Nasional

Kebohongan Antargenerasi: Catatan Kelam Kuliah Berbayar Mahasiswa Indonesia di Luar Negeri

Oleh : indonews - Jum'at, 10/04/2020 13:30 WIB

Cecep Somantri. (Foto: Ist)

 

Cecep Somantri *)

INDONEWS.ID -- Melihat berarti mengalami. Begitulah kurang lebih pepatah Bahasa Inggris yang mendorong saya untuk membuat tulisan ini. Tidak adanya pengalaman mengenyam pendidikan formal di luar negeri, ditambah budaya rezim Indonesia yang lebih menghargai kualifikasi ketimbang kompetensi, membuat saya seringkali mengurungkan niat ketika ingin mengulas kepenasaranan saya akan bagaimana sesungguhnya kuliah di luar negeri. Sela-sela waktu Bekerja dari Rumah dan persoalan pelik penyebaran COVID-19 di berbagai penjuru dunia, membuat saya berpikir inilah waktu yang tepat pemikiran tidak populer yang saya miliki tertuang dalam tulisan ini.

Tujuan tulisan ini adalah untuk menguak dan mengulas beberapa praktik kurang etis mahasiswa Indonesia yang berkuliah di luar negeri, khususnya Inggris. Berbagai praktik kurang baik tersebut saya definisikan sebagai kebohongan, dan sebagian besar mahasiswa yang melakukannya adalah mereka yang berasal dari kelompok kelas menengah, dan didanai beasiswa. Tanpa bermaksud mengkategorikan bahwa yang melakukan kebohongan tersebut adalah mahasiswa beasiswa, saya hanya memposisikan diri pada konstruksi “melihat berarti mengalami” seperti yang saya utarakan di awal.

Mulai dari praktik terkait bidang akademik hingga yang bersifat umum, saya uraikan sebagai berikut.

 

IPK tidak penting

Begitu banyak blog yang menyatakan bahwa Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) itu tidak penting ketika kuliah di luar negeri. Konon katanya prestasi itu jamak bentuk dan kategorinya. Yang penting adalah memperoleh ijazah, menikmati pengalaman berharga belajar dari dosen berkaliber dunia, dan kembali ke Indonesia untuk mengabdi. Saya setuju dengan semua alasan pendukung tersebut. Namun demikian, yang menjadi sesat adalah ketika kuliah di luar negeri dijadikan ajang untuk pamer dan panjat sosial. Tidak ada cukup upaya untuk menunjukkan kemampuan melalui perolehan IPK yang baik. Yang terjadi adalah menikmati hidup seolah tidak ada hari esok. Hampir setiap hari pergi ke luar rumah untuk berjalan-jalan, dan menikmati suasana “luar negeri”. Hampir setiap akhir pekan pergi ke luar kota untuk jalan-jalan, dan setiap akhir musim keliling Eropa untuk berlibur. Kemampuan akademik tidak bertambah signifikan, dana publik beasiswa digunakan untuk hal-hal pribadi dan non-esensial. Lebih parahnya, pernyataan bahwa IPK tidak penting adalah tidak lain dari pengejawantahan sikap pengecut, dan karakter kinerja buruk mereka yang tidak mau bekerja keras.

Faktanya, IPK memiliki tempat yang terhormat dalam kacamata pendidikan luar negeri, paling tidak untuk tingkat S1 dan S2. IPK menunjukkan karakter kinerja dan moral baik seseorang. IPK memiliki peran penting sebagai bahan pertimbangan diterima atau tidaknya seseorang pada program S2 dan S3. Mereka yang memperoleh IPK “Dengan Pujian” hampir dapat dipastikan memperoleh tempat pada suatu universitas. Sedangkan mereka yang memiliki IPK di bawah itu memerlukan waktu dan prosedur yang lebih lama, bahkan penolakan. IPK juga memiliki kekuatan yang mumpuni bagi mereka yang memiliki keinginan memasuki dunia kerja, terutama di berbagai perusahaan di luar negeri. Dengan semikian, sejatinya, lucu sekaligus menyedihkan apabila banyak orang Indonesia yang kuliah di luar negeri mengatakan bahwa IPK itu tidak penting.

 

Dosen sangat baik

Berbagai cerita dari rekan dan teman memberikan benang merah bahwa para pengajar di pergutuan tinggi luar negeri itu sangat baik. Definisi sangat baik yang saya tangkap adalah ramah dan responsif terhadap pertanyaan dan kebutuhan peserta didik. Pada tataran profesional, saya tidak memiliki keraguan sedikit pun atas berbagai klaim tersebut. Yang menjadi masalah adalah menyarukan sikap “baik” dengan sikap “profesional”. Kesaruan inilah yang bisa menyebabkan kesesatan berfikir.

