Opini

Putra Sabu, Sang Talented

Oleh : indonews - Jum'at, 05/02/2021 12:04 WIB

Max Umbu, pemerhati sosial budaya dari NTT. (Foto: Youtube)

Oleh: Max Umbu*)

INDONEWS.ID -- Orang-orang sedang membicarakan dia.

Media lokal dan nasional, media sosial tidak luput membombardir halaman pemberitaan.

Tajuknya sama, tentang dia, putra Sabu itu.

Seru, serang shering opini

Debat dan diskusi saling silang

Penguasa, politisi, pendebat kaki lima, kaget, terhenyak, seperti baru terbangun dari tidur dan mimpi panjang.

Siuman dari kebiasaan dan kebablasan domokrasi.

Interupsi...ya..interupsi...

Ada kisah dan kasus yang tak biasa.

Ada yang mengaku kecolongan jika itu benar, ada yang menduga itu tidak jujur, tidak sedikit yang menyebut itu melanggar hukum (pidana). Tidak kurang juga yang mengharapkan Pilkada ulang, sementara yang lainnya berpandangan jalan terus lantik urusan kemudian.

Siapa dia gerangan yang telah membangunkan kita dari tidur panjang dan manja dalam rutinitas demokrasi prosedural ini?

Siapa dia yang sedang membangunkan karakter demokrasi yang sejatinya, mengaturnya sudah menjadi keyakinan/ prinsip global ?

Siapa dia yang telah meluruskan jalan dari gombalnya demokrasi di bumimu ?

 

Sang talented putra Sabu itu menyadarkan kita, sadar tanpa dasar kokoh, yang selama ini telah menggemukkan pesta demokrasi yang rawan secara prosedural.

 

Bangsa yang kenyang dengan demokrasi prosedural namun miskin substansi.

Memanen kepercayaan rakyat. Demokrasi adalah alatnya, Pemilu/ Pilkada adalah caranya. Ambisi yang melekat pada prosedur, substansi yang rontok dari spirit perubahan ini berubah menjadi tantangan. Akankah tantangan itu menuntun kita pada tatanan dunia baru? Baru dalam cara kita memaknai masa depan yang memang berubah dan harus berubah ? Dunia memang cepat berubah, kejutan telah menjadi budaya, rute dan jejak demokrasi escape?

Terima kasih kepada dia, yang kena dia, kesadaran dan dasar demokrasi yang gemuk dengan prosedur ini sedang dibahas hampir dari segala sudutnya.

Siapa dia gerangan? Yang sedang menggugat dan menggugah kesadaran kita?

 

Ya. Dia mungkin saja bukan warga negara Indonesia saat ini.

Tapi yang pasti dia pernah menjadi warga Indonesia yang baik (tidak ada catatan buruk untuk itu).

Yang pasti pula dia adalah bangsa Indonesia asli, darah Indonesia asli, darah Sabu asli sebagai sukunya, leluhurnya.

 

Bagi saya, siapapun bisa saja menjadi warga negara lain tapi siapapun tidak bisa membantah kalau yang bersangkutan tetaplah bangsa Indonesia dan suku Sabu yang gagah berani dan cinta damai itu.

 

Bagi saya, dia ini adalah seorang talented, pembelajar dan terpelajar.

Tidak banyak dari kita yang bisa mencapai titik itu.

Titik dan pencapaian yang menjadi perjuangan dan cita-cita sebagian besar generasi kita.

 

Dia boleh saja menjadi warga negara lain entah itu untuk sementara atau untuk selamanya karena satu dan lain hal.

Namun yang pasti, ia telah pergi untuk kembali.

Kembali ke pelukan rindunya pada tanah Sabu kelahirannya.

Lantunan salah satu syair dalam tangga nada lagu sabu yang tersohor itu pelanggan manggil dia pulang...."BOLE BALO RAI DI RAI HAWU, RAI DUWE DONAHU" (Jangan lupakan tanah kita, tanah Sabu, tanah yang dilimpahi/ karuniai dengan air nira/ legen dan gula merah".

Manisnya masa depan Amerika tidak semanis dan hangatnya panggilan gula sabu. Ia telah kembali dalam tanah leluhurnya, diantara sahabat, keluarga dan tanggung jawabnya.

 

Ya.... tanggung jawabnya

Dipastikan dia bukan seorang yang yang bisa disebut kacang lupa akan kulitnya, walau tidak sedikit dari kita paling tidak sampai dengan hari ini adalah bagian dari kacang lupa akan kulitnya, gula sabu yang lupa dimana pohon duwenya, pohon duwe yang lupa di mama akarnya berpijak, rawu ( rumput laut) yang lupa darimana kebunnya, asinnya garam yang lupa dimana lautnya.

 

Sebagai seorang diaspora, tentu tidak mudah untuk mengambil keputusan besar untuk kembali hanya karena panggilan melayani.

Tarikan kemakmuran Amerika nyatanya telah mampu dimenangkan oleh panggilan dari Manisnya Gula sabu.

 

Jika pada akhirnya, panggilan itu kini menjelma menjadi nada, rasa dan citra yang menjadi pahit. Akankah itu ia sepah dan muntahkan kembali ? Saya rasa dan pikir jauh dari kemungkinan itu.

 

Cinta dan kasihnya untuk melayani dan membangun daerahnya jauh lebih besar dari rasa kebencian yang dipupuk dan dikobarkan oleh mereka yang membencinya.

 

Ya... dia bukan malaikat, pastilah ada saja di sana-sini kekurangannya. Sebagai seorang anak manusia yang harus tumbuh dan berkembang dan yang kini ingin memberikan spirit dan semangat juang bagi keluarga besar sabunya juga yakin bawa Sabu juga pantas maju.

 

Akankah dia yang menang di perantauan akhirnya akan dikalahkan hanya oleh celah kecil yang menjadi senjata mereka yang tak ramah dan tak seirama?

 

Ah, yang aku tahu dari kabar yang dibawa oleh angin dari pelosok.

Dia tidak berusaha membela diri dengan sengit, sesengit sengat remah-remah terbuang. Dia memilih untuk tetap bersikap tenang, sopan, cermin dari seorang talented.

 

Dia lebih memilih untuk menerangi kegelapan malam rai hawu.

Dia bercita-cita memanen tenaga / kekuatan dari matahari.

Waktu yang melimpah namun lama terbuang.

Dia tidak memilih maboknya laru sebagai ciri dan cara untuk merayu kesejahteraan.

 

Dia lebih percaya pada terangnya sang surya yang dipanen tanpa henti untuk mengusir kesenjangan dan kemiskinan dari padang manisnya masa depan yang dipanen dari sebotol laru (minuman mengandung alkohol).

 

Bersambung

*) Penulis adalah pemerhati sosial budaya dari Nusa Tenggara Timur

Artikel Terkait