Opini

Memutus Siklus Politik Gentong Babi dalam Pilkada

Oleh : indonews - Kamis, 10/09/2020 14:30 WIB

Penggiat Desa, Astra Tandang.(Foto:Istimewa)

Oleh:Astra Tandang*)

INDONEWS.ID - Geliat pelaksanaan Pilkada serentak di 270 daerah sejak 23 September lalu hingga 9 Desmber mendatang, sejatinya merupakan agenda untuk memperbarui kontrak politik antara elite politik yang menjadi wakil dengan konstituen. Dalam pilkada yang sedang digelar rakyat ingin memastikan bahwa kuasa yang hendak diberikan kepada sang wakil sungguh-sungguh menjadi representasi dari kehendak rakyat yang diwakili.

Pada suasana riuh-rendah seputar akrobatik para peserta pilkada dalam meraup suara, hal yang tentunya tak jenuh-jenuh untuk kita percakapkan adalah seputar praktik politik uang yang selalu menjadi bagian dari siklus pilkada di Indonesia.

Pilkada senantiasa membutuhkan pendanaan yang besar. Hanya saja isu mengenai pendanaan pilkada tidak dijadikan isu konstitusional, namun dianggap ciukup dijadikan sebagai isu legislasi di bawah norma konstitusi maupun regulasi operasional yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum.

Berbeda dengan pengaturan mengenai pembiayaan pendidikan yang dijadikan sebagai isu konstitusional yang diatur pada Pasal 31 ayat (4) UUD Negara RI 1945 yang mengatur bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional, pendanaan Pilkada tidaklah dijadikan materi muatan konstitusi.

Sementara itu, dalam penyelenggaraan pilkada selalu terdapat problem terkait pendanaan yang terutama berkaitan dengan praktik politik uang yang hampir tak pernah lepas dari praktik penyelenggaraan pilkada.

Praktik money politik akibat pendaan pilkada yang menelan biaya mahal ini, bisa kita periksa dari praktik penyelenggaran pilkda-pilkada terdahulu. Misalnya berkaca pada pilkada 2018 lalu, Bawaslu RI mencatat, ada sekitar 535 kasus tindak pidana politik transaksional (money politic) yang dilakukan oleh sejumlah kandidat atau pun tim suskses.

Mirisnya uang tersebut tidak hanya digunakan oleh kandidat baik dalam proses pendaftaran, untuk kebutuhan di TPS, pembayaran saksi, membiayai kampanye, namun juga terjerat dalam praktik buru rente yang dilakukan parpol dalam bentuk mahar politik.

Misalkan saja, hari ini kita meyaksikan video dan pemberitaan viral Bupati Merauke Hendrikus dan Bupati Jember Faidah yang terpaksa harus merogoh kocek miliaran rupiah hanya untuk mendapatkan rekomendasi dari partai politik agar bisa berlaga di pilkada yang sedang digelar.

Memang tidak ada makan siang gratis. Dan salah satu pokok permasalah besar yang membuat pilkada selalu penuh dengan uang miliaran untuk sewa perahu ke parpol adalah penerapan threshold. Kandidat dipkasa harus meraup sebanyak mungkin partai pengusung, minimal 20 persen kursi.

Dari kasus tersebut kita bisa menarik sebuah pendapat bahwa biaya yang harus dikeluarkan oleh kontestan yang berlaga di Pilkada memang tampak terlalu besar. Sehingga ruang gelap dalam penyelenggaraan pilkada yang memungkinkan praktik money politik pun cukup longgar meski sejatinya terbantahkan dengan melihat relatif lengkapnya pengaturan mengenai sumber dana dan sejumlah mekanisme pengawasan terhadap tindakan politik transaksional dalam UU Pilkada maupun yang diatur khusus oleh Komisi Pemilihan Umum dan cukup tegas ketimbang rezim Pemilu. Hal ini bisa kita cermati dari unsur pelaku politik uang yang dalam pasal 187A UU Pilkada menyebut setiap orang.

Tetapi memang, pengaturan soal dana yang digunakan oleh para kandidat yang berlaga dalam kontestasi demokrasi electoral yang bernama pilkada sangat diperlukan agar dapat mewujudkan beberapa hal, seperti mendorong kemandirian, transparansi dan akuntabilitas, menciptakan sistem persaingan yang seimbang (equal opportunity), mewujudkan sistem keuangan yang dapat mencegah korupsi (investive corruption) dengan membatasi partai/kandidat dari pengaruh berlebihan (kooptasi) donatur/penyumbang dan terciptanya sistem yang dapat membebaskan pemilih dari politik uang (vote buying).

Jika tidak dilakukan pengaturan secara ketat, dikhawatirkanakan terus terjadi berbagai praktik anomali bahkan koruptif pada setiap penyelenggaran pilkada. Misalnya terkait memperoleh sumber-sumber pendanaan kampanye.

Perseorangan, kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha nonpemerintah yang memberikan sumbangan dana harus melaporkan sumbangan tersebut kepada KPU dan ini harus dijalani lebih serius dan diawasi lebih ketat. Pun pemberi sumbangan harus mencantumkan identitas yang jelas.

Termasuk batasan mengenai dana masuk yang boleh dipergunakan untuk kampanye. Hal itu sangat penting agar terdapat kejelasan dana yang dipergunakan untuk kampanye. Tanpa kejelasan sumber dana kampanye, akan terjadi potensi moral harzard dalam mendapatkan sumber-sumber dana kampanye. Selain itu, dengan pengaturan secara jelas sumber-sumber dana kampanye akan terjadi equality, transparansi dan akuntabilitas dalam memperoleh sumber-sumber dana kampanye.

