Nasional

Ikut Panen Raya di Sumba Barat Daya, LaNyalla Sebut Impor Beras Bukan Polusi

Oleh : Mancik - Selasa, 23/03/2021 16:01 WIB

Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti bersama Senator NTT Asyera RA Wundalero dan Senator Lampung Bustami Zainudin, menghadiri kegiatan panen raya di Desa Taba Tana, Weekelosawa, Sumba Barat Daya.(Foto:Dok.DPD RI)

Sumba Barat Daya, INDONEWS.ID - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti bersama Senator NTT Asyera RA Wundalero dan Senator Lampung Bustami Zainudin, menghadiri kegiatan panen raya di Desa Taba Tana, Weekelosawa, Sumba Barat Daya.

Kegiatan panen raya padi varietas Nutri Zinc, itu dihadiri Bupati dan Wakil Bupati SBD dan Ketua Yayasan Kalakioma Julius Bobo selaku pengembang varietas serta Pimpinan Forkompinda hingga camat se- Kabupaten SBD dan kepala desa se -Kecamatan Weekelosawa.

Pada kesempatan tersebut, LaNyalla mengatakan, langkah pemerintah untuk pemerintah untuk mengimpor beras dari luar negeri bukan solusi yang tepat ketika petani Indonesia sedang memasuki musim panen. Terbukti, para petani sedang memanen padi dengan hasil yang sangat memuaskan.

"Masalah kita bukan kekurangan beras. Karena cadangan beras di gudang-gudang Bulog masih mencukupi. Masalah kita adalah belum sukses mengatur dan memfasilitasi proses distribusi beras dengan supply chain management yang baik. Sehingga harga gabah di sejumlah sentra padi anjlok," kata LaNyalla yang mengikuti panen raya di Sumba Barat Daya, Selasa (23/3/2021).

Rencana impor beras di saat masyarakat memasuki musim panen, menurutnya, harus dipertimbangkan dengan cermat oleh pemerintah, terutama Kementerian Perdagangan. Kementerian Perdagangan harus memikirkan nasib petani yang paling utama daripada kepentingan para oknum yang menginginkan kebijakan impor beras.

Selain itu, katanya, pemerintah harus memperbaiki tata kelola komoditas pertanian Indonesia. Hal ini penting agar pemerintah mempunyai rencana jangka panjang dan perhitungan yang baik dalam menentukan satu kebijakan terutama berkaitan dengan nasib para petani kecil.

"Kebijakan tata kelola atau perniagaan hasil komoditas pangan sangat luas. Mulai dari filosofi dasar dan cara pandang pemerintah terhadap petani. Mau ditempatkan sebagai subjek atau objek? Karena ini sangat menentukan nasib petani," jelasnya.

LaNyalla juga menilai dibutuhkan dukungan data yang konkret dari ketersediaan dan kebutuhan komoditas itu. Juga data mengenai supply dan demand, termasuk rantai distribusi komoditas tersebut.

"Di sini kita bicara supply chain management. Bagaimana memindahkan atau mendistribusikan hasil komoditas ke daerah atau wilayah yang membutuhkan. Sehingga, untuk mengatasi kelangkaan komoditas di wilayah non-penghasil, bukan dijawab dengan kebijakan impor," terangnya.

Oleh karena itu, LaNyalla menegaskan sangat diperlukan kebijakan yang tepat sasaran untuk menurunkan biaya pokok produksi di tingkat petani. Termasuk apa yang sudah dilakukan pemerintah melalui program food estate.

"Karena, hasil akhir yang ingin dituju adalah ketercukupan cadangan pangan, atau ketahanan pangan. Ketahanan pangan menjadi isu strategis dunia. Apalagi Badan Pangan Dunia, FAO, sudah memberikan warning adanya potensi krisis pangan global sebagai dampak pandemi Covid-19," katanya.

Karena itu, pemerintah di tahun  2021, menaikkan anggaran ketahanan pangan sebesar 30 persen dari tahun sebelumnya. Atau dari Rp 80 triliun di 2020, menjadi Rp 104 triliun di tahun 2021.(*)

 

Artikel Terkait