Nasional

Pidato Kebangsaan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono Memperingati Ulang Tahun CSIS ke-50

Oleh : Mancik - Kamis, 26/08/2021 12:43 WIB

Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono, saat menyampaikan Pidato Kebangsaan dalam rangka memperingati ulang tahun CSIS ke-50.(Foto:YouTube/CSIS Indonesia)

Jakarta, INDONEWS.ID - Lembaga Centre for Strategic and International Studies (CSIS), memberikan kesempatan kepada beberapa ketua umum Partai Politik, memberikan pidato politik dalam memperingati hari ulang tahun CSIS ke -50. Salah satu ketua umum Partai Politik yang diberikan menyampaikan pidato politik, Selasa,(24/8/2021), yakni Ketua Umum Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono.

Berikut adalah Pidato Kebangsaan secara lengkap dari Agus Harimurti Yudhoyono

"Daya Tahan dan Daya Saing Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045"

Pertama-tama, marilah kita memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT,Tuhan Yang Maha Kuasa, atas kesehatan dan kekuatan yang diberikan kepada kita untuk terus berkontribusi bagi Indonesia. Masih dalam semangat memperingati hari kemerdekaan bangsa, saya atas nama keluarga besar Partai Demokrat mengucapkan Dirgahayu ke-76 Republik Indonesia. Semoga bangsa besar ini senantiasa dalam lindungan Sang Maha Pencipta; semakin maju negerinya,semakin sejahtera rakyatnya.

Saya berbahagia, dan mengucapkan terima kasih kepada Centre for Strategic and International Studies, CSIS Indonesia, yang telah mengundang saya, Agus Harimurti Yudhoyono, dalam kapasitas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Saya berharap, kehadiran saya dalam forum terhormat ini, selain dapat mewakili seluruh kader dan konstituen Demokrat di manapun berada, juga dapat mewakili suara generasi muda bangsa, yang memiliki mimpi dan energi yang besar, untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045. Sebuah visi dan kerja besar lintas generasi; dibangun oleh para founding fathers kita, yang kemudian diturunkan, dan dilanjutkan oleh generasi-generasi berikutnya.

Pidato Kebangsaan ini saya beri judul “Daya Tahan dan Daya Saing Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045”. Ada 5 bagian besar: pertama, saya akan memotret Situasi Indonesia Hari ini. Kedua, saya akan berbicara tentang Daya Tahan Bangsa dalam menghadapi krisis. Ketiga, tentang mimpi besar kita semua, Indonesia Emas 2045. Keempat, tentang Daya Saing Bangsa sebagai imperatif untuk mewujudkannya. Dan kelima, saya tutup dengan Harapan Generasi Muda.Sebelum saya lanjutkan, izinkan saya mengucapkan selamat ulang tahun yang ke-50 kepada CSIS yang jatuh pada tanggal 1 September mendatang.

Pada ulang tahun “Emas” ini, saya mendoakan semoga CSIS semakin sukses sebagai sebuah institusi yang independen, kredibel, dan berkelas dunia, “a world-class think tank”. Semoga CSIS dapat terus hadir dalam berbagai pemikiran strategis dan kajian intelektualnya, baik terkait ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan Indonesia; hingga isu-isu kritis tentang geopolitik di kawasan, serta globalisasi dan dinamika hubungan internasional.

Secara khusus, saya juga berharap, semoga CSIS dan Partai Demokrat bisa terus bersahabat dalam merawat kebinekaan, dan memajukan demokrasi di Indonesia. Demokrasi tentu bukan menjadi tujuan kita berbangsa dan bernegara. Demokrasi juga bukan sesuatu yang sempurna tanpa cela. Tapi, sebagai bangsa, kita telah memilih demokrasi sebagai sistem dan jalan untuk mewujudkan cita-cita nasional kita. Bagi bangsa sebesar dan semajemuk Indonesia, kita meyakini bahwa demokrasi (tentunya yang dijalankan dengan benar, bertanggung jawab, dan
berkeadaban), tetap lebih baik dibandingkan sistem-sistem lainnya di dunia.

Indonesia Hari Ini

Bapak, Ibu, Hadirin sekalian Minggu lalu, saya bersama istri menghadiri secara virtual upacara peringatan kemerdekaan Republik Indonesia yang dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo. Ini tahun kedua, bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaannya dengan sangat sederhana, jauh dari gegap gempita; tidak ada parade militer, apalagi pesta rakyat. Bahkan di sela-sela mendengarkan dentuman meriam artileri saat mengenang detik-detik proklamasi, sayup-sayup terdengar raungan suara ambulans melintas di sekitar rumah kami.

Di hari kemerdekaan itu, ada 1.180 saudara-saudara kita yang harus meregang nyawa karena Covid-19. Sampai dengan kemarin (22/8) ada 126.372 warga negara kita yang telah meninggal dunia. Sampai dengan hari ini pula, terus masuk notifikasi di handphone kita, berisi kabar duka dari kerabat dan sahabat.

Banyak di antara mereka yang tidak tertolong karena keterlambatan penanganan, termasuk akibat tidak tersedianya ICU, ventilator, dan oksigen. Tidak sedikit pula yang meninggal di rumah, di perjalanan, atau di tempat parkir saat menunggu tersedianya kamar di rumah sakit. Angka kematian tidak boleh dianggap sebagai data statistik semata.Di balik setiap kematian, ada duka nestapa, rasa kehilangan, serta kesedihan yang mendalam dari keluarga tercinta yang ditinggalkan. Virus ganas itu tidak mengenal usia dan identitas kita.

Tentu menakutkan bagi siapapun yang terpapar corona. Tetapi yang juga sering membuat kita sulit tidur adalah jika kita membawa virus itu ke keluarga tercinta, para sahabat, atau lingkungan terdekat kita. Tak bisa dibayangkan, bagaimana perasaan bersalah kita, saat kita bisa sembuh dan selamat, tapi tidak bagi mereka yang kita tularkan, apalagi akibat kecerobohan dan ketidakdisiplinan kita. Ini tragedi kemanusiaan, dan drama sosial terbesar di abad 21. Tatanan kehidupan bangsa-bangsa sedunia seketika mengalami goncangan dahsyat yang tidak pernah kita pikirkan dan bayangkan sebelumnya.

Sebenarnya, sejak awal Covid masuk ke Indonesia, kita tidak pernah menyalahkan negara. Kita semua memahami bahwa pandemi ini bersifat borderless, dan sangat sulit untuk di contain. Tapi tentu setelah berjalan 1,5 tahun, rakyat Indonesia memiliki harapan yang besar kepada para pemimpin dan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk bisa bekerja secara lebih efektif dan progresif, untuk mengatasi, mengendalikan, dan pada akhirnya memutus rantai penyebaran virus di seluruh wilayah tanah air.

