Nasional

Tolak Ideologi Khilafah dan Komunisme, Pancasila Harus Jadi Panutan

Oleh : very - Rabu, 25/09/2019 21:12 WIB

Peneliti senior dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. R. Siti Zuhro, MA, Ph.D. (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID -- Kesaktian Pancasila sering didengungkan sebagai bukti keteguhan falsafah negara ini dalam menghadapi upaya ancaman penggantian ideologi negara. Padahal Pancasila sakti bukan karena ia mampu menolak berbagai ideologi yang mengancam, tetapi kesaktian Pancasila ini karena ia menjadi bagian integral yang telah melindungi keragaman dan sesuai dengan identitas bangsa, sehingga ideologi lain seperti Komunisme ataupun Khilafah menjadi tak relevan dan tertolak.

Ideologi seperti Komunisme yang pada mulanya ingin memperjuangkan kelompok proletar dan kaum tertindas direduksi menjadi ideologi keras yang bertentangan dengan Pancasila yang berketuhanan. Begitu pula Khilafah sebagai model kepemimpinan dalam Islam yang menerapkan Syariah direduksi menjadi ideologi kekuasaan yang ingin memberangus keragaman dan kebinnekaan yang bertentangan dengan Pancasila.

Peneliti senior dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. R. Siti Zuhro, MA, Ph.D, mengatakan bahwa jika ingin Pancasila membumi maka bangsa ini memerlukan panutan-panutan yang dicermikan oleh para tokoh elit nasional hingga tokoh-tokoh di daerah.

“Karena tidak mungkin Indonesia dibangun tanpa Pancasila. Karakter Pancasila itu adalah karakter kita, nafas kita, roh kita, ideologi kita. Kalau itu ditinggalkan, ya kita akan membangun nilai-nilai baru yang tidak  jelas itu,  sehingga masuklah infiltrasi ideologi-ideologi lain yang menjanjikan seolah-olah akan menjadikan Indonesia lebih baik, baik itu nanti Islam yang tadi disebut Khilafah maupun Komunisme, yang sudah jelas-jelas komunisme adalah kita larang,” ujar Prof. R. Siti Zuhro, MA, Ph.D, di Jakarta, Rabu (25/9/2019).

Lebih lanjut, Siti Zuhro mengatakan bahwa tidaklah perlu kita menyebut-nyebut "Saya Pancasila, Saya Indonesia". Tetapi yang diperlukan adalah bagaimana kita sebagai warga negara Indonesia ini bisa menghayati, mengimplementasi dan mengkongkritkan Pancasila itu dalam kehidupan dan keseharian kita.

“Itulah nilai-nilai lokal yang harus kita kedepankan kembali, karena tidak ada bangsa yang besar tanpa mengedepankan nilai-nilainya sendiri. Karena kita orang Indonesia dengan Pancasila, dengan Bhinneka Tunggal Ika kita, dengan keyakinan pada NKRI dan mengacu pada konstitusi yang disebut dengan Undang-Undang Dasar 1945,” tutur peraih gelar Doktoral Ilmu Politik dari Curtin University Australia ini.   

Agar para generasi muda yang masih mengenyam pendidikan di perguruan tinggi dan sekolah-sekolah ini tidak mudah tersusupi paham-paham seperti khilafah ataupun Komunisme, wanita yang biasa disapa Wiwieq itu mengatakan, sejatinya lembaga-lembaga pendidikan  juga berkewajiban  menyampaikan kepada anak didiknya bahwa Indonesia memiliki konsensus dasar yang sangat wajib dan tidak bisa ditawar-tawar lagi yakni Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Yang mana empat konsensus tersebut sangat wajib diikuti dan dipatuhi dan tidak bisa ditawar lagi.

Sehingga para pendidik pun juga tidak hanya sekadar mengajarkan atau mengatakan, ‘Ada bahaya, Islam radikal, ada PKI atau komunis, bahaya komunis dan sebagainya’.  Karena siapapun yang menjadi warga negara Indonesia, maka dia wajib menerima itu.

“Sehingga sebagai warga negara kita punya ownership, kita punya rasa memiliki sebagai warga negara. Kita punya hak dan kewajiban,” ujar  wanita kelahiran Blitar, 7 November 1958 tersebut.

Oleh karena itu menurutnya, ketika ada transfer pengetahuan seperti itu, harus disampaikan bahwa tidak ada ideologi lain selain Pancasila untuk warga negara Indonesia. Dan hal tersebut sebetulnya harus diemban para tenaga pendidik dengan memadai, dengan penuh tanggung jawab moral.

“Tidak hanya oleh para pengajar tetapi juga oleh para pengurus lembaga negara juga. Mau tidak mau mereka harus mengemban itu. Karena mereka ini adalah role model, panutan. Role model itu panutan yang patut dijadikan acuan bagi warga masyarakat untuk dicontoh dan diteladani,” kata peraih MIPI Awards 2014 kategori Ilmuwan Pemerintahan itu.

Tak hanya itu, menurutnya jika ada yang menyebarkan ideologi keras itu sudah masuk ranah pidana. Karena hal itu dilarang secara hukum. “Karena ini merongrong bangsa kita, merongrong kedaulatan negara kita. Siapapun itu, tanpa pandang bulu harus diberikan penalti setimpal. Karena sebenarnya itu sudah masuk kategori makar meskipun tidak harus pakai bala tentara dan persenjataan yang luar biasa,” kata peraih Satyalancana Karya Satya X tahun 1999 dan XX tahun 2009 itu.

Untuk itu alumni Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember ini mengingatkan kepada  semua masyarakat di semua lapisan baik yang bawah, menengah maupun atas itu untuk betul-betul mampu memahami, menghayati dan mengamalkan Pancasila sebagai upaya umntuk membentengi diri dan lingkungan sekitarnya agar tidak mudah terpengaruh ideologi lain.

“Akhirnya, yang kita butuhkan lagi adalah munculnya sosok-sosok yang bisa meneladani nilai-nilai Pancasila. Kita berharap sekali munculnya teladan-teladan dari semua tokoh-tokoh elite, pemuka agama, pemuka adat, lalu elite nasional, elite regional, elite lokal dan seterusnya. Jadi bukan hanya seruan yang klise. Kalau mereka semua bisa merefleksikan Pancasila, maka ideologi-ideologi seperti Khilafah dan Komunisme akan tertolak dengan sendirinya,” pungkasnya. (Very)

 

Artikel Terkait