Nasional

Fenomena Buzzer Bin Influencer Pasca Kekuasaan Pers OBH

Oleh : Rikard Djegadut - Kamis, 18/02/2021 19:59 WIB

Eko Maryadi, Kolumnis dan CEO Independen.id

Oleh : Eko Maryadi, Kolumnis dan CEO Independen.id

Opini, INDONEWS.ID - Masih banyak wartawan atau pekerja pers terutama generasi koran cetak, atau pekerja TVRI/RRI zaman Harmoko, yang bingung, bahkan kuatir menghadapi fenomena buzzer bin influencer.

Sebagian dari mereka membawa kebingungan dan kecemasan dari masa lalu, era dimana berita pers, lembaga kewartawanan dan perusahaan pers dikuasai penuh oleh negara.

Instrumen kontrol pers zaman Orde Baru Harto 1966-1998) memang dahsyat.

Rejim OBH mengontrol dari hulu ke hilir, dari UU Pokok Pers tahun 1966 ke Menteri Penerangan, ke Dirjen Pers Grafika, ke Ketua organisasi tunggal wartawan, ke pemimpin redaksi media, ke korlip dan pimpinan wartawan di lapangan --dengan setumpuk aturan yang ketat dan menakutkan.

Intinya : hanya berita dan iklan dan apapun keluar dari halaman koran hari itu yang sudah diperiksa dan atau disetujui alias distempel penguasa, yang bisa diakses publik.

Mereka yg tidak patuh, bisa dipecat, dibredel, ditangkap, dibui, bahkan bisa hilang tanpa jejak.

Puji Tuhan, alhamdulillah, rejim otoriter totaliter Orde Baru Harto (OBH) runtuh pada Mei 1998.

Sejak 1999 Indonesia memiliki UU tersendiri tentang Pers, masuk ke era baru yang lebih bebas reformis, secara bertahap menjadi negara demokrasi yang kaffah, yang jika tidak direm bisa menuju era khilafah.

Salah banyak dari hikmah kebebasan itu : tak ada rejim bredel, tak ada organisasi tunggal wartawan, tidak ada lagi aturan SIUPP atau SIT untuk membuat usaha pers.

Sejalan dengan perubahan platform pers digital dari cetak dan analog, profesi wartawan berubah dari tertutup jadi terbuka.

Munculnya idiom "everyone is a journalist" menunjukkan profesi wartawan bisa diambil alih siapapun yang menguasai ilmu publikasi dan komunikasi massa.

Sayangnya, perubahan mindset dan watak pers cetak ke pers digital tidak selalu mulus. Dicampur pemahaman pelaku pers generasi baby boomers yang kaku dan traumatik, membuat reformasi pers seperti terseok-seok.

Pers Era Digital dan Kebenaran versi BLUR

Buku BLUR --Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir Informasi-- terbitan Dewan Pers (2012), karangan Bill Kovack dan Tom Rosenstiel (yg juga penulis kondang The Elements of Journalism), mengupas fenomena banjir informasi dan munculnya influencer era digital.

Ketua Dewan Pers saat itu Prof. Dr. Bagir Manan menulis Pengantar bahwa "dalam era digital dan demokratisasi informasi, tidak ada lagi (monopoli) kebenaran oleh lembaga pers/media."

Dalam buku yang sama (BLUR), Bab 9 halaman 178-212 dipaparkan panjang lebar diantaranya : metafora penjaga pintu tunggal yg memediasi fakta atas nama publik saat ini kian problematik --atau bahkan usang.

Ada banyak kanal penghubung sumber berita dan publik ; pers hanyalah salah satu diantaranya.

Sekadar contoh : pada Pemilihan Presiden AS tahun 2008, video yg dibuat staf kampanye Obama (bahasa kerennya BUZZER bin influencer) ditonton oleh 1 miliar orang melalui channel YouTube sang kandidat, TANPA MELIBATKAN PERS.

Jadi kalau koran New York Times atau The Washington Post dibaca 1 juta warga AS, Youtuber Presiden Obama menghasilkan 1 miliar penonton!

Sepertiga orang Amerika hari ini membaca berita berkat rekomendasi sosok non-wartawan (alias influencer bin buzzer) yang mereka ikuti di jejaring media sosial --apakah IG, FB, Linkedin, Whatsapp.

Hampir separuh dari warga Amerika membaca berita dari kiriman teman, enam dari 10 orang yg mengakses berita online mendapatkan berita dari mesin agregator atau endorser medsos.

Di tengah kondisi ini, wartawan atau pers menjadi penjaga pintu ruangan (redaksi) yang tak berdinding.

Pers Digital & Angkatan ke-5 Demokrasi

Sejak 2010, AJI telah mengakui angkatan ke-5 dalam demokrasi --maaf ini bukan buruh tani yg dipersenjatai-- melainkan kehadiran netizen dan blogger sebagai pilar ke lima demokrasi melengkapi empat pilar yang ada : kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, pers yg bebas.

Jika mahluk bernama pemerintah berubah, maka otomatis mahluk bernama rakyat dan media pun ikut berubah.

Minimal pers dan para wartawan tidak boleh lagi merasa paling hebat, paling kompeten, atau merasa lebih benar dari blogger, netizen, termasuk dari influencer ataupun buzzer.

Biar nggak apa kali dengan sebutan BUZZER INFLUENCER, ada baiknya kita pahami mahluk itu dgn konteks yg sangat sederhana.

Influencer = pekerja HUMAS (hubungan masyarakat alias PR atau Public Relations).

Buzzer = juru kampanye, atau markom (marketing communicators) atau jurkam yang bekerja di bidang komunikasi massa.

Perubahan nama humas jadi influencer itu mirip dengan sebutan tukang masak menjadi koki, atau chef. Lebih keren dan kekinian, meskipun produknya sama.

Singkat kata, kecemasan dan ketakutan terhadap buzzer atau influencer itu lebih pada kekuatiran masyarakat kita terbelah dalam kubu-kubu tertentu.

Lalu masalahnya dimana? Wong selama bumi berputar sampai hari ini, sekitar 8 Miliar manusia sudah terbelah oleh sekat-sekat ras, agama, gender, golongan sosial, pandangan politik, pilihan hidup, dan banyak lagi ---toh hidup terus berjalan dan kiamat sepertinya masih jauuh.

Menghadapi buzzer dan influencer medsos itu protokolnya sama seperti ngadepin Covid19 : rajin cuci tangan, pake masker, ubah perilaku batuk dan bersin, jaga jarak aman, jaga imunitas tubuh dan berpikir yang baik-baik saja.*

Artikel Terkait