Kita mendukung penuh segala kebijakan dan program aksi yang telah dijalankan oleh pemerintah selama ini, terutama terkait dengan implementasi kebijakan 3T (Testing, Tracing, and Treatment), vaksinasi, serta pengetatan protokol Covid-19 bagi masyarakat melalui kebijakan 5M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, mencegah kerumunan, dan membatasi mobilitas). Kita juga mendukung upaya pemerintah bersama parlemen untuk melakukan realokasi dan refocusing APBN untuk tiga prioritas utama dalam mengatasi krisis dewasa ini. Pertama, melindungi kesehatan masyarakat melalui penguatan infrastruktur dan fasilitas medis, termasuk tenaga kesehatan. Kedua, membantu masyarakat miskin dan kurang mampu melalui sejumlah skema jaring pengaman sosial. Dan ketiga, memulihkan ekonomi rakyat, terutama dengan memberikan berbagai keringanan dan bantuan yang diperlukan untuk menyelamatkan puluhan juta pelaku UMKM kita.

Kita mengapresiasi itu semua, terlebih karena kita memahami bahwa tidak ada satu pun negara atau pemerintah di dunia yang memiliki resep ajaib untuk sukses mengatasi pandemi. Kita juga memahami bahwa ujian ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata. Semua warga negara dan elemen bangsa memiliki hak dan kewajiban untuk turut memikirkan dan berkontribusi dalam menghadirkan solusi terbaik. Karena ini negeri kita sendiri. Kalau bukan kita, lalu siapa lagi? Itu mengapa, walaupun Partai Demokrat tidak berada dalam pemerintahan nasional, kami menggunakan hak dan menunaikan kewajiban kami. Pertama, dengan mengulurkan tangan secara langsung, membantu masyarakat yang sangat terdampak oleh pandemi. Kami berprinsip bahwa “actions speak louder than words”. Oleh karena itu, di awal-awal masa pandemi tahun lalu, kami mencanangkan Gerakan Nasional Partai Demokrat Lawan Corona, untuk membagikan perlengkapan medis kepada tenaga kesehatan dan masyarakat (seperti APD, masker, disinfektan, hand sanitizer, dan lainnya), yang ketika itu masih sangat langka dan mahal.

Setelah beberapa bulan masa pandemi, dan ketika itu menjelang bulan suci Ramadhan tahun 2020 lalu, Partai Demokrat mencanangkan Gerakan Nasional Peduli dan Berbagi. Yang menjadi sasaran utama kami adalah kelompok-kelompok masyarakat yang kehidupan ekonominya sangat sulit, khususnya para pekerja harian dan lepasan, akibat kebijakan pembatasan sosial berskala besar. Kali ini, bantuan kami berikan dalam bentuk sembako dan bantuan langsung tunai. Kami juga tergerak untuk memberikan bantuan modal kepada pedagangpedagang kecil, dan para pelaku UMKM lainnya yang gulung tikar, akibat lesunya daya beli masyarakat. Sedangkan, dalam rangka membantu para pelajar yang tidak memiliki jaringan internet untuk mengikuti pendidikan jarak jauh, kami menyelenggarakan program wifi gratis di sentra-sentra belajar dan pemukiman.

Alhamdulillah, semua gerakan nasional tersebut, kami lanjutkan dalam “Bulan Bakti Partai Demokrat” dalam rangka menyambut 20 tahun Partai Demokrat, 9 September 2021 mendatang. Di antaranya, dengan memberikan oksigen gratis, tes PCR gratis, juga memfasilitasi pelaksanaan vaksinasi, serta bantuan makanan, vitamin, dan obat-obatan bagi masyarakat yang harus melaksanakan isolasi mandiri. Semua itu dijalankan dengan suka cita oleh seluruh kader dan simpatisan Partai Demokrat di berbagai penjuru tanah air, dari Aceh sampai Papua. Swadaya, dan sesuai kemampuan masing-masing, seluruh kader ikhlas dan aktif bergerak, turun langsung ke lapangan untuk meringankan beban masyarakat di sekitarnya. Sebagai pemimpin, tentu saya bangga dan terharu atas itu semua. Walaupun jumlahnya mungkin tidak seberapa, namun semoga bisa sedikit meringankan beban masyarakat kita.

Bapak, Ibu, Sahabat-sahabat CSIS sekalian, Melalui front lainnya, secara paralel, di parlemen dan di ruang-ruang publik,kami juga konsisten untuk terus memberikan masukan-masukan yang konstruktif untuk pemerintah, sekaligus menyuarakan harapan dan aspirasi rakyat. Semua berdasarkan fakta dan realitas di lapangan. Kami tidak segan untuk memberikan apresiasi, termasuk dukungan penuh, terhadap segala kebijakan yang tepat sasaran, dan berpihak pada rakyat. Tapi, kami juga akan bersuara lantang, termasuk menyampaikan kritik, terhadap hal-hal yang tidak tepat, apalagi menyimpan “bom waktu”. Sebagai contoh, sejak awal kami tegas mengingatkan bahwa, dalam menangani pandemi, negara tidak boleh gagal fokus antara “api” dan “asap”.

Dalam konteks ini, pandemi Covid-19 adalah apinya, sedangkan tekanan ekonomi merupakan asapnya. Jangan kita habis-habisan berupaya menghilangkan asapnya, sedangkan apinya gagal kita padamkan secara total. Selama ada api, selalu akan ada asap. Pada akhirnya, tidak ada yang lebih berharga dari nyawa manusia. Ekonomi bisa dipulihkan secara bertahap, tapi manusia yang mati tidak bisa dihidupkan kembali. Ternyata, apa yang kami ingatkan sejak satu setengah tahun yang lalu itu, sekarang terbukti menjadi nyata. Prediksi kami menjadi fakta.

Yang sulit diterima, jika dalam menghadapi ancaman serius terhadap kesehatan publik seperti ini, masih ada yang mempertahankan agenda-agenda lainnya; selain tidak relevan, juga sebenarnya masih bisa ditunda, karena tidak mengandung kegentingan yang memaksa. Misalnya, struktur belanja pemerintah dalam pembangunan infrastruktur ternyata masih lebih tinggi dibanding alokasi anggaran kesehatan. Yang harusnya menjadi prioritas nomor satu adalah meningkatkan kapasitas rumah sakit, beserta segala fasilitas pendukungnya, memperkuat kapasitas tenaga kesehatan, serta menambah pasokan vaksin dan mempercepat distribusinya.

