatan konservasi, bisnis atau kedua-duanya), lembaga pengelola, mekanisme pengelolaan, maupun hak dan kewajiban para pihak. “Keppres tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”, tegasnya.

Ketiga, Indonesia belum memiliki data yang akurat terkait potensi kebudayaannya. Padahal, katanya, dalam mengelola dan melestarikan warisan kebudayaan, data menjadi dasar dalam mengelola kebudayaan yang ada.

“Ide ini pernah dijadikan sebagai rencana strategi sektor Kebudayaan pada masa pemerintahan SBY periode kedua, namun melihat Renstra (rencana strategis) 2015 – 2019 Pemerintahan Jokowi – JK tidak mengakomodirnya,” katanya.

Lebih lanjut Jhohannes mengusulkan Pemerintah perlu melakukan aksi jemput bola untuk mendata seluruh potensi kebudayaan di Indonesia dengan program Sensus Kebudayaan. “Presiden Jokowi harus tampil di depan melakukan kampanye dengan mendaftarkan pusaka atau warisan budaya yang dimilikinya sekaligus mengajak para pejabat maupun masyarakat Indonesia untuk mendaftarkan,” jelasnya.

Keempat, situasi darurat dalam Revitalisasi Cagar Budaya. Jhohannes mengacu pada peristiwa kebakaran Kampung Tarung di Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada 7 Oktober 2017 lalu. Pada musibah itu, sebanyak 28 rumah adat serta dua unit rumah ibadah penganut kepercayaan Marapu mengalami kerusakan.

Selain Kampung Tarung, Jhohannes juga memberi contoh peristiwa kebakaran Ruma Batak Jangga Dolok di Desa Lumban Julu, Kabupaten Toba Samosir, Provinsi Sumatera Utara yang terjadi pada tanggal 1 Januari 2016 silam. Kebakaran rumah adat di beberapa daerah dikarenakan bahan dasar yang digunakan memang sangat rentan terbakar seperti kayu, atap rumbia, ilalang, ijuk atau bahan lain yang tersedia di lingkungan sekitarnya.

“Kehadiran Pemerintah maupun Pemerintah Daerah sangat diharapkan dalam mengatasi permasalahan yang ada, termasuk pembangunan kembali rumah-rumah berarsitektur khas kebudayaan nusantara tersebut,” ujarnya.

Kelima, pengawasan dan penegakan hukum. Jhohannes menilai, penyelamatan Pasar Cinde di Palembang, Provinsi Sumatera Selatan belum dilakukan. Padahal bangunan Cagar Budaya Pasar Cinde telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya melalui Surat Keputusan (SK) Walikota Palembang Nomor 179a/KPTS/Disbud/2017.

“Sekalipun menyandang status sebagai Cagar Budaya, ternyata keberadaan Pasar Cinde secara hukum tetap dalam kondisi yang tidak aman, pada prakteknya beberapa bagian bangunan sempat dihancurkan oleh perusahaan pelaksana,” ujarnya.

Menurut Jhohannes, berdasarkan UU Cagar Budaya, pelaku penghancuran seharusnya sudah dikenakan pidana. “Kenyataannya para pelaku maupun perusahaannya tetap bebas tanpa diproses hukum dan dikenai sanksi,” katanya.

Sebagaimana diketahui isu penegakan hukum dalam pelestarian Cagar Budaya selalu menjadi permasalahan sejak pemerintahan sebelumnya sampai saat ini, dan belum teratasi dengan baik. Jhohannes mengusulkan kepada pemerintah maupun pemda membentuk Direktorat/Bidang Penegakan Hukum Pelestarian Cagar Budaya sebagai payung organisasi para PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) dan Polisi Khusus sebagaimana dimandatkan dalam UU CB No.11/2010.

Selain itu Pusat Pengaduan Masyarakat merupakan salah satu terobosan yang perlu dilakukan oleh institusi kebudayaan sebagai model pengawasan untuk menindaklanjuti kasus-kasus yang tidak ditindaklanjuti oleh Pemda maupun UPT Pemerintah yang ada di daerah.

Jhohannes meyakini, apabila hal itu terwujud, maka ini akan sangat mengefektifkan kerja-kerja pelestarian Cagar budaya. Termasuk menyelesaikan kasus-kasus sebelumnya seperti pencurian 75 koleksi emas masterpiece Museum Sonobudoyo Yogyakarta (2010), Pencurian 4 koleksi emas masterpiece Museum Nasional (2013), dan proses pengembalian Patung Perunggu “Wulu” asal Flores yang saat ini berada di National Gallery of Australia (2014).

Keenam, ujar Jhohannes, sinergitas antar Kementerian/Lembaga maupun Pemerintahan Daerah, juga masih lemah. Jhohannes menilai, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan belum sepenuhnya mendorong dan berperan dalam pembangunan nasional yang berwawasan kebudayaan.

“Isu-isu lintas sektoral seperti, good governance, kepastian hukum, disabilitas, gender, transparansi, partisipasi publik, sustainability (berkesinambungan) dan lainnya, Seharusnya sebagai pintu masuk keterhubungan masing-masing Kementerian atau lembaga maupun Pemerintahan Daerah,” katanya.

Terakhir, kata Jhohannes, mengenai penghargaan, royalti, dan dukungan lainnya terhadap para tokoh. Menurutnya, bangsa Indonesia memiliki banyak tokoh seni, budaya, atau pelaku karya kreatif. “Namun sepeninggal mereka, seringkali karya mereka tidak terurus dengan baik,” ujarnya.

Jhohannes menyarankan pemerintah Indonesia perlu mengelola karya-karya tersebut agar memberi manfaat optimal bagi banyak orang. “Tentu tidak lupa memberi penghargaan terhadap tokoh-tokoh yang masih hidup serta membantu pengurusan royalti atas karya-karya mereka,” pungkasnya.(Lka)

Artikel Terkait