Nasional

Pembongkaran Kubah Masjid Miftahul Huda Sintang, SETARA: Kekalahan Pancasila di Tahun Toleransi

Oleh : very - Selasa, 01/02/2022 21:16 WIB

Pemerintah Kabupaten Sintang membongkar kubah Masjid Miftahul Huda yang didirikan oleh Komunitas Muslim JAI di Sintang untuk dialihfungsikan. (Foto: Akurat.co)

Sintang, INDONEWS.ID --- Pada hari Sabtu (29/1), awal tahun 2022 yang dicanangkan oleh Menteri Agama Republik Indonesia sebagai ‘Tahun Toleransi’, Pancasila kalah di Desa Balai Harapan, Tempunak, Sintang, Kalimantan Barat, Indonesia. Pemerintah Kabupaten Sintang membongkar kubah Masjid Miftahul Huda yang didirikan oleh Komunitas Muslim JAI di Sintang untuk dialihfungsikan.

Masjid Miftahul diserang, dirusak, dan sebagian bangunan di kompleks masjid dibakar oleh kelompok vigilante yang mengatasnamakan Aliansi Umat Islam Bersatu (AUIB) yang salah satu motornya adalah ormas Persatuan Orang Melayu (POM).

“Mengutuk keras pembongkaran kubah dan alih fungsi masjid Miftahul Huda di desa Balai Harapan Sintang oleh Satpol PP dan Pemerintah Kabupaten Sintang,” ujar Ketua BP SETARA Institute, Hendardi, seperti dikutip siaran pers di Jakarta.

SETARA juga mendesak Menkopolhukkam, Mendagri, Menag, Kapolri, dan seluruh kementerian/lembaga terkait untuk mengambil langkah intervensi yang dibutuhkan sesuai dengan kewenangannya masing-masing untuk menghentikan pembongkaran, perusakan, dan alih fungsi masjid Miftahul Huda.

“Mencegah terjadinya diskriminasi lanjutan, dan memulihkan hak-hak konstitusional komunitas Ahmadiyah di Sintang Kalimantan Barat,” tambah Hendardi.

Selanjutnya, SETARA juga mendorong seluruh unsur pemerintah, pusat dan daerah, untuk melindungi kebebasan beragama/berkeyakinan sebagai hak konstitusional setiap warga negara, memajukan toleransi, serta merawat dan meneguhkan kebinekaan Indonesia sebagaimana dimuat dalam nilai-nilai Pancasila dan dijamin oleh UUD Negara RI tahun 1945.

Seperti diketahui, sebanyak 22 orang tersangka pelaku tindak pidana hasutan dan kekerasan sudah divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Pontianak Kalimantan Barat dengan vonis 4 bulan 15 hari.

“Dengan fakta tersebut, jelas bahwa JAI Sintang adalah korban tindak pidana dan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan. Namun, alih-alih memulihkan hak-hak korban, pemerintah setempat justru terus menerus melakukan pelanggaran hak konstitusional warga Ahmadiyah disana dalam bentuk tindakan langsung (violation by commission), pembiaran (omission), dan aturan (rule/judiciary),” kata Hendardi.

Sejak awal, paling tidak sejak April 2021, diskriminasi terhadap JAI Sintang terus terjadi. Ujaran kebencian dalam bentuk spanduk-spanduk dibiarkan. Penghakiman keyakinan saksi dari Ahmadiyah dalam persidangan terjadi.

Keluar aneka kebijakan pemerintah, mulai dari Gubernur, Bupati, Satpol PP, Polres, Kejaksaan Negeri, Pengadilan Negeri, hingga Ombudsman RI Kalimantan Barat, dalam aneka bentuk, mulai dari Keputusan Bersama tentang Pelarangan, Instruksi Penyegelan, Instruksi Pemantauan, Surat Peringatan Pembongkaran, Perintah Alih Fungsi, hingga Surat Tugas Pembongkaran dan alih fungsi.

Hendardi mengatakan, sebenarnya sudah ada upaya pemerintah pusat untuk menunjukkan sikap maju dalam merawat kebinekaan disana dan mencegah diskriminasi lanjutan terhadap komunitas muslim Ahmadiyah.

Lima lembaga HAM negara (Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman RI, KPAI, dan LPSK) sudah mengeluarkan sikap bersama merespons kejadian yang menimpa JAI Sintang. “Menkopolhukkam, Menag, dan Komisi III DPR RI mengutuk kekerasan atas Ahmadiyah,” katanya.

Menurut informasi yang diterima oleh SETARA, Mabes Polri, Kantor Staf Presiden, Kemenag, Kemendagri, dan beberapa kementerian/lembaga pemerintah lainnya sudah menempuh aneka komunikasi dengan pemerintah setempat, bahkan terjun langsung ke Sintang.

Belum lagi langkah-langkah yang ditempuh oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan, seperti NU dan Muhammadiyah, organ masyarakat sipil, dan tokoh masyarakat.

“Namun semua itu tidak dapat mencegah Pemerintah Kabupaten Sintang dan Kalimantan Barat untuk tidak melanggar kebebasan beragama/berkeyakinan sebagai hak konstitusional warga Ahmadiyah,” ujarnya.

“Pemerintah daerah setempat memilih tunduk pada tuntutan kelompok intoleran. Pancasila kalah. Bhinneka Tunggal Ika tak dipedulikan. Konstitusi, terutama Pasal 28E dan Pasal 29 Ayat (2) diabaikan,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait