Nasional

Belajar dari Pemilu AS, Sejauh Mana Uang "Diperbolehkan" Mengambil Alih Konstelasi Elektoral?

Oleh : very - Selasa, 02/02/2021 10:42 WIB

Politik uang. (Foto: Ilustrasi)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Amerika Serikat (AS) telah memiliki presiden baru. Namun, hal tersebut tak serta merta menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi di negara tersebut. Betapa tidak, Donald Trump dan Joe Biden sebagai kandidat yang bersaing adalah fenomena yang lebih mengakar dalam politik di AS, terutama terkait bagaimana negara itu menyelesaikan berbagai persoalan ekonomi dan politiknya.

Pertanyaan besar terkait demokrasi di negara tersebut ialah apakah demokrasi di negara super power itu masih bertujuan pada kepentingan masyarakat banyak (bonum communae). Hal ini misalnya disampaikan oleh akademisi dan mantan diplomat asal Singapura, Kishore Mahbubani dalam salah satu wawancaranya dengan Nikkei Asia pasca kemenangan Joe Biden.

Seperti dikutip dari pinterpolitik.com, Kishore menyebutkan bahwa kemenangan Joe Biden tak menyelesaikan akar persoalan yang terjadi di negara tersebut. Mahbubani menyebut AS bukan lagi sebuah negara demokrasi, melainkan sudah berubah menjadi semacam plutokrasi. Ini adalah negara yang dikuasai dan dijalankan oleh satu persen penduduknya untuk kepentingan satu  persen penduduk tersebut.

Konteks satu persen yang dimaksud Mahbubani adalah orang-orang kaya yang menjadi pemilik modal dan para pengusaha di sektor-sektor tertentu. Hal ini sudah menggurita sedemikian rupa dalam sistem politik di AS, sehingga demokrasi di negara tersebut tidak lagi bertujuan untuk mengupayakan masa depan atau kepentingan masyarakat banyak, melainkan kepentingan segelintir orang saja.

Mahbubani memang kembali mengangkat perdebatan tentang rezim politik uang. Ini adalah kondisi ketika uang dan kekayaan menjadi faktor utama yang menentukan persaingan politik dalam sebuah kontestasi elektoral.

Persoalannya adalah seberapa jauh sebetulnya uang “diperbolehkan” mengambil alih arah kontestasi elektoral? Lalu seperti apa kondisi ini direfleksikan dalam pemerintahan Presiden Jokowi di Indonesia?

 

Rezim Politik Uang

Menyebut kontestasi elektoral di AS sebagai pembuktian rezim politik uang memang bukan tanpa alasan. Jika melihat data pendanaan kampanye yang terjadi pada Pemilu AS 2020 lalu, jumlah uang yang beredar memang tidak sedikit.

Mengutip publikasi CNBC, secara total Pemilu AS menghabiskan dana hingga US$ 14 miliar atau sekitar Rp 197 triliun kurs saat ini. Dari jumlah tersebut, untuk Pilpres sendiri dana yang dihabiskan mencapai US$ 6,6 miliar atau sekitar Rp 93 triliun. Sementara pemilihan anggota kongres menghabiskan dana US$ 7 miliar atau sekitar Rp 98 triliun.

Jumlah tersebut memecahkan rekor pendanaan kampanye politik di AS yang mencapai dua kali lipat dari total dana yang dihabiskan pada Pemilu 2016 lalu. Ini juga menggambarkan betapa politik di negara tersebut makin money centric atau berpusat pada uang dalam urusan pemenangan kontestasi elektoral.

Jumlah pendanaan kampanye Pilpres yang diperoleh dari fund raising atau penggalangan dana masing-masing kandidat juga sangat fantastis. Dari data yang ditampilkan oleh NPR per 4 Desember 2020, Joe Biden dan Partai Demokrat sukses mengumpulkan US$ 1,69 miliar atau sekitar Rp 23,7 triliun. Sedangkan Donald Trump dan Partai Republik berhasil mengumpulkan US$ 1,96 miliar atau sekitar Rp 27,5 triliun.

Dari jumlah-jumlah tersebut, antara periode 15 Oktober 2020 sampai 23 November 2020, Biden berhasil mengumpulkan US$ 173 juta (Rp 2,4 triliun) sementara Trump berhasil menampung dua kali lipatnya, yakni sekitar US$ 386 juta (Rp 5,4 triliun). Jumlah-jumlah tersebut tentu saja amat sangat besar untuk sebuah proses politik 4 tahunan.

