Politik

Christianto Wibisono: Aksi Demonstrasi Mengarah pada Karma Politik Masa Lalu

Oleh : Rikard Djegadut - Jum'at, 04/10/2019 01:01 WIB

Seminar Kebangsaan bertajuk “Muara Unjuk Rasa: NKRI Mau Dibawa Ke Mana?” di Balai Sarwono, Jalan Madrasah Nomor 14, Jeruk Purut, Jakarta Selatan, Kamis (3/10). (Foto: Indonews.id)

Jakarta, INDONEWS.ID - Kegaduhan yang terjadi lewat aksi unjuk rasa para mahasiswa dan sejumlah elemen masyarakat yang terjadi di berbagai daerah di seluruh Indonesia hari-hari ini menolak revisi UU KPK dan RUU lainnya perlu ditelisik lebih dalam.

Fenomena ini bukan sebatas fenomena unjuk rasa semata namun ada indikasi ingin mengulang karma sejarah politik Indonesia seprti yang terjadi di masa lalu, berdarah-darah.

Christianto mengatakan, MPR yang dikuasai elite yang loyalitasnya dipertanyakan, bisa saja memaksakan opsi “Habibie kedua. Menurutnya, skenario ini persis adalah daur ulang mirip penolakan laporan pertanggung jawaban Habibie yang berdampak pengunduran diri Habibie.

"Bila elite tega seperti riwayat MPRS 1966 dan MPR 1998 serta MPR 1999, bukan mustahil bisa terjadi skenario penolakan Perppu berbuntut pemakzulan dan pergantian presiden. Elite Indonesia mempunyai sejarah “tega” menjadi Ken Arok satu sama lain," beber Christianto.

Christianto mengaku sebagai pengamat yang mengenal pribadi ketujuh presiden Indonesia dan ikut mengalami sebagai peliput (wartawan 1966) dan pengamat 1998 serta terus memelihara hobby pengamatan dalam buku "Kencan dengan Karma" dirinya sangat was-was. Sedang terjadi karma yang mungkin di luar dugaan masyarakat.

"Seperti penolakan BEM atas gesture Presiden menerima di Istana, itu suatu perebutan wangsit. Persis seperti ketika May Jen Soeharto menolak dipanggil Presiden Panglima Tertinggi Sukarno ke Halim 1 Oktober 1965," tutup Christianto.

Menurut wartawan lintas zaman ini menyebutkan ada persengkokolan para elit, politisi men-design aksi-aksi ini untuk mengulang kembali sejarah kelam masa lalu bangsa ini.

Christiànto, begitu ia akrab disapa, mangatakan elite Indonesia merasa dirinya malaikat sehingga tega mengorbankan martir seperti kasus yang terjadi pada 1966 dan 1998.

"Menurut saya, kesalahan terbesar elite Indonesia adalah merasa dirinya jadi malaikat dan oposisi adalah  setan terkorup dan itu berlaku timbal balik," tegas Christianto. 

Wartawan senior ini mengisahkan,jika di masa lampau elite politik sempat terperosok pada langkah pemberontakan dan kudeta, maka setelah kudeta G30S dan epilognya, pembunuhan politik sudah hilang. Meskipun masih ada peristiwa kekerasan berdarah yang terjadi sporadis insidensial.

"Setelah Reformasi, dengan pembatasan masa jabatan presiden dan keterbukaan sistim multi partai. Maka orang tidak perlu bersekongkol selingkuh mau mengganti presiden, sebab memang pemilu diadakan untuk memilih presiden baru yang terbatas 2 termin," Jelas Christianto

Christianto berharap agar elite Indonesia termasuk mahasiswanya belajar untuk tidak mengulangi karma sejarah selingkuh dan kudeta politik yang meninmpa Indonesia pada 1996 dan 1998.

"Dan atau model konflik pilgub DKI dan pilpres 2014 – 2019 yang nyaris menjerumuskan eksistensi Republik Indonesia yang beruntung masih survive dan tidak bubar seperti Uni Soviet dan Yugoslavia," ujar pendiri mingguan Ekspres yang kemudian menjadi cikal bakal majalah Tempo ini.

Trend global, lanjut Christianto, memang memperlihatkan ketidaksabaran untuk menghormati term jabatan lawan politik. Ibarat main sepakbola, Ia menambahkan, orang kan harus menghormati waktu dan tidak setiap menit ganti pemain.
Sehingga, menurutnya, biarkan presiden menyelesaikan masa jabatannya dan tidak mudah menuntut pemakzulan seperti yang sedang terjadi di AS sekarang.

"Yang lebih mencolok lagi di Indonesia, proses intra elite sangat tertutup dan bisa menghasilkan proses Ken Arok yang menyedihkan," sindir Christianto.

Masalah pro dan kontra usulan Perppu, Christian menambahkan, tentu bersifat lebih “fundamental”. Ia kemduian mempertanyakan benarkah elite Indonesia menghormati pemilu dan tidak memakai segala cara untuk “memakzulkan” presiden terpilih? Apa yang akan terjadi seandainya Presiden mengeluarkan Perppu, terus ditolak oleh parlemen?*(Rikardo). 

Artikel Terkait