Sosok

Obituari untuk Jakob Oetama: Berani Hidup Vs Berani Mati

Oleh : Rikard Djegadut - Jum'at, 11/09/2020 11:30 WIB

Pendiri Kompas Gramedia Grup Jacob Oetama (foto: Ist)

Oleh: Christianto Wibisono, Penulis buku Kencan Dinasti Menteng

Jakarta, INDONEWS.ID - Pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama bertemu saya paska pembreidelan Kompas 6 Februari 1978 dan pelarangan buku "Wawancara Imajiner dengan Bung Karno".

Dengan sabar tapi tegas ia menyatakan: Bung Chris, saya dan pak Oyong berbeda pendapat. Saya rela minta maaf agar Kompas bisa terbit lagi. Sebab kalau sekedar berjibaku, barisan berani mati lebih mudah. Anda tulis saja semau anda, lalu koran anda dibreidel. mati selesai. Buat saya, demi masyarakat kita lebih baik berani hidup, mempertahankan hak hidup ketimbang berani mati. dibreidel selesai.

Dengan kerelaan berkorban minta maaf kepada Presiden Soeharto maka Kompas boleh terbit lagi 6 Februari 1978 dan terus survive sampai Jakob dipanggil pulang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa 9 September 2020.

Ini adalah hari kelahiran Presiden ke-6 Jendral SBY ditengah polemik ketersinggungan sebagian warga minat terhadap pidato Ketua DPR Puan Maharani tentang Sumbar harus dimenangkan oleh kekuatan Pancasilais.

Buku saya memang ikut terbreidel menjelang Sidang Umum MPR hasil pemilu 1977 pada Maret 1978. Maka kedua pendiri Kompas seolah berpisah dan Ojong hanya bertahan hidup 2 tahun lagi sebab akan wafat tahun 1980.

Wafatnya Ojong juga karena frustrasi dan stress pembatasan halaman dan iklan, sehingga Kompas tidak bisa berkembang sesuai kekuatan pasarnya.

Auwyong Peng Koen yang lahir 1920 dan pada umur 26 sudah jadi Pemimpin Redaksi Star Weekly yang dibreidel oleh Orde Lama 6 Oktobere 1961 hanya bertahan sampai usia 60 tahun dan wafat 1980.

Jakob Oetama berani hidup 40 tahun lagi sampai 2020 menyaksikan perubahan rezim yang telah memaksanya minta maaf demi mempertahankan eksistensi kehidupan Kompas. Penerbitan pers di Indonesia sangat tergantung pada kharisma dan pesona individu pendiri dan penjiwa media yang bersangkutan.

Duet Auwyong Peng Koen (etnis Tionghoa kelahiran Minangkabau dan Jakob Oetama, etnis Jawa kelahiran Muntilan hanya berusia 17 tahun sejak keduanya meluncurkan majalah Intisari 1963 dan harian Kompas 1965.

Politik dan pers di Indonesia selama 43 tahun sejak merdeka dari Belanda 1945 dan dari dua Orde bangsa sendiri yang gemar membreidel koran memang senantiasa bagaikan adu gladiator. Salah satu harus mati.

Kalau dianggap mengritik pemerintah, maka persnya yang harus mati dikubur, dibreidel. Itulah nasib surat kabar Pedoman milik Rosihan Anwar dan Indonesia Raya milik Mochtar Lubis. Keduanya terbit pada era Orde Lama, dibreidel oleh Presiden Sukarno dan boleh terbit lagi sebentar waktu bulan madu pers dengan Orde Baru.

Gara-gara demo malari, maka keduanya dibreidel lagi pada 1974 untuk selamanya dan tidak bisa terbit lagi. Jadi dua wartawan Indonesia terkenal pada medan global bernasib malang tidak memiliki koran pada akhir hayat mereka.

Berkat kepiawaian Jakob Oetama yang rela minta maaf pada 5 Februari 1978, Kompas selamat melewati lengsernya Presiden Soeharto. Malah Jakob Oetama mengakuisisi kaveling TMP Kalibata sebagai Pahlawan Nasional yang dihormati jasadnya disemayamkan di tempat terhormat tsb.

Momentum penghormatan terakhir kepada jurnalis Jakob Oetama ini hendaknya bisa dijadikan momentum perdamaian dan rekonsiliasi nasional.
Mengherankan bahwa elite kita masih gemar tersinggung dan membuat heboh adu slip of the tongue seperti ucapan Puan Maharani tentang "kontestasi sesama partai" yang seyogyanya tetap dalam bingkai Pancasila dan bukan arena adu maut gladiator Romawi.

Salah satu harus mati, era perimitif abad pertengahan dimana adu kuat adalah hukum rimba to kill or to be killed. Sudah cukup Presiden Sukarno mengalami tahanan rumah oleh Soeharto dan giliran Soeharto juga didakwa penyalahgunaan KKN yang tidak tuntas diadili.

Momentum Jakob Oetama diterima di Kalibata merupakan peluang einmalig elite dan massa Indonesia untuk mempraktekkan kerukunan dan perdamaian nasional. Politik diselesaikan dengan ballot, surat suara bukan dengan breidel, bui atau bullet pluru.

Selamat jalan pak Jakob Oetama, pilihan anda `berani hidup` telah meyelamatkan Kompas ketimbang `berani mati` dibreidel selamanya bila 5 Februasri 1978 anda tidak berani menekan surat permohonan maaf untuk `berani Hidup` dan tetap berjuang meski dibatasi tepa selira.

Tanpa langkah anda, Kompas sudah almarhum seperti Pedoman dan Indonesia Raya. Slogan Anda `berani hidup` bukan `berani mati` adalah trobosan brillliant yang menyelamatkan Kompas survive hingga detik ini 2020.

Jakarta 11 Sep 2020 Christianto Wibisono Buku Wawancara Imajiner dengan Bung Karno dibreidel bareng dengan Kompas dan buku putih Dema ITB karena mengusulkan Soeharto tidak dicalonkan lagi di SU MPR 1978.

Nantikan buku Kencan Dinasti Menteng tentang sejarah elite Indonesia dalam usia seabad 1945-2045 yang sedang dalam proses pencetakan.*

 

Artikel Terkait