Ulasan menarik lain juga ditampilkan oleh Bloomberg yang menyebutkan bahwa Pemilu di AS selalu melibatkan apa yang disebut sebagai “dark money”. Ini adalah sejumlah sumbangan untuk pemenangan Pilpres yang berasal dari orang, organisasi, perusahaan atau kelompok tertentu yang tidak menampilkan identitas atau pendonornya.

Faktanya, beberapa media menyebutkan bahwa salah satu alasan Biden bisa memenangkan pertarungan politik kali ini adalah karena Partai Demokrat akhirnya membuka diri untuk menerima dark money. Padahal, sebelum-sebelumnya partai tersebut menolak dark money karena menganggapnya cenderung koruptif.

Biden disebut mendapatkan US$ 145 juta dark money untuk kampanye pemenangannya kali ini. Jumlah itu terpaut sangat jauh dibandingkan US$ 28,4 juta yang didapatkan oleh Donald Trump. Bahkan, dark money Biden kali ini memecahkan rekor tertinggi yang sebelumnya dipegang oleh kandidat Partai Republik pada Pilpres 2012 lalu, Mitt Romney yang mengumpulkan US$ 113 juta.

Fenomena-fenomena tersebut akhirnya membawa publik sampai pada kesimpulan bahwa dari uang lahir kekuasaan. Dari uang pula demokrasi direbut dari hakikatnya sebagai jalan pemenuhan kepentingan masyarakat banyak. Tak heran, apa yang disampaikan oleh Mahbubani tentang plutokrasi dengan sendirinya mendapatkan pembenaran.

Filsuf politik AS, John Rawls pernah menyebutkan bahwa jika sebuah sistem politik menempatkan uang sebagai penentu sebuah kebijakan atau hasil kontestasi elektoral, maka kebijakan atau kandidat yang dihasilkan akan cenderung favors the rich and hurts the poor – berpihak pada yang kaya dan menyakiti yang miskin.

Dalam konteks kemenangan Biden, hal ini juga tak akan menyelesaikan berbagai persoalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat AS, terutama untuk 50 persen dari populasi dengan pendapatan terendah. Pasalnya, apa yang terjadi pada AS saat ini adalah sebuah transformasi ekonomi masif akibat bergesernya arah produksi yang terjadi di negara tersebut.

Teknologi yang makin maju disertai dengan perkembangan artificial intelligence atau kecerdasan buatan membuat banyak pekerja kerah biru di negara tersebut yang makin terpuruk penghidupannya, bahkan tidak sedikit yang kehilangan pekerjaan.

Dalam konteks kendali uang atas politik, Mahbubani sempat menyinggung bagaimana Jepang berhasil mengondisikan kontestasi elektoral di negara tersebut pada akhirnya menghasilkan pemimpin yang memperhatikan secara seksama penghidupan 50 persen terbawah dari populasinya. Ini menjadi catatan penting dari pembatasan penggunaan politik uang agar tetap membuat demokrasi berjalan sebagaimana mestinya.

 

Pemilu di Indonesia

Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Politik uang juga perlahan tapi pasti makin menguasai negara ini. Beberapa sumber menyebutkan bahwa pada tahun 2014 misalnya, seseorang membutuhkan setidaknya Rp 7 triliun untuk bisa mencalonkan diri sebagai calon presiden. Ini salah satunya ditulis oleh Forbes.

Jumlah tersebut tentu saja meningkat drastis pada Pilpres 2019 lalu. Konteks ini memang menggambarkan kuatnya rezim politik uang menguasai sistem perpolitikan Indonesia.

Ekonom senior Rizal Ramli misalnya, pernah menyebutkan bahwa dirinya dimintai uang Rp 1,5 triliun kalau ingin jadi presiden negara ini. Hal tersebut disampaikannya dalam perbincangan dengan pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun.

Apa yang disampaikan tersebut juga membenarkan bahwa kungkungan politik uang terjadi akibat kuatnya posisi partai politik yang ada. Ini menyebabkan kandidat-kandidat yang bersaing harus memenangkan dukungan partai politik terlebih dahulu, sebelum akhirnya bisa sukses menjadi calon.

Hal yang tentu menjadi keprihatinan adalah jika rezim politik uang tersebut kemudian menyandera kepemimpinan yang dilahirkannya. Akibatnya, setiap kebijakan dan program yang dibuat pemerintah akan sarat nuansa kepentingan satu persen populasi, seperti yang dimaksudkan oleh Mahbubani.

Lantas, apakah politik Indonesia akan sampai pada titik yang sama dengan politik di AS?

Jika politik uang ini semakin tidak terkendali, maka jangan heran jika pada akhirnya demokrasi juga akan dibeli. Maka, kita pun bertanya, apakah pemilu masih akan berguna? (pinterpolitik.com/Very)

Artikel Terkait