Kami juga sering memberikan masukan atas berbagai permasalahan terkait kebijakan-kebijakan yang tidak dijalankan secara terintegrasi dan tersinkronisasi dengan baik. Di tingkat pusat, cukup sering terjadi overlapping kewenangan dan kebijakan publik, antar lembaga stakeholder. Kebijakan antara pusat dan daerah, maupun antar daerah satu dengan lainnya, juga seringkali tidak sejalan. Selain membingungkan, hal ini tentu berbahaya; ditambah dengan persoalan-persoalan terkait transparansi dan akurasi data yang menyulitkan diimplementasikannya kebijakan 3T secara efektif dan efisien. Yang tidak kalah penting, kami juga mengingatkan, agar tidak terjadi kesalahan prosedur dan penyalahgunaan kewenangan, atas nama kegentingan penanganan pandemi, yang itu semua berpotensi pada terjadinya kerugian negara.

Perppu No. 1, yang kemudian menjadi UU No. 2 tahun 2020, memberikan otoritas penuh dan keleluasaan (bisa dikatakan absolut) bagi pemerintah untuk menggunakan segala sumber daya nasional untuk kecepatan penanganan krisis pandemi. Namun demikian, segenting apapun keadaan, tata kelola pemerintahan yang akuntabel, serta mekanisme checks and balances, harus tetap dijalankan. Bagi kami, sikap dan posisi kritis seperti itu adalah sesuatu yang fundamental. Alasan kami sederhana, dan hanya satu, yaitu: Partai Demokrat ingin pemerintah sukses; karena jika pemerintah sukses, maka negara dan rakyat kita akan selamat.

Sayangnya, niat baik seperti itu seringkali disalahartikan. Pandangan atau masukan kritis dianggap sebagai bentuk serangan atau gangguan untuk kepentingan politik tertentu. Lebih menyakitkan, jika setiap masukan dan pendangan yang berbeda, dianggap sebagai bentuk perlawanan; dianggap tidak “Merah Putih”. Menurut kami,yang tidak “Merah Putih” adalah mereka yang hanya berdiam diri, ketika tahu ada yang keliru di negeri ini; atau mereka yang hanya berdiam diri, menunggu pemimpinnya berbuat salah, dan negaranya gagal.

Saya rasa, alasan kami tersebut, sama seperti alasan yang dimiliki oleh berbagai elemen bangsa lainnya, saat menyampaikan pandangan kritisnya; termasuk para insan pers dan media, para mahasiswa dan kalangan kampus, serta para aktivis dari berbagai civil society. Saya juga sangat meyakini bahwa itu juga alasan yang sama yang dimiliki oleh rakyat kita. Jika memang suara partai politik dianggap mengandung agenda kepentingan politik tertentu, maka kami berharap para pemimpin dan pemerintah sudi mendengarkan langsung suara hati rakyat di akar rumput. Sangat manusiawi, jika dalam keadaan yang tak berdaya dan serba tak menentu, rakyat akan mengekspresikan kesedihan, kemarahan, dan kekecewaannya. Oleh karenanya, semoga para pemimpin dan wakil rakyat bisa berbesar hati untuk terus melakukan evaluasi, karena faktanya memang masih cukup banyak hal yang perlu, dan bisa dibenahi, diperbaiki, dan ditingkatkan. Semoga pula, para pemimpin dan wakil rakyat juga semakin bijak dan sabar untuk terus mengayomi dan mengasihi rakyatnya; rakyat yang miskin dan kelaparan; rakyat yang kehilangan pekerjaan dan penghasilan; rakyat yang hidupnya sulit dalam lilitan utang; rakyat yang frustrasi memikirkan nasib dan masa depannya yang gelap dan penuh dengan ketidakpastian.

Bapak, Ibu, Hadirin sekalian yang saya hormati,

Ekonomi Indonesia satu setengah tahun terakhir ini mengalami tekanan yang cukup signifikan. Resesi ekonomi terjadi, ditandai oleh kontraksi pertumbuhan ekonomi selama 4 kuartal berturut-turut; mulai kuartal II 2020 hingga kuartal I 2021. Sebenarnya kita menyambut gembira pertumbuhan 7,07 persen di kuartal II 2021 ini. Namun sayangnya, pertumbuhan ini dinilai sejumlah lembaga riset sebagai pertumbuhan semu, yang dampak positifnya belum dirasakan langsung oleh masyarakat. Karena memang statistik tersebut lebih ditopang oleh kontribusi perdagangan ekspor yang tinggi, sedangkan konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat masih lesu.

Angka kemiskinan juga diprediksi akan mengalami peningkatan lagi setelahberlakukannya PPKM Darurat akibat lonjakan gelombang ke-2 pandemi, dua bulan terakhir ini. 90 persen UMKM yang selama ini menjadi rumah bagi mayoritas tenaga kerja dan sekaligus basis kekuatan ekonomi nasional kita, terdampak serius di sisi penjualannya. Akibatnya, tingkat pengangguran terbuka terproyeksikan kembali naik setelah PPKM Darurat. Selanjutnya, peningkatan angka kemiskinan dan pengangguran ini tentu akan berkorelasi langsung terhadap meningkatnya
ketimpangan sosial di masyarakat. Melemahnya ekonomi kita juga terlihat dari menurunnya Gross National Income (GNI) Per Capita dari US$ 4,058 di tahun 2019, menjadi US$ 3,870 di tahun 2020. Indonesia dinyatakan turun kelas; dari status “upper-middle income country”, menjadi “lower-middle income country”. Pasca pandemi, kita semua harus segera mengubah keadaan ini, agar Indonesia tidak lebih lama terjebak dalam "middle income trap".

Daya Tahan Bangsa

Bapak, Ibu yang saya hormati,

Melalui forum ini, saya ingin mengajak kita semua, untuk membangun sebuah kesadaran kolektif akan pentingnya daya tahan bangsa (national resiliency). Pelajaran berharga dari krisis pandemi yang melanda Indonesia adalah: dibutuhkan kebersamaan dan persatuan (solidarity and unity) antar anak bangsa, dalam menghadapi krisis besar hari ini. Dalam berbagai kesempatan, saya sering menggelorakan tagline “Bersama Kita Kuat, Bersatu Kita Bangkit”, “Together We Are Strong, United We Rise”. Dalam satu paket yang sama, kebersamaan dan persatuan, merupakan ingredien, komponen utama dari daya tahan bangsa. Saya bukan dokter atau ahli pandemi, tapi dari hampir semua referensi medis yang tersedia, menyatakan bahwa daya tahan, atau imunitas tubuh kita, sangat menentukan kemampuan kita untuk bisa menghindari atau mengalahkan suatu virus, termasuk Covid-19.

