Opini

Karma Wisuda Ghosting

Oleh : Rikard Djegadut - Rabu, 10/03/2021 20:01 WIB

Foto Kaesang Pangarep dan Felicia Tisseu bersama keluarga besara (Foto: Ist)

Oleh: Christianto Wibisono, Penulis Buku "Kencan Dinasti Menteng" dan pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia

Opini, INDONEWS.ID - Tahun 1970 saya menulis buku "Aksi-Aksi Tritura" yang menguraikan detail demonstrasi pelengseran Bung Karno ke Jendral Soeharto.

Selasa 8 Maret 1966, pendemo merusak Departemen Luar Negeri di Pejambon dan hari Rabu 9 Maret Presiden meninjau Deparlu.

Kamis 10 Maret 1966, partai politik diundang rapat di Istana menyikapi demo yang sudah berlangsung 60 hari sejak 10 Januari 1966.

Jumat 11 Maret, Sidang paripurna kabinet dan Saptu 12 Maret diadakan Commanders Call Pangdam se-Indonesia. Dalam tempo 2x24 jam terjadi pembalikan situasi.

Pimpinan 9 parpol yang diundang mengeluarkan statemen yang mengecam demo mahasiswa pada Kamis malam 10 Maret.

Tapi Jumat 11 Maret keluar Supersemar sehingga sore hari itu muncul “ralat” terhadap statemen itu karena Pangkopkamtib Letjen Soeharto dengan wewenang Supersemar membubarkan PKI 12 Maret dan mahasiswa berpawai kemenangan di jalan protokol ibukota Jakarta.

Kemudian Selasa 15 Maret, Supersemar dipakai untuk mengamankan 15 menteri Kabinet Dwikora II yang baru dilantik 24 Februari 1966. Semua sudah jadi sejarah politik kita.

Teoretis Pilpres 2024 masih 3 tahun lagi, tapi kasak kusuk lobby dan manuver akuisisi parpol sudah berlangsung sengit terbuka dan atau confidential tapi kemudian diungkapkan juga.

Hostile take over Partai Demokrat oleh KSP Muldoko dan 7 samurai Partai Demokrat berlangsung dalam gaya Erwin Rommel jendral panser Jerman menyapu Inggris dari Afrika Utara di awal Perang Dunia II.

Hari Rabu 10 Maret, diumumkan bahwa Ketum Golkar telah berkunjung ke Pulau Kaliage membicarakan konvensi capres 2024 dengan Ketum Nasdem Surya Paloh di kepulauan Seribu.

Viral juga hasil survey NSN yang diumumkan Kamis 4 Matet 2021 yang menempatkan PDIP sebagai juara pertama 21,3% disusul PSI 14,3 % dan Golkar 9,8 % di wilayah DKI.

Partai lain berada pada posisi di bawah double digit PKS (8,5 persen), Gerindra (7,0 persen). Demokrat (5,5 persen), Nasdem (4,3 persen) Beruntung Demokrat masih lolos ambang 4% sebab survey itu diadakan sebelum kemelut kudeta KLB 5 Maret 2021.

Sedang 3 partai lain dibawah threshold PAN (3,5 persen), PKB (2,8 persen), dan PPP (2,0 persen). PSI sedang mengadakan konsolisasi internal dengan mengangkat ex ketum Grace Natalie jadi waketum Dewan Pembina mendampngi Jeffrey Geovanise dan ex Sekjen RJA Antony jadi Sekretaris Dewan Pembina menggantikan Sunny Tanuwijaya.

Konsolidasi ini mungkin bisa memperkuat spektrum dukungan masyarakat generasi mapan yang merasa kurang diapresiasi oleh generasi milenial.

Sebagai Plt. Sekjen diangkat Dea Tungggaesti, pakar hukum dan selebrities mendampingi Plt. Ketum Giring Niji ketika Grace Natalie cuti studi di NUS Singapore.

Berita “kudeta KLB” sempat bersaing drama karma Kaesang Felicia Nadya (KFN). Heboh KFN ini meledak pas hari H kudeta KLB di Sibolangit Sumut. Tapi seluruh medsos malah sibuk dengan KFN.

Ada yang mengingatkan Kaesang jangan mengulangi drama A Hokyang menceraikan istri karena perempuan baru mengorbankan keluarga.

Sebagian masyarakat juga menyesalkan factor agama ternyata masih merupakan salah satu factor yang mempengaruhi batalnya pernikatan Kaesang Felicia.

Di zaman Orde Baru juga salah satu putri Cendana berpacaran dengan pria Nasrani, putra elite Jendral Orde Baru. Pernikahan batal karena masih peka bahwa presiden RI punya mantu Nasrani.

Alasan seperti ini tentu sulit memperoleh “barbuk” (barang bukti). Anehnya, Presiden Jokowi juga mendadak menerima tokoh kontroversial Amien Rais di Istana 9 Maret 2021 membicarakan kasus penembakan km 50 yang menewaskan 6 anggota FPI.

Kontestasi menuju 2024 memang mengandung pelbagai drama mirip draKor dan karma politik mirip Babad Tanah Jawi.

Semua itu berlangsung dalam suasana global yang juga mengandung momentum transformasi geopolitik yang menimbulkan optimisme dan harapan perdamaian dunia serta pemulihan ekonomi pasca Covid.

Karena bersamaan dengan pelbagai anomaly masalah pacaran anak mantu presiden, yang menenggelamkan berita kudeta KLB Jendral Muldoko atas Mayor AHY.

Sri Paus Fansiskus melakukan trobosan silaturahmi ke Ayatollah Akbar Ali Sistani di Najaf Iraq. Kalau Timur Tengah saja sudah damai, masak Indonesia masih mempersoalkan beda agama dan nikah campuran antara keluaga elite tingkat kerabat Presiden.

Yang pertama “menerobos” tembok sara itu pastilah Bung Karno dengan menikahi Ratna Sari Dewi. Akan menjadi problematic bila cucunya, putra Karina Kartika Dewi, yang berkewarganegaraan Belanda akan terjun berpolitik.

Bolehkah cucu Bung Karno itu jadi menteri kabinet atau bahkan jadi Presiden RI di masa datang. Kalau untuk tingkat menteri Archandra Tahar dan Bupati terpilih Sabu Raijua, Orient P Riwu Kore malah pemegang paspor AS sekarang sedang disidangkan di pengadilan TUN.

Maka jelas kita mempunyai masalah besar dalam soal kecil “tetek bengek” seperti beda agama anak mantu presiden. Istri PM Syahrir juga seorang wanita Belanda. PM Rajiv Gandhi beristri Sonia wanita Italia. Suami Aung San Su Kyi seorang Inggris yang menghalangi Su Kyi menjadi presiden Myanmar.

Mungkin factor politik tidak ada dalam kasus heboh KFN yang sempat menenggelamkan isu kudeta KLB.

Di medsos beredar keluhan AHY kenapa Kaesang heboh ghosting sampai menghilangkan berita kudeta Partai Demokrat. Kenapa berita Kaesang ghosting malah lebih trending topik dari kudeta PD AHY Muldoko.

Kayaknya memang drakor, drama dan karma politik tidak lepas dari emosi dan factor SARA.

Sayang bahwa di saat Sri Paus sowan ke Ayatollah Sistani, Indonesia tidak berperan serta jadi jurudamai tapi malah sibuk dengan soal tetek bengek beda agama dan rebutan kursi ketum partai secara kurang elegan.*

Artikel Terkait