Bisnis

Pembangunan IKN Tidak Pedulikan Urgensi Pemulihan Ekonomi

Oleh : very - Selasa, 18/01/2022 10:21 WIB

Ibu Kota Negara. (Foto: Tempo.co)

Jakarta, INDONEWS.ID --- Presiden Jokowi pada tahun 2019 lalu berkomitmen untuk tidak menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam mendirikan Ibu Kota Negara (IKN). Pembangunan IKN tersebut menelan dana sekitar Rp466 triliun.

"Saya sampaikan kepada Menteri Keuangan, bahwa kami berharap tidak membebani APBN," kata Jokowi dalam acara buka puasa bersama dengan pimpinan lembaga negara di Istana Negara, Jakarta, pada Mei 2019.

Presiden Jokowi mengklaim pembangunan ibu kota baru yang bernama Nusantara itu, hanya akan memakan seperlima anggaran negara. "Yang dari APBN nantinya hanya akan 19 persen," ujarnya.

Artinya, pemerintah hanya akan menggelontorkan dana APBN sebesar Rp88 triliun untuk pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur tersebut.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas yang saat itu dijabat Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa dana APBN yang akan digelontorkan untuk proyek Ibu Kota Baru di Kalimantan Timur mencapai Rp93 triliun.

Hal itu disampaikan usai Bambang mendapat perintah dari Presiden Jokowi dalam rapat terbatas yang digelar di Kompleks Istana Kepresidenan pada 6 Agustus 2019.

Bambang mengklaim kebutuhan dana Rp93 triliun dari APBN untuk pembangunan IKN jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya. Pihaknya menghitung kebutuhan anggaran sebelumnya berkisar antara Rp174,5 triliun hingga Rp251,5 triliun.

Namun, kebijakan tersebut tampaknya kemudian berubah. Laman resmi Ibu Kota Negara (IKN) mencatat porsi APBN untuk pembangunan pusat pemerintahan baru tersebut naik dari 19 persen menjadi 53,5 persen.

Tak hanya APBN, berbagai skema pendanaan juga turut akan digelontorkan agar pembangunan proyek tersebut dapat segera rampung sebelum 2024.

Skema pendanaan tersebut antara lain Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), swasta, dan BUMN. Ketiganya memiliki porsi pendanaan yang lebih kecil dari APBN yakni 46,5 persen.

Urgensi Pemulihan Ekonomi

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan pembangunan ibu kota baru tidak memperdulikan urgensi pemulihan ekonomi yang jauh lebih penting bagi masyarakat secara luas pada tahun ini.

Pasalnya, masih banyak masyarakat yang terdampak pandemi seperti kehilangan pekerjaan hingga pendapatan yang belum pulih sepenuhnya.

"Tentunya ini bentuk kesalahan kebijakan karena tidak memperdulikan masalah urgensi. Apalagi konteksnya pandemi, kemudian juga jumlah penduduk terdampak masih besar, masih banyak kehilangan pekerjaan dan pendapatan belum pulih," kata Bhima seperti dikutip cnnindonesia.com/.

Apalagi, katanya, pemerintah telah menyatakan bahwa ekonomi belum akan sepenuhnya pulih akibat pandemi hingga 2027. Karena itu, pembangunan IKN dinilai tak bisa jadi solusi untuk menyelesaikan masalah ekonomi akibat pandemi.

"Pemerintah sendiri sampaikan bahwa sampai 2027 ekonomi belum pulih, maka pemulihan ekonomi yang tepat bukan dengan pembangunan ibu kota baru. Apalagi dampak pembangunan ibu kota baru terhadap perekonomian relatif kecil, kurang lebih di bawah 1 persen terhadap PDB," ujarnya.

Karena itu, Bhima mewanti-wanti agar pemerintah tidak tergesa-gesa dalam membangun ibu kota baru. Menurutnya, apabila benar porsi APBN akan jauh lebih besar dibandingkan skema pembiayaan lainnya dikhawatirkan dapat membebankan kas negara dan meningkatkan utang pemerintah.

Ia melihat pembangunan ibu kota baru dengan menggunakan kas negara juga berpotensi mengalami pembengkakan hingga 70 persen dana pembangunan bersumber dari APBN.

"Jadi pemerintah seperti tidak konsisten dan tidak memiliki perencanaan yang matang," ujarnya.

Alasan di balik potensi pembengkakan anggaran APBN untuk IKN dapat terjadi karena pembangunan ibu kota negara didominasi oleh pembangunan gedung non-komersial, yakni pusat pemerintahan. Dengan demikian, investor akan hitung-hitungan dana yang akan digelontorkannya.

Terkait investasi pembangunan ibu kota baru, Bhima justru khawatir investasi yang akan dicairkan bukan dalam bentuk investasi langsung atau foreign direct investment (FDI), melainkan dalam bentuk lain yang dapat membebankan anggaran negara.

"Tentunya kita perlu pertanyakan juga instrumen apa yang akan dibeli oleh investor. Khawatirnya mereka bukan investasi langsung, tetapi membeli utang dari BUMN atau dari pemerintah, ini namanya pinjaman berkedok investasi. Kalau gitu apapun yang terjadi dengan ibu kota baru, negara tetap harus bayar utang, bunga dan cicilan pokok itu," ucapnya.

Apabila pemerintah tetap bersikeras untuk membangun ibu kota baru di tengah pemulihan ekonomi, Bhima menyarankan pemerintah agar sebisa mungkin mendapatkan investasi langsung tanpa harus tukar guling aset pemerintah.

Pemerintah juga harus berkonsentrasi keras agar pembangunan ibu kota dapat memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat secara luas, bukan hanya menguntungkan bisnis tertentu.

Selain itu, pemerintah juga perlu membuat perencanaan yang detail dan transparan agar pembangunan IKN tidak menimbulkan pembayaran pajak yang lebih tinggi bagi masyarakat. ***

 

Artikel Terkait