Saya dapat mengamini apabila dosen di luar negeri itu adalah para individu profesional. Itulah mengapa apa yang mereka lakukan disebut profesi, bukan pekerjaan biasa. Mereka adalah orang-orang yang memiliki latar kualfikasi dan kompetensi yang mumpuni di bidangnya masing-masing. Akan tetapi, hal ini tidak menjamin bahwa mereka baik secara pribadi. Tidak jarang ditemukan dosen yang menunjukkan sikap rasisme terhadap warna kulit dan etnis tertentu. Ini adalah fakta, bukan isapan jempol semata. Betul mereka profesional, tapi bukan berarti mereka terbuka pada pertemanan atau hubungan pribadi lainnya. Hal ini sudah seharusnya tidak luput dari definisi “baik”. Apabila tidak, selamanya para dosen di Indonesia akan selalu dibandingkan secara inferior terhadap dosen luar negeri. Padahal, perbandingan tersebut didasarkan pada pemikiran parsial dan cenderung sesat.

 

Sekolah gratis

Banyak mahasiswa Indonesia di luar negeri yang berkuliah dengan pasukan keluarga masing-masing. Tak ayal anak-anaknya ikut menikmati kesempatan mengenyam pedidikan formal di negara orang. Tentu, kesempatan yang tidak mudah diperoleh tersebut haram untuk dilewatkan. Dalam tempo beberapa bulan, anak-anak akan mampu menunjukkan kemampuan berbicara bahasa asing yang seringkali lebih baik dari orang tuanya. Ini adalah salah satu keuntungan yang memang menjadi target banyak keluarga Indonesia. Dari sudut pandangn positif, kemampuan bahasa asing terbukti dapat menjadi modal manusia, sosial dan budaya ketika kembali ke tanah air.

Sekolah merupakan hak dasar anak yang dilindungi komitmen internasional. Itu adalah sebuah keniscayaan yang tidak terbantahkan. Dalam perjalanannya, saya seringkali mendengar cerita kebanggaan para orang tua Indonesia akan anak-anaknya yang bersekolah di luar negeri. Saya ikut bangga, dan berharap lebih banyak anak-anak Indonesia yang memperoleh kesempatan yang sama. Namun, di balik kebanggan mereka, ada pernyataan yang sangat menggelitik, yaitu “sekolah di sini sudah berkualitas, gratis lagi”. Apabila merujuk pada hasil studi PISA, Programme for International Student Assessment (2018) dan sejarah panjang Inggris selaku negara adikuasa, “kualitas pendidikan” dapat diperdebatkan. Tapi, katakanlah memang pendidikan dasar dan menengah di Inggris memiliki kualitas setinggi langit. Yang patut diperdebatkan adalah “sekolah gratis”. Terdapat informasi penting yang tersembunyi dari ungkapan tersebut. Entah karena ketidak-tahuan atau kesalahan berfikir.

Sebagai informasi, Pemerintah Inggris memiliki kebijakan Makan Sekolah Gratis atau Free School Meals (FSM). Kebijakan ini mewajibkan pemerintah untuk membiayai makan siang para peserta didik yang tidak mampu membayar. Atas alasan tertentu, banyak orang tua Indonesia yang memutuskan untuk tidak membayar sepeser pun untuk makan siang anaknya di sekolah. Kenyataannya, semakin tinggi jumlah peserta didik di suatu sekolah yang tidak membayar makan siang, semakin tinggi pula tingkat kemiskinan di sekolah tersebut. Tingkat kemiskinan tersebut dilaporkan tidak mempengaruhi kinerja sekolah. Tapi, tingginya angka FSM mempengaruhi peringkat sekolah secara nasional. Tingginya FSM juga berbanding lurus dengan jumlah peserta didik dari keluarga imigran. Informasi ini yang sering luput, atau mungkin disembunyikan, dari cerita dan informasi para orang tua Indonesia. Alasannya beragam, tapi menutupi gengsi dan malu merupakan alasan cukup masuk akal.

 

Metode mengajar guru sekolah atraktif

Selain sekolahnya yang gratis, guru-guru di luar negeri, khususnya Inggris, sering dikatakan memiliki metode dan pendekatan belajar yang sangat atraktif. Tidak jarang orang tua mengunggah gambar, video dan status pendek di akun media sosial masing-masing. Berbagai praktik baik dan cerita sukses bahkan menjadi viral, dan diteruskan dari satu orang ke orang lain. Tentu, hal ini bisa menjadi hal yang sangat positif bagi perkembangan, dan perbaikan pendidikan di Indonesia. Selama itu positif, kenapa tidak?

Kenyataannya, media sosial membangun persepsi yang berbeda atas apa yang disebut “kenyataan”. Sebagai contoh, akhir-akhir ini viral di media sosial bagaimana guru di Inggris mengajarkan cara mencuci tangan yang kreatif. Guru mengajak anak menyanyikan lagu selamat ulang tahun, atau lagu anak populer lainnya, sebanyak dua kali sebelum membilas tangan dengan air bersih. Yang menjadi masalah bukan metode atau lagunya, melainkan kesimpulan besar yang diambil. Premis yang terwujud dari praktik ini adalah: “Guru di Inggris sangat atraktif dalam mengajar, kenapa di Indonesia tidak?”. Inilah yang sangat mengganggu pikiran saya. Begitu cepatnya kesimpulan ditarik, dan kemudian dipercayai bahwa yang dilakukan guru di Indonesia belum baik. Tidak adil rasanya apabila kesimpulan itu ditarik dari fenomena mencuci tangan. Bahkan, lebih tidak adil apabila dibandingkan dengan tuntutan sistem politik dan sosial di Indonesia yang begitu berat terhadap guru.

