Nasional

Perubahan Status KKB ke Organisasi Teroris, Bisa Mengubur Seluruh Problem HAM di Papua Selama Ini

Oleh : very - Sabtu, 01/05/2021 13:48 WIB

Presiden Jokowi dan konflik di Papua. (Foto: Ilustrasi)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Pemerintah Pusat melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) resmi menetapkan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dan organisasi yang berafiliasi di Papua sebagai Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT).

Atas dasar itu, Pemerintah telah meminta kepada semua aparat keamanan terkait untuk melakukan tindakan secara cepat, tegas, dan terukur terhadap organisasi-organisasi tersebut.

Menurut kajian Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Pemerintah tidak secara spesifik menyebutkan siapa kelompok yang dimaksud dengan KKB dan siapa pula yang disebut organisasi-organisasi terkait dengan KKB.

Tetapi apabila merujuk pada pernyataan Ketua MPR Bambang Soesatyo tentang persoalan serupa yang disebut sejalan dengan pemerintah, jelas pihak yang disebut KKB adalah Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat dan Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).

Secara yuridis, pemerintah mendasarkan keputusannya ini pada ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 2018 tentang Perubahan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme).

Dalam pasal tersebut, “politik” disebutkan sebagai salah satu motif yang membuat tindakan “menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional” bisa disebut sebagai tindakan terorisme.

Melalui penggunaan pasal tersebut, jelas pemerintah sedang mengerangkai aspirasi kemerdekaan rakyat Papua, yang sebagiannya memilih jalan perjuangan bersenjata, sebagai salah satu motif yang membuat aksi-aksi kekerasan yang juga turut menimpa sebagian masyarakat sipil beberapa waktu belakangan sebagai aksi terorisme.

Karena itu, ELSAM dan ICJR menilai bahwa penetapan KKB sebagai kelompok teroris akan berdampak serius bagi keamanan warga sipil di Papua dan berpotensi menyebabkan tingkat eskalasi kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua kian meningkat.

“Lebih dari itu, ELSAM juga berpandangan bahwa penetapan itu hanya akan memperkuat institutionalised racism politics tak terkecuali dalam penegakan hukum,” ujar Wahyudi Djafar dari Direktur Eksekutif ELSAM, dan Erasmus A.T. Napitupulu dari Direktur Eksekutif ICJR, melalui siaran pers di Jakarta, Sabtu (1/5).

Untuk itu, ELSAM dan ICJR mendesak Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan untuk menilai kembali (review) dan mencabut penetapan KKB sebagai kelompok teroris karena akan berdampak serius bagi persoalan HAM.

Elsam dan ICJR mengatakan, Presiden Joko Widodo harus menempuh jalan damai dengan cara-cara dialog yang bermartabat melibatkan seluruh aktor pemangku kepentingan yang terlibat dalam perjuangan Papua selama ini.

“Presiden Joko Widodo harus melakukan pendekatan persuasif dengan mengedepankan dialog dengan semua elemen masyarakat di Papua, alih-alih menggunakan pendekatan represif dan militeristik,” ujarnya.

“Presiden Joko Widodo memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri untuk mengevaluasi kembali operasi-operasi keamanan di Papua, yang menjadi dasar pengiriman atau penambahan pasukan TNI/Polri di Papua, sampai dengan jelasnya ‘status keamanan’ Papua,” tambahnya.

 

Etno-nasionalis Separatisme dan Terorisme Miliki Akar Berbeda

ELSAM dan ICJR dalam diskursus akademik mengenai terorisme menyebutkan bahwa pertimbangan memasukkan politik sebagai sebuah motif dari tindakan kekerasan memang telah membawa sebagian para ahli untuk melihat kemungkinan kelompok etno-nasionalisme separatisme, yang sepintas mirip dengan apa yang terjadi di Papua, sebagai tindakan terorisme.

Buker (2017) misalnya, secara terang memposisikan terorisme sebagai satu hal yang inheren di dalam gerakan separatisme melalui terminologi yang ia sebut sebagai terorisme etno-nasionalis.

“Meskipun demikian, pandangan Buker tersebut secara terminologis bermasalah, tepat karena sebagai sebuah terminologi, terorisme belum pernah final dan masih diperdebatkan. Perdebatan ini juga tidak pernah mengerucut pada pengakuan atas motif politik, termasuk bahkan  ideologi dan agama, sebagai satu kerangka yang menentukan sejauh mana satu tindakan disebut teroris atau tidak,” ujarnya.