Sebenarnya, ini adalah common sense. Saya dan istri, sering mengajarkan putri kami, bagaimana menjaga kesehatan dan daya tahan tubuhnya. Daya tahan tubuh, tentu tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi fisik kita, tapi juga secara psikis. Karena belum sepenuhnya dewasa, tentu ia harus sering diingatkan untuk menjaga keseimbangan dalam kesehariannya; antara belajar, bermain, istirahat, dan olahraga. Begitu pula dengan asupan makan dan vitamin yang harus dikonsumsi setiap hari. Mendidik anak, diperlukan kasih sayang dan kesabaran. Dalam situasi tertentu, diperlukan ketegasan dan kedisiplinan. Tantangan terbesar bagi setiap orang tua adalah, harus bisa menjadi contoh yang baik bagi anak kita; menjadi role model yang konsisten, yang satu kata dan perbuatan. Semakin dewasa seorang anak, maka semakin cerdas dan kritis pula nalarnya. Apalagi di era digital ini, anak kita dapat dengan cepat dan mudah mendapatkan informasi apa pun. Kemudian, ia akan lebih sering bertanya: “Why?”, atau “Why Not?”; bukan lagi “What?”. Tidak bisa kemudian orang tua merasa mereka paling tahu segalanya.

Orang tua harus jujur, bahwa tidak setiap kali kita mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan anak kita; sama halnya, sebenarnya kita tidak selalu mengetahui apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh anak kita. Yangpaling sehat adalah membangun komunikasi terbuka dalam keluarga. Anak wajib menghormati dan mematuhi orang tuanya, sedangkan orang tua harus sabar dan menghargai pendapat anaknya. Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang jujur, komunikasi yang menyampaikan apa adanya, fakta sebenarnya; termasuk dalam menjelaskan permasalahan yang dihadapi keluarga saat ini, maupun dalam membangun harapan bersama ke depan. Surprisingly, anak kita akan mengapresiasi keterbukaan dan kejujuran kita.

Ia bisa lebih cepat mengerti keadaan sebenarnya; justru ia bisa memberikan masukan-masukan yang baik kepada orang tuanya. Memang tidak selalu mudah; apalagi kalau punya banyak anak, yang masing-masing memiliki karakter, kebutuhan, dan cita-citanya tersendiri. Walaupun tidak mudah, komunikasi terbuka antara setiap anggota keluarga, akan membangun rasa saling percaya dan saling menghargai, mutual trust and mutual respect. Selain itu, juga akan terbangun kebersamaan dan persatuan yang kokoh, yang pada akhirnya akan terbangun daya tahan keluarga.

Tanpa bermaksud menyederhanakan permasalahan, kita bisa menggunakan analogi hubungan orang tua dan anak tadi dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Para pemimpin, sebagai “orang tua” dari 270 juta rakyat Indonesia, harus menyadari bahwa membangun daya tahan bangsa merupakan pekerjaan besar lintas generasi, juga lintas sektor. Setiap komponen bangsa, setiap warga negara, memiliki peran dan tanggung jawabnya masing-masing. Semuanya penting, saling melengkapi, dan saling menguatkan satu sama lain; baik dalam menyelamatkan negeri dari krisis pandemi, memulihkan ekonomi, atau memajukan demokrasi. Libatkan semua anak bangsa, dengarkan suara rakyat. Bukankah tidak ada Superman di negeri ini? Bukankah yang Indonesia butuhkan adalah Superteam?

Sebagai anak bangsa yang mencintai tumpah darahnya, kita harus senantiasa menunjukkan kepedulian dan solidaritas kebangsaan, terutama saat ibu pertiwi sedang menangis. Pandemi Covid-19 mengajarkan itu kepada kita semua. Bagi kita yang memiliki banyak kelebihan dalam hidup, harus lebih peka dan bersimpati pada lingkungan sekitar kita, yang hidup serba kekurangan. Bersama, kita kuat menghadapi segala permasalahan bangsa.

Bapak, Ibu, dan Sahabat-sahabat CSIS yang saya muliakan,

Kepahlawanan dan patriotisme di abad 21 memang terus menemukan bentuk barunya. Namun prinsip dasarnya tetap sama; patriotisme adalah sikap dan perilaku, serta kesediaan untuk mengorbankan segala-galanya untuk bangsa dan negara yang dicintainya. Di masa pandemi, tentu senjata dan peluru tajam menjadi tidak relevan. Para dokter dan tenaga medis adalah para pejuang terdepan kita saat ini. Setiap saat, mereka menghadapi risiko yang serius. Untuk itu, kita harus berikan perhatian dan dukungan penuh kepada mereka. Tentu bukan hanya tenaga
kesehatan, siapa pun bisa menjadi patriot di masa pandemi ini. Tidak boleh ada yang merasa lebih penting dari yang lainnya; begitu pula sebaliknya. Bangsa kita harus semakin bersatu padu.

Dulu, Generasi 1945 kokoh bersatu, melawan dan mengusir penjajah. Hari ini, perang dan perjuangan kita adalah melawan pandemi Covid-19. Menghadapi musuh yang kuat, dan dihadapkan dengan keterbatasan sumber daya, maka kita harus bersatu; lepaskan ego kita, lupakan segala perbedaan identitas di antara kita. Spirit kita hari ini harus sama dengan spirit para pejuang kemerdekaan dulu. Kita harus bersatu, karena tak ada satu pun yang aman dari ancaman pandemi. Kita harus bersatu, karena kita semua ingin selamat, ingin segera bangkit dari krisis dan keterpurukan. Kita harus bersatu, karena setelah kita lalui itu semua, kita ingin kembali fokus dalam doa dan ikhtiar mewujudkan Indonesia Emas 2045.

Indonesia Emas 2045

Bapak, Ibu, Saudara yang saya hormati

Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu optimistis dan berprasangka baik terhadap masa depannya. Pemimpin besar juga senantiasa berprasangka baik terhadap generasi kepemimpinan selanjutnya. Mari kita berpikir positif untuk negeri kita, untuk anak cucu kita. Satu dekade terakhir ini, “Indonesia Emas 2045” digelorakan di seluruh penjuru negeri, untuk menyatukan visi kita sebagai bangsa yang besar.

Saya pribadi, sebenarnya sejak tahun 2012, ketika itu masih sebagai perwira militer, sudah turut aktif mengkampanyekan visi Indonesia Emas 2045, baik di kalangan internal TNI, maupun ke berbagai kampus dan organisasi kepemudaan di Indonesia.

