Opini

Olah Batin

Oleh : Mancik - Selasa, 13/07/2021 09:03 WIB

Yudi Latif.(Foto:mediaindonesia.com)

Oleh: Yudi Latif*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Saudaraku, modus beragama sebatas pemujaan lahiriyah formalisme peribadatan, tanpa menggali batiniyah nilai spiritualitas dan moralitas hanyalah berselancar di permukaan gelombang bahaya.

Tanpa menyelam di kedalaman pengalaman spiritual, keberagamaan jadi mandul, kering dan keras; tak memiliki sensitivitas-kontemplatif, kehangatan penghayatan, daya kuratif serta hubungan transformatif dgn yg suci dan yg profan.

Tanpa penghayatan spiritual yangg dalam, orang akan kehilangan apa yang disebut penyair John Keats "negative capability"; kesanggupan berdamai dgn ketakpastian, misteri dan keraguan dlm hidup.

Tanpa menghikmati misteri, manusia memaksakan absolutisme sbg respons ketakutan atas kompleksitas kehidupan, yang menimbulkan penghancuran ke dalam dan ancaman keluar.

Banyak penyeru menekankan pentingnya ibadah sbg cara perangi korupsi, tanpa menyadari bahwa pengamalan keagamaan yang salah pun bisa suburkan korupsi.

Bisa dikatakan, akar terdalam tindakan korupsi adlah ”dusta terhadap agama” dgn peribadatan keliru. Al-Qur’an isyaratkan hal ini sbg pangkal kecelakaan. ”Maka celakalah orang-orang yang shalat; yang lalai dlm shalatnya; yg hanya pamer saja; yg tidak memberikan pertolongan” (QS 107: 4-7).

Dlm Hikayat Florentin, Machiavelli menandai ”kota korup” dgn sejumlah ciri. Antara lain, pemahaman keagamaan penduduk ”berdasarkan kemalasan bukan kesalehan”, yang menekankan aspek ritual-formal ketimbang esensi ajaran. Memuja insan pembual drpd pekerja, memperindah tempat ibadah daripada amal shaleh, bantu yang papa.

Pemulihan krisis kehilangan basis kepercayaannya ketika agama yang mestinya membantu manusia suburkan rasa kesucian, kasih sayang dan perawatan justru memantulkan rasa keputusasaan dan kekerasan zaman dalam bentuk permusuhan dan penyingkiran.

Untuk keluar dari krisis, suatu bangsa tak hanya perlu transformasi institusional, tetapi juga transformasi spiritual yang arahkan warga pada kehidupan etis penuh welas asih.

Beragama tak berhenti pada apa yang kita percaya, tetapi lebih hiraukan apa yang kita perbuat. Agama tak perlu tinggalkan kepercayaan dan ritualnya, tetapi lebih memperkuat aspek moralitas-spiritualitasnya demi suburkan kembali bumi nan tandus.*

*)Penulis adalah Penulis Buku Negara Paripurna dan tinggal di Jakarta.

Artikel Terkait