Opini

Lonceng Kematian Komisi Pemberantasan Korupsi

Oleh : Rikard Djegadut - Sabtu, 07/03/2020 22:30 WIB

Risno Pakur adalah mahasiswa Pasca Sajana di Univeristas Trisakti Jakarta (Foto: ist)

Oleh: Risno Pakur*)

Opini, INDONEWS.ID - Komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia, acapkali hanya dijadikan jargon dan obralan janji oleh sebagian politikus dan pemangku kebijakan di negeri ini.

Hal ini mereka lakukan untuk upaya meningkatkan elektabilitas para kontestan Pemilihan Umum (Pemilu) untuk meraup suara konstituen.

Padahal, dalam bebarapa kebijakan, terutama bidang legislasi, upaya pelemahan terhadap komisi pemberantasan korupsi dilakukan dengan cara-cara yang sistematis, melalui undang-undang maupun kebijakan lain.

Tak pelak, langkah ini diambil lantaran korupsi terus menggerus hak rakyat atas kekayaan negeri. Seperti diketahui, Indonesia dijuluki sebagai jamrud khatulistiwa karena memiliki potensi alam dan kekayaan alam yang melimpah. Namun sebagian besar rakyat melarat dan hidup di bawah garis kemiskinan.

Kemiskinan dalam suatu negara diakibatkan karena kebijakan yang diambil oleh para elit dan pemangku kepentingan yang tidak mengenai sasaran dan objek pembangunan.

Kilas Balik Masa Orba

Mirisnya, komitmen pemberantasan korupsi bahkan sudah dimulai sejak tahun 1957 yang secara jelas tertuang dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957.

Peraturan yang dikenal dengan peraturan pemberantasan korupsi ini dibuat oleh penguasa militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut kala itu.

Masa Orde Baru adalah masa yang paling banyak mengeluarkan isntrumen pemberantasan korupsi. Namun seperti yang publik saksikan, justru pada masa tersebut banyak juga kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Orde Baru akhirnya ditolak untuk kembali berkuasa atas ketiga hal tersebut. Bahkan, saking banyaknya peraturan perundang-undangan era Orba, dibuatlah sebuah Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai bukti komitmen negara terhadap pemberantasan korupsi.

Namun seperti peribahsa "lain mulut, lain juga hatinya." Begitulah kira-kira kalimat sarkasme untuk disematkan pada rezim Orde Baru. Sebab, pelaksanaan peraturan tersebut bocor dikarenakan ditemukannya banyak kecurangan dalam mengimplematasikannya - yang hanya menguntungkan keluarga cendana itu sendiri.

Sementara itu, organ-organ negara seperti Parlemen yang memiliki fungsi pengawasan dibuat lemah. Anggaran DPR dibuat lemah, sehingga fungsi pengawasan semakin dikebiri.

Parahnya, selain legislative, lembaga yudikatif juga turut dikebri. Dengan melihat fenomena ini, alhasil tidak ada satu pun kekuatan yang tersisa. Semuanya sudah dimatikan secara sistematis oleh rezim orde baru tersebut.

Era Reformasi

Seiring berjalannya waktu, era pun berganti. Reformasi menjadi oase di tengah padang Gurun. Komitment pemberantasan korupsi, kembali dipertontonkan oleh para pengambil kebijakan yakni Megawati Soekarnoputri.

Pembahasan RUU KPK dapat dikatakan merupakan bentuk keseriusan dari pemerintahannya. Hal tersebut terbukti ada kemajuan pembahasan lebih lanjut tentang pasal 43 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001.

Berlanjut ke era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), KKP semakin diperkuat pada era SBY dengan diterbitkannya Instruksi Presiden (Inpres) nomor 5 tahun 2004 dan kemudian dilanjutkan dengan penyiapan aksi yang bekerjasama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bappenas.

Dengan berdasar pada paradigma hukum, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono diuntungkan dengan sistem hukum yang mapan melalui UU KPK nomor 30 tahun 2002, pengadilan tindak pidana korupsi yang terpisah dari pengadilan umum, dukungan internasional serta instrument hukum nasional maupun internasional.

Euforia Masih Berlanjut

Euforia pada komitmen pemeberantsan korupsi oleh pemerintah belum selesai. Pasca pemerintahan Susilo Bambang Yudhono selesai mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden RI. Kini, bangsa kita dipimpin oleh Presiden Ir.Joko Widodo dan M.Jusuf Kalla sebagai wakil presiden.