Banyak versi terkait definisi dan gambar besar tentang Indonesia Emas 2045. Yang jelas, kata Emas sendiri mengandung makna yang serba optimistis: kejayaan, kemajuan, kemakmuran, kemenangan, dan lain sebagainya. Bagi saya, untuk mewujudkan Indonesia Emas, ada tiga kondisi utama yang harus dicapai dan dipenuhi secara utuh. Pertama, Indonesia benar-benar aman dan damai. Kedua, Indonesia benar-benar adil dan sejahtera. Ketiga, Indonesia benar-benar maju dan mendunia. Penekanan ada di perulangan kata “benar-benar”. Artinya, kondisi yang sesungguhnya; bukan sesuatu yang semu atau artifisial. Ketiga kondisi tersebut sama pentingnya, dan saling terkait satu sama lain. Oleh karenanya, harus dibaca dalam satu tarikan napas yang sama.

Lalu mengapa 2045? Tentu tahun tersebut bukan sekadar “angka cantik” atau keramat. Sebenarnya, sejak Indonesia menjadi anggota G20 pada tahun 2008, sampai dengan sebelum terjadi hantaman pandemi, cukup banyak institusi internasional yang memproyeksikan Indonesia menduduki posisi 10 sampai dengan 5 besar ekonomi dunia pada tahun 2045; dengan tingkat kesejahteraan rakyat yang jauh lebih baik. Jadi sebenarnya ada alasan bagi kita untuk menetapkan tahun 2045 sebagai milestone pencapaian kejayaan bangsa.

Namun, saya berpendapat, bahwa kita harus selalu berhati-hati dalam melakukan dan membaca prediksi jangka panjang, karena banyak sekali elemen yang bersifat unthinkable dan unpredictable. Jangankan membayangkan apa yang akan terjadi dua dekade ke depan; dua tahun lalu, siapa yang bisa memperkirakan terjadinya pandemi global saat ini. Oleh karena itu, sebaiknya kita jangan terbuai dengan angka-angka prediktif tersebut. Dari tinjauan yang lain; setahu saya, tidak ada standar di dunia, bahwa di usia yang ke-100 tahun sejak kemerdekaannya, suatu bangsa atau negara bisa, atau harus, mencapai masa keemasannya. Mari kita lihat kisah dua negara sahabat kita.

Pertama, Amerika Serikat, yang merdeka pada tahun 1776. Sejak berakhirnya Perang Dingin, negara tersebut secara de facto menjadi the only superpower in the world; seolah paling hebat segalanya di dunia, baik pengaruh politiknya, militernya, ekonominya, teknologinya, maupun peradabannya. Ternyata pada usianya yang ke-100, Amerika Serikat masih sangat jauh dari definisi dan bayangan negara hebat dan berkeadaban. Pada tahun 1876, Amerika Serikat masih berada pada masa rekonstruksi bangsa, setelah empat tahun lamanya terjadi Perang Saudara, “Civil War”; pertumpahan darah terbesar sepanjang sejarah mereka, yang telah memporakporandakan tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Kedua, Korea Selatan, yang porak poranda akibat perang saudara, antara tahun 1950–1953. Hanya butuh waktu sekitar 50 tahun saja bagi Korea Selatan untuk menjelma menjadi negara maju dengan peradaban yang tinggi. Ekonominya, militernya, teknologinya, sampai prestasi olahraganya. Bahkan, berbagai kekhasan budayanya telah berhasil diekspor ke berbagai penjuru dunia. Karena setiap saat masih berada dalam ancaman perang dengan Korea Utara, maka Korea Selatan benar-benar serius membangun kapasitas hard power nya.

Mereka juga menyelenggarakan wajib militer, membekali warganya dengan nilai-nilai patriotisme, disiplin, etos kerja, serta taktik dan teknik bertempur. Tapi Korea Selatan berhasil keluar dari dilema “guns versus butter”, dilema klasik antara membangun militer atau ekonomi. Walaupun politik dalam negeri Korea Selatan juga selalu dinamis, tapi terlihat bahwa ada kesamaan dan kesatuan visi lintas generasi, yaitu: menjadi bangsa unggul di dunia. Visi seperti itu yang mempersatukan, menggerakkan, serta membangun daya tahan bangsa secara keseluruhan.

Mereka tahu persis bahwa hard power saja tidak akan membawa mereka jauh ke depan. Mereka tahu persis bahwa investasi terbesar harus terkait dengan pengembangan sumber daya manusia, human capital, bukan yang lainnya. Karenanya, pendidikan, pelayananan kesehatan, dan kesejahteraan rakyat menjadi fondasi utama. Selanjutnya, mereka fokus pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, hingga produksi barang dan jasa yang berkelas dunia. Kemudian akhirnya, dalam rangka memperluas pengaruh Korea Selatan di dunia, bangsa itu berhasil mengekspor berbagai keunikan tradisi dan budayanya.

Rasanya kita tidak asing dengan berbagai produk Korea Selatan, dari mulai handphone, AC, kulkas, mesin cuci, kendaraan, hingga masakan khasnya. Generasi Milenial kita tidak selalu hafal siapa presiden Korea Selatan saat ini, tapi hampir pasti mereka adalah fans dari Blackpink, BTS, atau grup-grup K-Pop lainnya. Dengan demikian, Korea Selatan tidak hanya maju dari aspek hard power, tapi juga menjadi salah satu pemenang global dalam aspek soft power. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Mampukah kita melakukan lompatan besar ke depan seperti Korea Selatan? Mampukah kita, dalam kurun waktu 24 tahun ke depan, mengejar ketertinggalan kita dari bangsa-bangsa maju di dunia, dan mewujudkan Indonesia Emas 2045?

Kita tidak boleh silau melihat keberhasilan bangsa lain. Kita juga tidak boleh merasa iri, apalagi rendah diri. Karena kita adalah bangsa yang besar, bangsa yang memiliki sejarah panjang perjuangan, bangsa yang memiliki segala sumber daya dan potensi untuk menjadi pemenang. Kita juga memiliki banyak momentum dan capaian sejarah yang seharusnya membuat kita bangga sebagai bangsa Indonesia. Pertama, kita berhasil merebut kemerdekaan kita. Kemerdekaan Indonesia, bukan atas pemberian, tapi atas perjuangan, dengan cucuran darah, keringat, dan
air mata. Artinya DNA pejuang dan patriot mengalir di tubuh bangsa kita. Kedua, yang sering tidak disadari, bangsa kita terbukti berhasil menghadapi, dan bangkit dari krisis-krisis besar yang akhirnya mengubah sejarah, dan menentukanperjalanan bangsa selanjutnya.