Pada praktiknya, penyematan label teroris terhadap gerakan-gerakan politik bertujuan meraih cita-cita kemerdekaan justru dilakukan oleh banyak negara di dunia secara serampangan untuk memojokkan gerakan-gerakan tersebut secara politis.

Sejarah Indonesia telah merekam tindakan pelabelan teroris terhadap gerakan kemerdekaan dalam kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di bawah pemerintahan Megawati Soekarnoputri.

Kala itu melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa GAM merupakan kelompok teroris yang perlu dilawan lewat cara-cara militer.

“Belajar dari apa yang telah terjadi di Aceh, pelabelan yang bertujuan untuk membasmi satu gerakan yang berakar pada aspirasi etno-nasionalis, hanya akan membawa dampak destruktif yang mengorbankan nilai-nilai Hak Asasi Manusia,” ujarnya.

Di luar permasalahan konseptual, penyematan status terorisme terhadap TPNPB-OPM ini juga memiliki permasalahan dalam konteks hukum pidana di Indonesia yang lebih dulu mengenal  etno-nasionalis separatisme ketimbang terorisme.

“Kedua hal tersebut, etno-nasionalis separatisme dan terorisme, memiliki akar yang berbeda,” ujarnya.

Secara khusus, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia lahir pasca-Bom Bali 2002, dimana berkembang begitu massif religious-motivated terrorism, yang memiliki akar berbeda dengan hadirnya delik-delik keamanan negara sebagaimana diatur oleh KUHP, yang hadir lebih dulu. Bahkan secara khusus Gus Martin (2017), membedakan antara terorisme ideologis dengan terorisme agama, yang harus direspon secara berbeda pula dalam penanganannya.

“Tepat karena semangat itulah, pelabelan teroris kepada TPNPB-OPB melalui UU Terorisme tidak bisa dibenarkan karena akan memiliki implikasi serius pada pembungkaman seluruh ruang demokrasi dan penegakan HAM yang terkait dengan akar tuntutan kemerdekaan rakyat Papua,” ujarnya.

 

Keputusan Serampang dan Menodai Negara Hukum

ELSAM dan ICJR mengatakan, pada dasarnya, Pasal 5 UU Terorisme, sebenarnya telah membatasi implementasi yang dilakukan oleh negara atas undang-undang ini dengan secara tegas mengecualikan terorisme dari tindak pidana politik.

“Tindak Pidana Terorisme yang diatur dalam Undang-Undang ini harus dianggap bukan tindak pidana politik, dan dapat diekstradisi atau dimintakan bantuan timbal balik sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan,” ujarnya.

Pembatasan tersebut membuat berbagai bentuk kejahatan terhadap keamanan negara, seperti makar dan bentuk-bentuk separatisme lainnya, tidak masuk dalam kualifikasi sebagai kejahatan terorisme.

“Dengan demikian, keputusan Pemerintah Indonesia melalui Menkopolhukam mengenai status teroris TPNPB-OPM tak lebih dari keputusan serampangan yang berpotensi menodai status Indonesia sebagai negara hukum menjadi negara kekuasaan (machtstaat),” ujarnya.

Perubahan status ini jelas berpotensi membawa legitimasi hukum bagi pemerintah untuk mengerahkan pasukan keamanan-militer dalam jumlah yang lebih besar dari sebelumnya, dengan alasan pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme.

Selain itu, model pendekatan terhadap Papua juga berpotensi akan lebih brutal dari sebelumnya, dibandingkan dengan eskalasi kekerasan yang selama ini telah dan sedang terjadi di Papua.

“Pada akhirnya, perubahan status ini akan mengubur seluruh problem HAM yang selama ini muncul di Papua. Padahal, Pemerintah Indonesia mesti jujur, bahwa melalui kebijakan keamanan-militeristik yang selama ini diterapkan di Papua itulah pemerintah turut berkontribusi pada penciptaan teror yang mengakibatkan kerugian yang sulit diukur bagi warga sipil, terutama Orang Asli Papua,” pungkasnya. (Very)

Artikel Terkait