Sosok

Antara Marhaen dan Sugriwa, Kisah Rizal Ramli Tentang Perjuangan Wajib Belajar 6 Tahun

Oleh : very - Rabu, 01/11/2023 11:16 WIB

Tokoh nasional, DR Rizal Ramli. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Marhaenisme adalah teori politik yang dilahirkan presiden pertama Republik Indonesia, Ir Soekarno. Ideologi marhaenisme lahir ketika Soekarno berusia 20 tahun dan menempuh kuliah di Kota Bandung.

Pada suatu pagi Soekarno tidak mengikuti kuliah. Karena itu, dia memutuskan berkeliling, mengayuh sepeda tanpa tujuan. Sampailah Soekarno di wilayah selatan Kota Bandung.

Dalam buku “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” yang ditulis Cindy Adams diceritakan bahwa kawasan tersebut adalah pertanian yang padat. Para petani bekerja di sawahnya yang luas kurang dari sepertiga hektare.

Soekarno kemudian bertemu dengan seorang petani yang mencangkul tanahnya dengan mengenakan pakaian yang lusuh. Dalam bahasa Sunda, Soekarno bertanya, "Siapa pemilik tanah yang garap ini?" Petani itu menjawab, "Saya, juragan."

Petani yang bernama Marhaen tersebut bercerita jika tanah yang ia kelola turun-temurun itu diwariskan dari orangtua kepada anaknya. Saat ditanya oleh Soekarno, Petani Marhaen juga mengaku jika semua alat yang ia gunakan adalah miliknya sendiri termasuk sekop, cangkul hingga bajak dan rumah kecil yang ada di tanah itu.

Dia juga mengerjakan sepetak sawahnya seorang diri tanpa bantuan orang lain. Hasilnya untuk keluarganya yakni istri dan empat orang anaknya. "Hasilnya sekadar cukup untuk makan kami. Tidak ada lebihnya untuk dijual," kata Petani Marhaen tersebut.

Entah mendapat insiprasi dari cerita Soekarno tentang Marhaen atau tidak, Rizal Ramli juga memiliki cerita serupa tentang kaum miskin papa. Pengalaman pertemuan Rizal Ramli dengan seorang nelayan akhirnya membawanya pada perjuangan untuk mengentaskan rakyat dari kemiskinan. Begini kisahnya.

Pada suatu sore, Rizal Ramli dan temannya ke pantai dan mendapati seorang nelayan. Kemudian mereka memutuskan untuk melaut bersama sang nelayan dan seorang anaknya. 

Nelayan itu memiliki seorang anak, Sugriwa, yang bertugas membantu menaikkan ikan ke rumah di tengah laut, atau yang biasa disebut bagan. Mereka bekerja semalaman suntuk, namun hasilnya tidak seberapa. Mereka hanya berhasil menangkap ikan sebanyak dua ember kecil.

Sugriwa, seorang anak berusia Sekolah Dasar, menjadi inspirasi bagi Rizal Ramli. Anak seusia itu seharusnya belajar di sekolah. Namun karena ketiadaan biaya, dia terpaksa harus meninggalkan sekolah untuk membantu ayahnya.

Setelah dipelajari, ternyata ada 8 juta anak usia SD yang tidak bisa belajar di seluruh Indonesia. Semuanya tiada lain karena mereka tidak memiliki biaya.

Karena itu, sejak itu, Rizal Ramli bersama teman-temannya mulai memperjuangkan wajib belajar 6 tahun. Mereka mendesak pemerintah agar segera memberlakukan aturan tersebut. Mereka berjuang baik melalui tulisan, aksi hingga demonstrasi di lapangan. 

“Saya meminta bantuan WS Rendra dan sutradara terkenal Sumanjaya untuk membuat film. Akhirnya jadilah sebuah film dengan judul ‘Yang Muda Yang Bercinta’. Film itu mengisahkan percintaan di kampus dengan latar belakang mahasiswa yang memperjuangkan gerakan wajib belajar. Jadi, kami memadukan gerakan bukan hanya dengan studi tapi juga dibarengi dengan gerakan budaya,” ujar mantan Menko Kemaritiman ini seperti dikutip timesindonesia.co.id/.

Tokoh pergerakan itu juga mengorganisasi sebuah demonstrasi di ITB. Waktu itu, Rendra membacakan puisi yang sangat terkenal dengan judul “Sebatang Lisong”.

Akhirnya setelah tiga tahun berjuang, gerakan yang disebutnya “Gerakan Anti Kebodohan” itu mendapat perhatian dari pemerintah dengan menggolkan UU Wajib Belajar 6 Tahun.

“Akhirnya 8 juta anak bisa diselamatkan dan bisa bersekolah,” ujarnya. ***

Artikel Terkait