Pasca kemerdekaan, sebagai Republik yang masih berusia muda, Indonesia menghadapi rangkaian ancaman terhadap kedaulatan dan keutuhan NKRI. Tapi kita berhasil mengatasi dan melewatinya. Generasi 1965 menghadapi G-30S/PKI, yang merongrong, serta menguji eksistensi dan kesaktian Pancasila. Tapi kita juga berhasil menumpas dan melewatinya. Generasi 1998 menunjukkan keberaniannya untuk mengusung dan
melakukan perubahan besar dalam tatanan berbangsa dan bernegara. Reformasi nasional menjadi tonggak baru bagi kehidupan demokrasi, hukum dan tata kelola pemerintahan. Tahun 2004, untuk pertama kalinya digelar pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Di bawah kepemimpinan Presiden SBY, tahun 2008, hanya 10 tahun sejak krisis multidimensi dan Reformasi, Indonesia masuk ke dalam klub elit G20, beranggotakan 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Ekonomi kita berhasil tumbuh secara signifikan, dan Indonesia semakin dihormati oleh dunia internasional. Semua fakta pencapaian tersebut, tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Di balik itu semua, ada kerja keras dan pengorbanan bersama. Never take anything for granted.

Kini saatnya, kita sebagai bangsa kembali membuktikan diri, bahwa dengan daya tahan bangsa, kita bisa survive dan bangkit dari krisis pandemi Covid-19. Pilihannya ada di kita semua, sebuah pilihan yang harus kita pertanggungjawabkan kepada sejarah, dan kepada anak cucu kita.

Setelah mengapresiasi segala alasan bagi kita untuk percaya diri, sekaligus memahami konsekuensi logisnya, mari kita kembali pada pertanyaan saya sebelumnya: Mampukah kita melakukan lompatan besar ke depan, mewujudkan Indonesia Emas 2045? Jawaban cepat dan ambisiusnya: tentu, mampu. Pertanyaan kritis berikutnya yang menurut saya lebih penting, yaitu: bagaimana caranya?

Indonesia Aman

Bapak, Ibu, Hadirin yang saya hormati,

Indonesia Emas, jika Indonesia benar-benar aman dari segala bentuk ancaman keamanan tradisional (terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI), maupun ancaman keamanan non-tradisional, seperti pandemi saat ini. Ancaman bisa datang dari luar maupun dari dalam negeri sendiri; dalam bentuk militer maupun nir-militer; serta bisa dilancarkan oleh kekuatan negara (state actor), maupun aktor bukan negara (non-state actor). Untuk mencegah itu semua, Indonesia harus memiliki daya tangkal dan daya pukul yang menentukan. TNI sebagai instrumen pertahanan negara harus kuat, modern, dan profesional. Sedangkan, dalam menghadapi ancaman non-tradisional dan nir-militer, semua komponen bangsa harus didayagunakan.

Indonesia Damai

Indonesia Emas, jika seluruh rakyat Indonesia benar-benar bisa hidup dalam kedamaian; hidup rukun bersatu di tengah perbedaan dan keberagaman yang kita miliki. Pancasila dijalankan seutuhnya, dan kehidupan beragama dilindungi oleh negara. Kebebasan berekspresi, berasosiasi, juga kebebasan pers, dijamin sepenuhnya; tentu kebebasan yang beretika dan bertanggung jawab. Kehidupan politik dan demokrasi kita juga harus semakin matang dan berkeadaban, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan. Artinya, politik dan demokrasi kita harus semakin jauh dari praktik-praktik yang merusak kerukunan, persatuan, dan kedamaian tadi. Secara khusus saya ingin mengupas sedikit tentang kondisi demokrasi di Indonesia dewasa ini.

Sejak 2004, kita dinobatkan sebagai negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia, setelah India dan Amerika Serikat. Sudah tiga kali Pemilu, termasuk Pilkada di 34 provinsi dan di 514 kabupaten/kota yang kita gelar dan ikuti sejak itu. Secara kuantitas, tentu kita patut berbangga. Namun terkait kualitas, rasanya kita sebagai bangsa perlu untuk terus mengevaluasi dan membenahinya. Kita tidak perlu terlalu defensif, ketika sejumlah lembaga dunia menilai bahwa telah terjadi kemunduran demokrasi, “democratic regression” di Indonesia. Apakah penilaian tersebut faktual atau hanya sesuatu yang mengada-ada? Izinkan saya berbagi pandangan, atas dasar temuan di lapangan, termasuk pengalaman pribadi, maupun dalam kapasitas saya sebagai pemimpin Partai Demokrat.

Saya akan menyoroti tiga hal yang berdampak pada kualitas demokrasi kita: money politics, identity politics, dan post-truth politics. Pertama, “money politics”. Dewasa ini semakin berkembang dan mengemuka praktik-praktik politik yang tidak berbasis pada ide dan gagasan, atau pada visi, misi, dan program aksi. Seharusnya demokrasi memberikan ruang yang luas bagi kita semua untuk memilih figur-figur terbaik sebagai pemimpin eksekutif, maupun sebagai wakil rakyat. Seharusnya Pemilu dan Pilkada bisa menjadi ajang kontestasi intelektual, kapasitas kepemimpinan, dan integritas. Tapi pada kenyataanya, politik kita semakin disesaki oleh pragmatisme dan transaksionalisme. Artinya, demi kemenangan elektoral, politik uang, menjadi jalan pintas, tentu bagi mereka yang punya uang berlimpah.

Kedua, “identity politics”. Ada sejumlah kalangan yang menilai bahwa eksploitasi politik identitas merupakan strategi yang paling efektif dan efisien dalam memenangkan dukungan elektoral, dengan cara menyentuh sentimen primordial atau identitas tertentu (bisa agama, suku, atau etnis). Ini sangat berbahaya. Dalam jangka pendek, politik identitas bisa saja membawa kemenangan politik bagi seorang kandidat atau partai politik. Tapi dalam jangka panjang, kerusakan dan perpecahan akan terjadi. Harganya terlalu tinggi.

Kebinekaan adalah kekuatan; sebaliknya, bisa menjadi sumber perpecahan bangsa, jika kita tidak merawatnya dengan baik. Jangan pula bentur-benturkan Pancasila dengan agama. Semua agama mengajarkan kebaikan dan kemuliaan. Artinya, nilainilai agama, compatible dengan nilai-nilai Pancasila. Ketiga, “post-truth politics”. Politik fitnah dan saling “membunuh karakter”memang bukan sesuatu yang baru. Tapi di era yang semakin digital ini, post-truth politics sangat mudah untuk diorkestrasi secara membabi buta. Hoax, black campaign, hate speech, dan berbagai format disinformasi lainnya, seolah menjadi norma baru dalam kehidupan demokrasi kita. Mengerikan, ketika mengetahui bahwa hari ini sangat mudah bagi siapa pun menjadi korban fitnah, tanpa daya untuk mengklarifikasinya; kebohongan yang berulang-ulang, cepat atau lambat akan menjadi kebenaran baru.

Kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi, juga penetrasi media sosial yang semakin luas, seharusnya diikuti dengan kesadaran kita untuk menggunakannya secara lebih hati-hati dan bertanggung jawab. Kenyataannya, justru sekarang ada profesi baru, yaitu pasukan buzzer, yang memang pekerjaannya adalah memproduksi dan menyebar fitnah dan kebohongan, termasuk menghabisi karakter seseorang, atau suatu kelompok, yang dianggap berbeda sikap dan pandangan. Dalam situasi seperti ini, kehadiran pers yang independen dan kredibel sangat dinantikan, untuk menjadi referensi objektif bagi masyarakat di tengah-tengah tsunami informasi dan disinformasi di dunia maya. Sebagai salah satu pilar demokrasi, media harus turut melawan “post-truth politics”.

Bapak, Ibu, Saudara-saudara sekalian,

Demokrasi seharusnya menjadi driving force pembangunan dan kemajuan bangsa; sebaliknya, bisa membuat kita mundur ke belakang, jika demokrasi dijalankan secara serampangan, apalagi jauh dari nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan. Saya ingin menggunakan oksigen sebagai analogi. Kita tidak pernah memikirkan oksigen untuk kita bernapas dan bertahan hidup. Kita sering lupa berterima kasih kepada Tuhan atas tersedianya oksigen tersebut. Tapi sedikit saja berkurang oksigen yang kita hirup, seketika kita berteriak mencari pertolongan.

Artinya, we should never take oxygen for granted. Sama halnya dengan kebinekaan, kerukunan, dan persatuan. Saat semua itu ada dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kita, maka kita tidak pernah menyadari dan mensyukurinya. Tapi begitu sedikit saja terusik, terancam, dan terganggu, barulah kita sebagai bangsa akan berteriak mencari pertolongan. So, never take any of them for granted. Semua harus kita rawat dan perjuangkan, sampai kapan pun. Ini kerja besar lintas generasi. It is a never-ending journey.

Indonesia Adil

Indonesia Emas, jika keadilan benar-benar tegak di negeri ini. Keadilan mencakup berbagai hal. Pertama, adil di muka hukum. Hukum harus benar-benar menjadi panglima di negeri ini; jangan tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Jangan pula tajam ke kanan, tapi tumpul ke kiri. Keadilan harus untuk semua, “Justice for all”, bukan hanya bagi mereka yang punya kuasa.

Kedua, adil dalam konteks kesempatan meningkatkan taraf hidup. Adil bukan berarti sama rasa, sama rata. Sedangkan, sistem pasar yang sangat kapitalistik atau neoliberalistik memang tidak sensitif terhadap kemiskinan dan ketimpangan. Oleh karena itu, negara harus hadir, untuk berpihak dan membantu mereka yang lemah dan tak berdaya. Itu mengapa, selain kita terus mengejar pertumbuhan ekonomi, kita harus melakukan pemerataan pembangunan untuk seluruh rakyat Indonesia.

Indonesia Sejahtera

Indonesia Emas, jika seluruh rakyat benar-benar hidup makmur sejahtera, “prosperity for all”. Tingkat kesejahteraan rakyat akan sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi. Jika ekonomi bisa tumbuh sekitar 6 persen setiap tahunnya, maka pendapatan dan daya beli rakyat kita juga akan terus meningkat. Dengan semakin besar daya beli rakyat, maka dengan sendirinya kehidupan rakyat akan semakin layak dan berkualitas. Selain itu, negara harus memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan melebarnya jurang ketimpangan di tengah masyarakat kita; antara kaya dan miskin, antara masyarakat kota dan desa, serta antar daerah satu dengan lainnya. Kita senang jika yang kaya makin kaya; tapi kita tidak boleh diam, ketika yang miskin makin miskin. Yang juga sangat mendasar, pembangunan ekonomi harus berpihak pada kelestarian lingkungan hidup. Bumi kita hanya satu; makin lama makin sesak, makin panas, serta makin banyak terjadi kerusakan ekosistem, yang mengganggu keseimbangan. Kita ingin anak cucu kita, generasi bangsa berikutnya, bisa terus hidup dengan baik dan layak. Doktrin ekonomi pembangunan harus berorientasi pada “sustainable growth with equity”, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan.

Indonesia Maju

Indonesia Emas, jika bangsa kita benar-benar maju peradabannya. Peradaban sebuah bangsa biasanya berbanding lurus dengan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Revolusi industri dan lompatan teknologi di abad 21 ini, sering menjadi kekuatan disrupsi bagi individu, kelompok-kelompok masyarakat, juga bangsa-bangsa di dunia yang tidak siap beradaptasi. “The only constant is change”. Kita harus bisa mengaplikasikan prinsip-prinsip “adaptasi atau mati”; “berubah atau punah”. Kuncinya adalah pendidikan, riset, dan pengembangan sumber daya manusia. Manusia Indonesia harus memiliki kecerdasan intelektual, termasuk critical thinking dan intellectual curiosity. Kemampuan berpikir kritis dan rasa ingin tahu yang tinggi tentang berbagai hal, bisa melahirkan gagasan-gagasan besar, dan produk-produk yang mengubah dunia.

Yang cukup sering diabaikan adalah pendidikan karakter. Manusia Indonesia tidak cukup memiliki IQ yang tinggi, tapi harus memiliki integritas yang baik, dan karakter yang unggul; termasuk memiliki nilai-nilai patriotisme, disiplin, etos kerja yang tinggi, serta semangat pantang menyerah. Selain itu, kita juga harus tetap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa yang diturunkan lintas generasi. Jika Indonesia dipimpin dan diawaki oleh manusia-manusia yang berkualitas dan berintegritas tinggi, maka kita tidak perlu takut terhadap disrupsi dan tantangan zaman; bahkan kita akan mampu mengubah segala tantangan dan ujian tersebut, menjadi peluang-peluang untuk kemajuan.

Indonesia Mendunia

Indonesia Emas, jika Indonesia benar-benar mendunia. Dari luas wilayah, sumber daya alam, dan jumlah populasi, secara alami Indonesia adalah negara terbesar di kawasan Asia Tenggara. Namun segala keunggulan komparatif tersebut tidak serta merta bisa dikonversi menjadi keunggulan kompetitif bangsa. Tidak juga bisa menjamin bahwa dengan itu semua, Indonesia menjadi pemenang di pasar regional, apalagi pasar global.