Dalam masa akhir purnatugasnya, Jokowi, sebagai Kepala negara yang merepresentasi bangsa lembaga anti rasuah justru dihebohkan dengan beberapa keputusan dan kebijakan fenomenal para pemangku kepetingan hingga menimbulkan polemik.

Komitmen dan integritas para pemangku kepentingan kembali diuji dengan meloloskan Capim KPK yang banyak cacat dan cela. Calon Pimpinan KPK padahal tidak memenuhi beberapa persyaratan sesuai dengan kualifikasi yang ada yakni berkaitan dengan pelanggaran etik berat.

Tak cukup sampe di situ, para elit terutama para wakil rakyat di DPR justru mengajukan revisi UU KPK melalui Paripurna yang menimbulkan polemik. Namun, presiden Jokowi justru meloloskan revisi UU KPK tersebut. Meski publik marah revisi UU KPK tetap disahkan.

Poin Revisi Dipersoalkan

Adapun beberpa point penting yang menjadi sorotan dari upaya revisi ini adalah sebagi berikut. Pertama, Kewenangan Penyadapan, Penyitaan dan Penggeledahan dipersempit dengan harus adanya izin dari Dewan Pengawas yang dipilih oleh Presiden bersama DPR RI;

Kedua, Sumber Penyelidik hanya diperkenankan dari Kepolisian; Ketiga, Penghapusan Penyidik Independen; Keempat, Penyadapan yang hanya dapat dilakukan pada tahap Penyidikan; Kelima, Kewenangan penuntutan yang tidak lagi independen karena harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung;

Keenam. Hilangnya kewenangan dalam penanganan kasus yang meresahkan publik; Ketujuh, Rawannya integritas penanganan perkara karena dimungkinkannya penghentian perkara dalam tahap penyidikan dan penuntutan; dan Kedelapan, Definisi penyelenggara negara dipersempit.

Komitmen Jokowi Dipertanyakan

Presiden tidak dapat mengelak soal ini, baik tekait rencana revisi UU KPK maupun lolosnya Capim kpk yang melakukan pelanggaran etik berat. Padahal proses pembahasan revisi UU KPK, tidak dapat berjalan apabila tidak mendapat persetujuan dari kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.

Setelah 17 tahun berlangsung, berbagai upaya pelemahan serta upaya KPK untuk tetap hadir dilalui. Setidaknya, sampai hari ini, sedikitnya 26 Kepala Lembaga Negara/Kementerian, 247 Anggota dan Pimpinan DPR/DPRD serta 20 Gubernur sampai dengan korporasi dengan total lebih dari 1000, baik orang maupun korporasi telah ditangani KPK. Disebutkan, pada tahun 2018 saja, lebih dari 600 Milyar pemulihan aset telah dilakukan.

Sedangkan di bidang pencegahan, upaya perbaikan sistem antara lain kajian sistem oleh KPK di berbagai instansi pemerintah yang rentan terhadap korupsi misal kajian sistem penyelenggaraan haji, sistem di bea cukai, sistem pajak, system, program Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN SDA) dan siklus pemhahasan anggaran negara, sistem Bantuan sosial serta rekomendasi telah diberikan.

Berbagai upaya pelemahan telah dialami KPK dalam bererapa masa pemerintahan yang dilewati. Presiden Abdurahman Wahid merancang KPK, Presiden Megawati Soekarno Putri melahirkan KPK, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melindungi KPK dan jangan sampai sejarah mencatat KPK mati pada masa Presiden Joko Widodo.

Hal ini mengingat kehadiran KPK sebagai "pembeda" dengan dilahirkannya UU KPK yang memastikan KPK tetap independen serta pimpinan KPK yang harus bersih dari segala persoalan integritas. Sebab kendati KPK hadir, tanpa kedua hal tersebut, KPK pada hakikatnya telah mati!

Pemerintah boleh berganti, namun masyarkat tetap menginginkan pemimpin yang mampu memberikan bukti nyata tentang komitmennya terhadap upaya pemberantasan korupsi. Sebetulnya, dengan revisi UU KPK dan lolosnya Capim KPK yang integritasnya dipertanyakan harusnya pemerintah menyadari bahwa itu adalah lonceng kematian bagi komitmen pemerintah dalam uapya pemberantasan korupsi di Bumi Pertiwi ini.*

*)Risno Pakur adalah mahasiswa Pasca Sajana di Univeristas Trisakti Jakarta

Artikel Terkait