Opini

Kekuasaan Caretaker Kepala Daerah

Oleh : luska - Rabu, 07/10/2020 18:15 WIB

Penulis : Djohermansyah Djohan (Guru Besar IPDN, Dirjen Otda 2010-2014, dan Pj Gubernur Riau 2013-2014)

Jakarta, INDONEWS.ID - Saat ini di daerah-daerah telah diangkat 138 orang Pjs kepala daerah atau lebih separuh (51 %) dari jumlah daerah yang mengikuti pilkada serentak 9 Desember dengan rincian 4 Pjs gubernur, 120 Pjs bupati, dan 14 Pjs Walikota. Mereka ditunjuk dari PNS karna kepala daerah definitif sedang cuti kampanye selama 71 hari, mulai 26 September sampai 5 Desember. Rakyat sebetulnya tidak paham apakah yang memimpin daerahnya seorang Pj, Pjs, Plt, atau Plh. 

Istilah-istilah itu membingungkan mereka. Pers saja banyak yang salah dalam menuliskannya.
Buat rakyat yang penting bila kepala daerah (KDH) yang mereka pilih berhalangan apapun alasannya mau meninggal, cuti kampanye atau kena OTT KPK, pelayanan publik tetap harus ada yang mengurusnya.

Harapan rakyat itu telah didalilkan ilmuwan politik dan pemerintahan: "no vacuum of power". Tidak boleh ada kekosongan kekuasaan. Dan selama ini telah dipraktikkan di dunia pemerintahan, tidak terkecuali di Indonesia.

Karna itu bila ada jabatan kepala pemerintahan yang kosong, diangkatlah seorang caretaker oleh pihak yang berwenang. 
Istilah caretaker atau pengemban, pengurus, penjaga  dan pemelihara ini di negeri kita bermacam-macam jenisnya. Mulai dari Pj (penjabat), Pjs (penjabat sementara), Plt (pelaksana tugas), hingga Plh (pelaksana tugas harian).
Masing-masing berbeda kadar kekuasaannya.

Pertama, tentu saja yang paling kuat kekuasaanya adalah seorang Pj. Dia menjadi orang nomor satu, karna kepala pemerintahannya kosong.
Pak Harto pernah menjadi Pj Presiden RI 1966-1971 gara-gara Presiden Soekarno dicopot oleh MPRS. 
Presiden Pj ini berwenang membuat UU, mengangkat menteri, dan menetapkan APBN.
Saya sendiri 2013-2014 pernah menjadi Pj Gubernur Riau diangkat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, karna habisnya masa jabatan Gubernur Rusli Zainal dan Wakil Gubernur Mambang Mit.
Kewenangannya tidak berbeda dengan gubernur definitif, seperti melakukan mutasi jabatan, menandatangani perda dan perkada, menetapkan APBD induk dan perubahan.
Selain tentunya menjaga pilgub Riau putaran ke 2, dan tugas khusus menanggulangi karhutla (Djohan, Koki Otonomi, 2020).

Baca juga : Kendali Kebijakan

Kedua, Pjs kepala daerah. Kekuasaan Pjs ini di bawah Pj sedikit. Dia mengisi jabatan kepala daerah sementara karna kepala daerah berhalangan tidak tetap seperti cuti kampanye yang cukup lama.
Pjs berwenang membuat perkada dan perda,  menandatangani APBD, dan melakukan mutasi PNS tapi dengan persetujuan tertulis Mendagri.

Ketiga, Plt yang sering dijuluki sebagai pejabat "lillahita`ala" karna hanya kebagian tugas, kekuasaannya terbatas, dan tidak pula mendapat fasilitas kepala daerah. Dia tidak berwenang menandatangani APBD dan Perda, serta memutasi PNS.

Plt kepala daerah diambil dari wakil kepala daerah yang ditugaskan sementara mengisi jabatan kepala daerah karna berhalangan tetap seperti wafat atau mengundurkan diri, dan bisa juga karna kepala daerahnya berhalangan tidak tetap seperti tugas ke luar negeri atau ditahan KPK.

Keempat, Plh kepala daerah derajat kekuasaannya paling rendah. Dia hanya melaksanakan tugas kepala daerah sehari-hari, sama sekali tidak boleh membuat kebijakan strategis. 
Plh biasanya ditunjuk dari Sekda karna kepala daerah maupun wakil kepala daerah berhalangan secara bersamaan,   dan jangka waktu memerintah pendek saja, yaitu sementara menunggu diangkatnya Pjs atau Pj. 

Kekuasaan seiring sejalan dengan penghasilan dan fasilitas.
Dari keempat jenis catetaker itu, Plt dan Plh tidak mendapat apa-apa selain tugas. 

Tapi bagi Pj dan Pjs kepala daerah mereka bisa menerima penghasilan dan fasilitas yang lazimnya diberikan kepada seorang kepala daerah, seperti gaji dan tunjangan, ruang kerja, rumah jabatan, kendaraan dinas, dan lain-lain.

Begitu pula isteri Pj dan Pjs yang otomatis menjadi "local first-lady" berhak memperoleh fasilitas dari pemda.

Terakhir, penting dicatat bahwa para Pj dan Pjs tidak boleh dicopot dari jabatan strukturalnya, karna bisa menggugurkan jabatan caretaker kepala daerah yang sedang dipangkunya.

Maka, untuk memperlancar jalannya unit organisasi struktural yang ditinggalkannya, pejabat yang berwenang bisa menunjuk seorang Plt.

Artikel Terkait