Sebuah bangsa akan dihormati dan disegani oleh dunia, jika bangsa tersebut bisa membuktikan prestasi dan keunggulannya; sesuatu yang membuatnya “stand out” dibandingkan bangsa-bangsa lainnya. Kita harus terus menggali kekhasan yang dimiliki oleh bangsa kita, untuk kemudian kita tambah nilainya, sehingga kekhasan tersebut menjadi keunggulan bangsa. Contoh sederhana, salah satu legacy budaya kita adalah batik; yang sudah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan dunia. Kita mengapresiasi para pengrajin batik yang terus melahirkan karya-karya indah, bercita rasa tinggi. Tapi sayangnya, batik baru dinikmati oleh masyarakat kita saja; kalaupun ada yang diekspor, volume dan jangkauannya masih terbatas. Contoh lainnya, kuliner khas Indonesia.

Sebenarnya kuliner Indonesia sangat beragam dan rasanya enak-enak, tapi belum ada yang begitu mendunia. Bandingkan dengan makanan khas Thailand atau Vietnam, apalagi Tiongkok, Jepang dan Korea, yang cukup menjamur di berbagai negara di dunia. Kalau kita ingin menjadikan batik dan kuliner sebagai produk unggulan bangsa dan mendunia, maka harus kita kelola lebih serius; mulai dari bahan bakunya, proses produksinya, packaging-nya, sampai dengan promosi dan distribusinya ke berbagai penjuru dunia.

Indonesia juga akan semakin dikenal di dunia jika mampu menunjukkan prestasi di berbagai ajang kompetisi internasional; baik prestasi di bidang olahraga, kesenian, hingga science and technology. Kita bangga di Olimpiade Tokyo kemarin,para atlet kita berhasil menorehkan sejumlah prestasi, termasuk sumbangan medali emas dari tim ganda putri bulutangkis kita. Tentu kita berharap, ke depan prestasi olahraga Indonesia semakin maju lagi.

Selain itu, Indonesia juga akan semakin dihormati dan disegani, jika Indonesia bisa membuktikan dirinya sebagai warga dunia yang bertanggung jawab, di luar batas-batas teritorinya. Partisipasi aktif Indonesia dalam berbagai misi kemanusiaan dan perdamaian dunia menjadi salah satu parameter dan bukti yang konkret. Saya sendiri adalah veteran pasukan perdamaian PBB.

Daya Saing Bangsa

Bapak, Ibu, Saudara-saudara sekalian yang saya muliakan,

Populasi dunia hari ini berjumlah hampir delapan miliar, dan diprediksi akan mencapai sekitar 10 miliar pada tahun 2045. Implikasinya, semakin keras dan kompleks kompetisi antar bangsa; terutama dalam memperebutkan sumbersumber energi yang tak terbarukan, sumber pangan dan air bersih. Paradoksnya, kendati kita hidup dalam rezim globalisasi, pada akhirnya, “every country for itself”. Semakin terkonfirmasi saat bangsa-bangsa sedunia harus berpikir keras untuk menyelamatkan diri dan rakyatnya masing-masing, dari hantaman pandemi Covid19, dan keterpurukan ekonomi yang menyertainya.

Apakah memang ke depan bangsa-bangsa di dunia akan semakin menjadi ultranasionalistik? Dan apakah globalisasi akan menjadi usang? Kita tidak tahu pasti. Yang pasti adalah, setiap bangsa, termasuk Indonesia, tidak ingin kalah dalam persaingan global. Kita ingin bersahabat baik dengan semua, tapi sejatinya kita juga berkompetisi dengan semua. Tentu kita ingin menjadi salah satu pemenang dalam persaingan global. Sebaliknya, kita tidak boleh menjadi pecundang, apalagi di negerinya sendiri. Untuk sekadar bisa survive dari krisis atau disrupsi, kita membutuhkan daya tahan bangsa. Tapi untuk bisa unggul dan memenangkan pasar global, kita membutuhkan daya saing bangsa.

Membangun daya saing bangsa juga merupakan pekerjaan besar lintas generasi; dibutuhkan kerja keras, sinergi, kolaborasi, serta kebersamaan dan persatuan yang teguh, antar semua komponen bangsa. Dibutuhkan kepemimpinan yang visioner, kepemimpinan yang mempersatukan; kepemimpinan yang mampu melipatgandakan seluruh potensi dan sumber daya yang kita miliki sebagai bangsa. Pemimpin besar, menghabiskan waktu, pikiran, dan tenaganya, bukan untuk memenangkan Pemilu berikutnya; melainkan untuk mempersiapkan generasi penerusnya.

Kita berterima kasih kepada Presiden Sukarno, Presiden Suharto, Presiden B.J. Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati Sukarnoputri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan kini Presiden Joko Widodo, beserta semua pemimpin dan pejuang negeri, yang selama ini telah menetapkan visi jangka panjang, sekaligus terus menyiapkan landasan bagi terciptanya daya saing bangsa yang unggul. Tentu ini adalah pekerjaan tanpa akhir. Oleh karena itu, adalah tugas generasi muda hari ini untuk semakin memperkuat daya saing bangsa itu, sehingga benar-benar siap digunakan dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045.

Muda Adalah Kekuatan

Bapak, Ibu, Saudara-saudara sekalian Yang dibutuhkan oleh generasi muda adalah kesempatan. Kesempatan untuk membuktikan bahwa Muda adalah Kekuatan; kekuatan dalam pemikiran dan perbuatan. Muda adalah keberanian untuk melakukan perubahan, juga lompatan. Muda, berarti tidak ragu untuk keluar dari zona nyaman, beradaptasi, bekerja keras, menghadapi disrupsi, dan menjawab tantangan zaman. Muda, berarti pantang menyerah, dan tidak takut gagal. Karena dalam setiap kegagalan, ada pelajaran untuk bangkit, dan besertanya, ada peluang untuk menang. Anak muda tidak boleh dimanja, apalagi disiapkan karpet merah. Namun, jangan pula biarkan mereka tumbuh dan berimajinasi tanpa arah. Perlu bimbingan, nasihat dan pengalaman dari para pemimpin, para senior, dan generasi pendahulunya. Bukan dilecehkan, dibungkam, apalagi dimatikan jalannya; generasi muda justru harus dituntun, sekaligus ditempa, dan dipersiapkan untuk menjadi pemimpin-pemimpin hebat, menjadi “game-changer”, “history-maker”, menjadi motor penggerak kemajuan bangsa di masa depan.

Demikian pidato saya pada kesempatan ini. Semoga apa yang saya sampaikan bisa memperkuat semangat kita sebagai bangsa untuk bersinergi dan berkolaborasi mewujudkan Indonesia Emas 2045.*

Artikel Terkait