Opini

Kisah "Virus Omicron" dan Minyak Goreng

Oleh : Rikard Djegadut - Minggu, 20/02/2022 08:02 WIB

Sekretaris Jenderal Pergerakan Kedaulatan Rakyat, Yosef Sampurna Nggarang (Foto: Ist)

Oleh: Yosef Sampurna Nggarang*) (Alumnus Fisip Universitas Bung Karno dan Sekjend Pergerakan Kedaulatan Rakyat)

Opini, INDONEWS.ID - "Ibu-ibu, bapak-bapak; jaga jarak  selalu ya? Seba ini "virus Politron" (plesetan virus OmicroN) makin naik. Kita jaga kesehatan, makan yang enak-enak dan sehat iye ibu-ibu?"

Ini adalah kata sambutan Ketua RT di wilayah Pondok Kelapa-Jakarta Timur dalam suatu acara sosilisasi Peraturan Daerah (Perda) Penanggulangan Covid DKI No.2 Tahun 2020 (Kamis 22 Febuari 2022) dengan logat Betawi yang asik didengar, banyak hadirin ketawa.

Dua ibu yang terpisah dari jarak duduk undangan lainnya, tidak menampakkan wajah senyum seperti para undangan di dalam tenda.

Satu ibu bergumam "apa tadi, pak RT  ingatin kita makan yang enak dan sehat? Pak RT tidak pernah belanja sih, minyak goreng sulit didapat, juga tempe naik". Mulut ibu terus bergumam seketika kakinya hentak ke tanah.

Dari sekian meter tempat ibu duduk, suara bocah kecil dan temannya yang lagi menikmati ice cream muncul dari gang gelap.

"Mak minta uang, aku mau beli ice cream".

"Minta sama pak RT tuh sono," respon ibu ke anaknya terlihat bercanda tapi mimik mukanya serius.

Si bocah menghentakakan kaki ke tanah sebagai kode level permintaan sudah naik dan segera. "Mak, minta uang, aku mau jajan ice cream," kata si bocah.

Tangan ibu mengarah ke kantong celana, terpaksa agar si bocah tidak mengeluarkan senjata pamungkas-menangis di depan orang banyak yang masih menikmati lelucon pak RT soal "Virus Politron".

"Wah, jatah belanja minyak goreng berkurang. Sudah beralih ke ice cream," ungkap si ibu ke ibu yang sebelah.

Dari meja dalam tenda acara, pemateri menjelaskan soal apa beda dari 3 (tiga) jenis virus Covid-19 ini, dari mana datangnya virus dan organ mana yang jadi sasaran.

"Yang sekarang disebut virus jenis Omicron atau yang pak RT tadi bilang "Politron" itu, ibu-ibu tahu dari mana datangnya?"

Pertanyaan ini tidak didengar, si ibu berlalu begitu saja. Ibu pecah konsentrasi antara minyak goreng dan harus menemani sang anak ke warung kios beli ice cream.

Hatiku bergumam. Minyak goreng, bocah minta uang beli ice cream kepada sang ibu adalah persoalan nyata.

Persoalan nyata ini tidak bisa dihibur dengan kata sambutan pak RT yang mana saya menikmati lelucon atas diksi Virus Omicron dipeleset menjadi "Virus Politron".

Ibu tadi seperti banyak ibu lainnya, sampai hari ini masih bergumam dan bergulat soal bagaimana bisa belanja barang dengan harga murah dan terjangkau dengan pendapatan seadanya.

Dia melupakan Virus Covid-19 dengan tiga varian entah menyerang organ mana dan datang dari mana.

Si ibu sekarang fokus dengan "virus" yang dia rasakan langsung yaitu: soal harga-harga bahan pokok naik dan rakyat jadi susah.

Kekuasaan memang sampai saat ini tidak menjangkau suara protes  ibu yang hidup di gang sempit atau kaum petani di pelosok negeri yang urung untuk menanam karena tidak dapat jatah pupuk subsidi.

Ini akibat para pengambil kebijakan fokus ke hal-hal yang tidak prioritas seperti gencarnya keinginan untuk bangun Ibu Kota Negara (IKN) baru di Kalimantan "sono" (logat betawi).

Lantas, mengapa soal yang bukan prioritas seperti IKN ini jadi lebih menarik? Atas pertanyaan ini, publik menduga ini adalah proyek infrastruktur besar dan tentu nilai keuntungannya juga besar yang diduga untuk kroni-kroni pejabat.

Seperti proyek infrastruktur selama ini banyak mengalami masalah karena didasari atas keinginan, bukan kebutuhan. Sehingga proyek tersebut mengabaikan studi kelayakan, tapi tetap dipaksakan jalan.

Akhirnya lupa, persoalan nyata yang menghambat perubahan bangsa ini adalah soal Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN), Feodalisme dan Primordialisme.
Inilah tiga "batu" yang menjadi beban kita tidak bisa terbang tinggi.

Tadinya kita berharap kepada pejabat-pejabat yang selalu senyum manis kala tampil di depan publik untuk menyelsaikan tiga "batu" di atas. Ternyata itu hanya cover agar terkesan egaliter.

Wajah depan yang manis dari pejabat tadi memiliki slogan "rakyatku adalah Ndoroku"(Rakyatku adalah Majikanku).

Slogan ini membuat publik terpukau. Saat publik terpukau, pejabat menampakakan wajah belakang-bengis melahirkan kebijakan Sumber Daya Alam (SDA) dikeruk, lahan pertanian yang menjadi aset rakyat miskin desa di gusur. Itu semua atas nama pembangunan.

Saat rakyat menjerit didera oleh beban hidup karena pandemi virus Covid-19, saat yang sama pundi-pundi pendapatan pejabat naik 70,3%. Sebagaimana rilis KPK tahun 2021. Begitu juga pendapatan  pengusaha naik.

Ketimpangan pendapatan makin menjadi, kohesi sosial melemah. Utang negara makin bertambah. Rakyat Sadar keadaan ini hanya menambah beban mereka dihantui kenaikan tarif dasar listrik, kenaikan BBM, Gaz dan kenaikan iuran BPJS.

Lengkap sudah penderitaan rakyat hari ini. Bukan hanya soal harga sembako naik, tetapi juga ada hal-hal lain tak kalah pentingnya jadi fokus yaitu soal distribusi keadilan, konflik agraria di berbagai daerah (rakyat miskin desa dirampas asetnya), Pupuk Subsidi yang langka dan harga pupuk yang tinggi, sehingga petani melewatkan musim tanam -enggan menanam.

Persoalan-persoalan ini mesti segera diselesaikan, apalagi menyangkut kubutuhan rakyat langsung. Bila tidak ditangani segera minyak goreng bisa berubah, menyala membakar amarah ibu-ibu, memupuk amarah petani yang melewatkan musim tanam, dan membangunkan petani yang terantuk batu andesit di Wadas,juga rakyat di pelosok yang berjuang mempertahankan tanah dan air .

Bila wajah Pejabat tetap berpaling dari "Virus Politron", minyak goreng dan pupuk, maka pada waktunya ini semua akan menyatu menjadi "Pupuk" dan bisa menjadi "Bara Api" hingga bencana "kebakaran" tidak bisa terhindarkan.

Duren Sawit
Pondok Kopi
Mau Kasih Tahu Saja
Rrakyat Sudah Marah.

Artikel Terkait