Opini

Merdeka dari Belenggu Korupsi

Oleh : indonews - Selasa, 17/08/2021 20:44 WIB

Tenaga Ahli DPR RI Komisi III, Wilibaldus Kuntam.(Foto:Istimewa)

Oleh: Wilibaldus Kuntam*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Usia negeri ini sudah 76 tahun. Ini usia yang sangat tua. Setua ini pula kita berjuang melawan korupsi tapi belum berhasil. Dulu Moehamad Hatta, salah satu pendiri bangsa, pernah merekabayangkan Indonesia sebagai negara merdeka tanpa korupsi. Tentu saja dengan merekabayangkan demikian berarti Hatta ingin mewujudkan kemerdekaan yang sesunggguhnya.

Tentu tak salah dengan ini. Seharusnya, tidak boleh ada korupsi dalam negara merdeka. Kenyataannya tidak seperti itu. Korupsi beranakpinak sejak Indonesia merdeka hingga kini berusia 76 tahun. Di tengah situasi semacam ini, publik tentu berharap pada politisi. Harapan itu bukan tanpa alasan. Alasannya sederhana. Politisilah yang mengubar janji memberantas korupsi.

Janji Politik

Janji politisi memberantas korupsi selalu dikenang masyarakat. Selain dikenang, janji politik itu pun ditagih publik. Soal janji politik, bolehlah kita membuka kembali file yang ada selama pesta demokrasi berlangsung. Entah itu demokrasi pilres, legislatif maupun demokrasi pemilukada.

Melawan korupsi adalah janji politik yang selalu muncul. Semua politisi berjanji melawan korupsi tanpa pandang bulu. Tidak melihat partai dan ideologinya. Korupsi yang merasuki setiap institusi politik negeri ini saat ini menunjukkan bahwa janji politik itu lebih mudah diingkari ketimbang ditepati.

Janji politisi setiap pesta demokrasi tentu hal yang biasa. Sekalipun janji itu tidak ditepati, politisi tak akan berhenti membuat janji politik serupa. Bila periode pertama politisi ingkar janji, pada periode kedua dan seterusnya pun janji yang sama tetap terucap.

Bukan kebetulan saat Putu Wijaya menyebut janji seperti ini bersifat asyik sekaligus menyiksa. Asyik karena dengan janji politik, masyarakat begitu mudah percaya pada politisi pengobral janji tapi pada saat yang sama janji itu menyiksa persis karena janji itu tidak akan terwujud.

Tinggal Janji

Agenda pemberantasan korupsi hanya tinggal janji. Bisa dibilang bahwa janji politik itu hanyalah nostalgia lama. Setiap janji politik yang terucap seolah hanya taktik untuk mendapatkan kekuasaan. Begitu kekuasaan didapatkan, maka ia dipakai sebagai instrumen semata guna merampok uang negara. Inilah instrumentalisasi kekuasaan. Di sini kekuasaan menampilkan tabiat buruknya yakni gandrung menguasai dengan cara menyakiti dan merugikan orang lain (libido nocendi). Apa yang disampaikan ini bukanlah omong kosong semata.

Majalah Tempo belum lama ini menyebut rezim selama ini telah ingkar janji memberantas korupsi. Janji politik itu telah membawa derita yang panjang. Soal ini bolehlah saya sodorkan contoh berikut. Pada periode pertama hingga kedua ini, presiden Jokowi berjanji memberantas korupsi sampai tuntas. Beliau pernah berjanji untuk memberantas korupsi tanpa pandang bulu.

Janji yang sama juga dibuat ketua KPK, Firli Bahuri. Ia berjanji akan mengadili koruptor tanpa tebang pilih. Tak peduli apakah partainya sedang berkuasa atau tak sedang berkuasa. Juga tak mau tahu apakah para koruptor itu adalah file yang menyimpan rahasia penguasa atau bukan.

Ketua KPK pun pernah berjanji akan menghukum mati para koruptor dana bansos Juliari Batubara. Hingga saat ini, semuanya tinggal janji sebab koruptor seperti Harun Masiku tak tertangkap dan Jualiari Batubara tak dituntut hukuman mati. Ketua KPK sepertinya tak berkuasa mengadili koruptor. Ia bisa masuk kategori powerlessness of the powerful.

Artinya orang yang tak berkuasa menangkap koruptor karena ada kekuasaan lain yang lebih dasyat. Ketakkuasaannya ini membuat lembaga KPK kehilangan taring. Lalu apa akibatnya? Koruptor akan tak akan kapok dan terus merampok uang negara.

Bila korupsi dianalogikan sebagai virus mematikan, layaknya virus corona, membiarkan korupsi sama dengan memperpendek umur bangsa ini. Ini karena korupsi merusak seluruh sendi kehidupan bangsa. Tentu ini menjadi tantangan terberat bangsa hari ini dan ke depan tapi bukan hanya tantangan penguasa semata tapi juga tantangan seluruh masyarakat di tanah air tercinta ini.

Tanah Air Tanpa Korupsi

Siapa pun ingin agar negeri ini merdeka dalam multi aspek. Ini sangat mungkin. Kuncinya adalah keberhasilan memberantas korupsi. Jangan pernah membayangkan Indonesia yang merdeka bila korupsi terus bertambah. Sekali lagi tak ada kemerdekaan bila masih ada korupsi. Semakin sukses memberantas korupsi berarti kemerdekaan yang diimpikan telah tercapai. Sebaliknya, semakin tinggi perilaku korupsi, semakin sulit mewujudkan kemerdekaan.

Siapa yang bertanggung jawab memberantas korupsi? Jawabannya adalah semua warga negara! Gagasan semacam ini sangat penting. Mengapa? Saya mengamati bahwa perilaku korupsi belakangan ini justru direstui banyak pihak. Ambillah contoh berikut. Kala kader partai politik tertentu melakukan tindak pidana korupsi atau gagal memberantas korupsi, rakyat justru tetap loyal mendukung dan membelanya. Padahal dukungan dan pembelaan buta tanpa nalar seperti ini adalah bagian dari upaya merusak bangsa.

Karenanya, pendidikan warga juga menjadi kunci pemberantasan korupsi. Mengapa pendidikan penting? Alasannya sangat sederhana. Peradaban dibangun oleh orang terdidik, bukan orang bodoh. Namun, pendidikan saja belum cukup. Yang penting adalah kesejahteraan masyarakat. Kita begitu sulit membayangkan perjuangan melawan korupsi saat masyarakat masih bodoh dan kelaparan.

Sampai di sini kita kembali menghadapi persoalan pelik sebab kualitas pendidikan negeri ini masih rendah dan masyarakat masih dililit persoalan keterbelakangan. Namun, kualitas pendidikan dan tingkat kesejahteraan yang masih rendah bukan alasan bagi kita untuk membangun fatalisme komunal. Sebaliknya, semua pihak mesti percaya diri dan optimis bahwa korupsi bisa diberantas sekalipun tak gampang.

Laporan BPS yang dirilis belum lama ini paling tidak menjadi sinyal baik. Dari laporan itu dikatakan bahwa perilaku anti korupsi masyarakat Indonesia meningkat mesti belum mencapai target (Tempo.co, 15/6/2021). HUT ke-76 kali semestinya memperkuat komitmen untuk mewujudkan tanah air Indonesia yang merdeka dari belenggu korupsi.

*)Penulis adalah Tenaga Ahli DPR RI Komisi III

Artikel Terkait