Intinya, mengambil praktik baik itu sah, dan dapat dijadikan pelajaran dan referensi perbaikan. Akan tetapi, terburu-buru dalam mengambil keputusan dan kesimpulan berdasarkan observasi singkat itu tidak arif. Mengunggah dan membangikan berbagai cerita dari berbagai sudut pandang berbeda melalui berbagai media merupakan langkah yang lebih bijaksana.

 

Barang lebih berkualitas dan murah

Sebelum saya tiba di Inggris, banyak rekan Indonesia di Inggris yang mengatakan dan menyarankan untuk tidak membawa perlengkapan musim dingin dari Indonesia. Pun demikian dengan barang elektronik, seperti telpon genggam, laptop atau gawai lainnya. Berdasarkan pengalaman mereka, barang-barang tersebut lebih baik dibeli di Inggris, karena lebih berkualitas dan harganya lebih murah. Jujur saja, saya memendam pertanyaan besar akan klaim tersebut. Tapi, tanpa melihat dan mengalami, saya tidak mampu membuat klaim bantahan.

Kenyataannya, dapat dibuktikan keabsahannya bahwa semua barang baik di Indonesia maupun di Inggris memiliki kualitas yang sama baiknya. Ekonomi global telah memungkinkan banyak barang di berbagai penjuru dunia memiliki kualitas yang sama. Apabila barang dengan merek tertentu dibandingkan dengan barang asli tapi palsu, maka hingga ujung dunia pun perbandingannya tidak akan ditemukan. Pun demikian dengan harga. Era globalisasi telah menjadikan harga suatu barang merek global memiliki harga yang relatif sama di semua negara. Bahkan, untuk barang elektronik populer, harga di Indonesia biasanya lebih murah. Produksi sama-sama dilakukan di negara dunia ketiga, kualitas sama, harga lebih murah, kenapa harus beli di luar negeri kalau begitu?

Fakta yang lebih mencengangkan adalah bagaimana pemikiran harga barang merek tertentu di luar negeri lebih murah itu dikonstruksi. Salah satu prosesnya adalah dengan membeli barang bekas dari toko amal atau media dalam jaringan. Sungguh mengenaskan ketika kemudian barang yang dibeli tersebut dibangga-banggakan: lebih murah dan bagus daripada di Indonesia. Konstruksi berfikir yang sangat tidak masuk akal. Apabila barang bekas tersebut dibandingkan dengan barang yang sama dalam kondisi baru di Indonesia, barang manakah yang lebih baik? Sesederhana itu sejatinya pemikirannya.

----

Secara keseluruhan, tulisan ini merupakan refleksi atas apa yang saya alami selama dua setengah tahun berada di Inggris. Terdapat banyak hal yang dapat dipelajari, dan dijadikan bekal berkontribusi terhadap bangsa dan negara. Akan tetapi, tidak selamanya rumput tetangga itu lebih hijau. Tidak segala apa yang dilihat dan dipelajari di negara orang dapat dipraktikkan di Indonesia. Konteks akan selalu menjadi faktor penting yang harus dipikirkan.

Beberapa praktik kurang etis atau kebohongan yang dipelihara banyak Warga Negara Indonesia di luar negeri dapat terus berlangsung dari waktu ke waktu. Yang berbahaya adalah ketika semua kebohongan tersebut dipelihara dari satu generasi ke generasi lain. Yang saya maksud dengan generasi adalah mahasiswa, orang tua, dan anak-anak yang akan atau telah selesai mengenyam pendidikan formal di luar negeri. Kebohongan yang terus dipelihara akan menjadi kebenaran. Inilah makna kebohongan antaragenerasi yang tertuang dalam tulisan ini.

Dalam konteks yang lebih luas, kebohongan hanya akan membawa petaka bagi bangsa Indonesia. Berkaca pada “kebohongan” data penyebaran COVID-19 di salah satu negara, dunia mengalami kegagapan dalam mengambil langkah terbaik untuk menyelamatkan jiwa. Sesungguhnya, inilah nilai luhur dari kejujuran. Terlalu naif rasanya apabila pengetahuan dibangun di atas fondasi kebohongan. Cukuplah kebohongan itu berhenti di Belanda dengan kasus The Next Habibie yang cukup viral di media sosial dan media massa. Indonesia perlu akal sehat dan pemikiran jujur, bukan kebohongan yang dipelihara dari generasi ke generasi.

*) Penulis adalah pegawai Kemendikbud yang sedang menempuh tugas belajar Doktoral di The University of Nottingham, UK atas beasiswa Pemerintah Indonesia. Tulisan merupakan pendapat pribadi, tidak mencerminkan institusi profesi atau pun institusi penyalur beasiswa.

 

 

 

Artikel Terkait