Politik

Ancaman Pemazkulan Presiden Adalah Intimidasi Politik Murahan

Oleh : very - Senin, 07/10/2019 14:37 WIB

Pengamat politik dari President University AS Hikam. (Foto: channel indonesia)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Pertikaian antara politisi parpol melawan masyarakat sipil terkait Revisi UU KPK memasuki ranah narasi yang cukup sensitif. Politisi parpol sudah mewanti-wanti Presiden Jokowi akan di-impeach jika menerbitkan Perppu KPK.

Menurut profesor peneliti LIPI, Syamsuddin Haris narasi ini jelas sangat tidak pada tempatnya. Bahkan menurutnya, narasi itu adalah sebuah pembodohan masyarakat. Alasannya, secara konstitusional tidak ada pemakzulan yang disebabkan oleh penerbitan sebuah Perppu.

“Hemat saya, jika politisi/parpol mau melakukan pemakzulan terhadap Presiden Jokowi gegara menerbitkan Perppu KPK, itu bukan hanya suatu pembodohan, tetapi juga sebuah tindakan intimidasi politik murahan,” ujar pengamat politik dari President University, Muhammad AS Hikam, dalam pernyataan persnya di Jakarta, Senin (7/10).

Menurut Hikam, parpol, politisi, oligarki yang bersekongkol untuk melemahkan dan menghancurkan KPK khawatir bahwa "kemenangan" mereka di  Parlemen terancam tak berumur panjang, apabila Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu KPK. Mereka juga khawatir bahwa gerakan mahasiswa yang terjadi di berbagai daerah akan terus bergulir dengan berbagai dampak politiknya.

“Narasi pemakzulan itu harus ditolak total. Rakyat seharusnya diajak untuk berpartisipasi dalam menyelesaikan masalah strategis seperti revisi UU KPK melalui wacana dan praksis demokrasi yang sehat, waras, dan memberdayakan. Bukan malah menyebar narasi intimidatif dan sewenang-wenang serta inkonstitusional seperti itu,” pungkasya.

Seperti diketahui, sebelumnya, Syamsuddin Haris mengatakan isu bahwa ancaman bahwa Presiden Jokowi akan di-impeach jika menerbitan Perppu KPK merupakan sebuah pembodohan publik.

“Itu pembodohan publi. Bukan saja salah paham tapi paham yang salah. Pemakzulan itu tidak seperti itu. Pemakzulan sesuai konstitusi, bisa terjadi kalau presiden melakukan pelanggaran hukum,” ujar Haris dalam diskusi di Jakarta, Minggu (6/10).

Pemazkulan, kata Haris, terjadi bila kepala negara melakukan pengkhianatan terhadap negara seperti tindak kriminal, penyuapan atau melakukan perbuatan tercela. “Dan yang melakukan penilaian atas semua itu adalah Mahkamah Konstitusi bukan partai politik di dewan. Jadi jangan salah tidak tepat Perppu dihubungkan dengan pemakzulan,” katanya.

Karena itu, katanya, Presiden Jokowi seharusnya tidak perlu terganggu oleh isu pemakzulan dalam mengambil keputusan soal penerbitan Perppu KPK. Sebagian publik menolak UU KPK hasil revisi karena diyakini melemahkan lembaga antikorupsi itu.

“Sehingga perlu dibatalkan, ditinjau ulang atau menunda penggunaan UU KPK itu dengan cara penerbitan Perppu oleh presiden. UU KPK hasil revisi terdapat cacat prosedural sebab undang-undang itu disusun secara diam-diam, tergesa-gesa serta tanpa partisipasi publik,” ujarnya.

Dia mengtakan, pembuatan UU KPK itu merupakan cacat prosedural. Secara substansi juga UU itu melemahkan institusi anti rasuah itu.

“Saya bahkan mengatakannya sebagai pelumpuhan atas KPK dan ini bertentangan dengan visi Presiden Jokowi yang ingin mengawal KPK dan memberantas korupsi, oleh sebab itu presiden mesti menerbitkan Perppu untuk membatalkannya,” pungkasnya. (Very)

 

 

Artikel Terkait