Dana kampanye harus dapat dibatasi karena secara tidak langsung akan mempengaruhi partispasi masyarakat dalam pilkada. Karena penggunaan dana kampanye yang didapat dengan cara tidak sah adalah sebuah pelanggaran dan menimbulkan ketidaksetaraan bagi setiap kandidat. Lebih serius dari itu adalah sangat mencedrai kualitas demokrasi kita.

Penyakit politik uang ini tampak telah menjadi sebuah siklus permanen yang kerap terjadi pada setiap penyelenggaran pilkada. Dimana uang kerap ditempatkan sebagai pemilik otoritas guna memanipulasi kedaulatan rakyat sehingga menghasilkan korupsi politik yang tidak berkesudahan pada setiap pilkada. Praktik semacam ini akrab disebut “politik gentong babi” (pork barrel politics).

Istilah “gentong babi” (pork barrel) mengacu pada pengeluaran yang diusahakan oleh politisi atau kandidat untuk konstituennya sebagai imbalan atas dukungan politik, baik dalam bentuk kampanye atau suara.Tujuannya agar mereka dapat terpilih kembali dalam pilkada berikutnya. Praktik politik ini terus dikecam karena cenderung menguntungkan kepentingan pribadi daripada kepentingan umum serta rawan penyelewengan dan salah sasaran.

Istilah “gentong babi” sudah digunakan Edward Everett Hale dalam kisah populer, The Children of the Public (1910), sebagai metafora sederhana untuk setiap bentuk pengeluaran publik untuk warga. Tapi istilah itu menjadi konsumsi publik setelah dipopulerkan oleh Chester Collins Maxey dalam artikel “A Little History of Pork” dalam National Municipal Review pada 1919.

Menurut Maxey, frasa “gentong babi” berasal dari praktik memberikan daging babi asin kepada para budak kulit hitam pada masa Perang Saudara (1861-1865). Istilah “gentong babi” bernada menghina dan merendahkan. Pada masa itu, para tuan pemilik budak memberikan daging babi yang telah diasinkan kepada para budak kulit hitam untuk diperebutkan.

Perilaku para legislator yang mencari subsidi pemerintah untuk kepentingan politik pribadi bisa disamakan dengan perilaku para budak yang memperebutkan daging tersebut. Praktik “gentong babi” kemudian diadopsi oleh beberapa negara. Filipina, menurut Benny Subianto dalam Skandal “Gentong Babi” Filipina, sudah menerapkannya sejak 1930.

Bahkan, dananya dikelola oleh lembaga Priority Development Asistance Fund (PDAF). Setiap tahun, pemerintah Filipina menganggarkan 70 juta peso atau sekitar US$ 1,5 juta per anggota Kongres (DPR). Sedangkan Senator mendapat jatah 200 juta peso atau sekitar US$ 5 juta per orang untuk dana pembangunan di daerah masing-masing.

Para anggota Kongres dan Senator kemudian membuat rencana proyek pembangunan, yang akan didanai dengan skema “gentong babi” ini. Tujuannya tak lain hanya untuk menyenangkan konstituen agar terpilih kembali pada pemilihan mendatang.

Politik “gentong babi” sesungguhnya merupakan “parasit dalam sistem demokrasi”. Kegagalan dalam pengelolaan sistem pendanaan pilkada menjadi sebab utama dalam mewujudkan tata kelola pilkada yang bersih.

Disini koreski terhadap Parpol Karena Parpol sebagai institusi politik yang menjadi kanal yang penting bagi masuknya seorang kandidat politik yang berakar dari rakyat untuk menjadi elite pemimpin politik, atau dalam hal ini menghadirkkan kandidat dalam pilkada dan dalam sistem demokrasi konstitusional telah menempatkan Parpol menjadi salah satu komponen dari sistem demokrasi.memiliki porsi yang besar, khususnya terkait perbaikan sistem pelembagaan Parpol (party system institutionalization) dan sistem kepartaian (party system).

Upaya penguatan pelembagaan tersebut salah satunya dapat didorong dengan memperkuat keuangan Parpol yang bersumber dari keuangan negara sembari mendorong terjadinya transformasi pengelolaan kepartaian berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance).

Memperkuat sistem pendanaan partai politik ini juga tentu melekat semangat untuk memperbaiki pola pengelolaan organisasi Parpol, khususnya melalui perbaikan sistem pengelolaan keuangan Parpol. Pendanaan Parpol dengan skema pembiayaan publik melalui alokasi pembiayaan dari APBN dengan sejumlah persyaratan yang ketat dapat mendorong tumbuhnya transparasi, partisipasi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana Parpol.

Aliran uang negara ke dalam tubuh Parpol akan menggerakan perangkat instrumen supervisi, monitoring dan evaluasi sekaligus pengawasan intensif terhadap penggunaan uang negara yang diinjeksikan ke dalam tubuh Parpol tersebut. Hal itu akan berdampak terhadap transplantasi nilai-nilai maupun pola pengelolaan keuangan negara dengan menggunakan standar anggaran berbasis prestasi kerja (performance budgeting).

Ini bisa menjadi langkah awal untuk menata sistem demokrasi di Indonesia. Memutus mata rantai oligarkhi politik, menekan hegemoni partai-partai politik dan memotong siklus politik gentong babi yang semuanya itu kerap merusak sistem demokrasi konstitusional kita.*

*)Penulis adalah Penggiat Desa dan Tinggal di Yogyakarta.

 

Artikel Terkait