Nasional

Cerita Mata Air di Batu Karang: Sisi Lain Kota Wisata Super Premium

Oleh : Rikard Djegadut - Jum'at, 01/07/2022 22:29 WIB

Kondisi hutan yang disulap Pater Marsel Agot, SVD (Foto: Dok. Yosef Sampurna Nggarang)

Oleh: Yosef Sampurna Nggarang

Jakarta, INDONEWS.ID - Pariwisata Labuan Bajo (LBJ), Flores Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak hanya identik dengan Komodo, Padar dan panorama alam bawah laut  yang terletak di Pulau.

Ada banyak destinasi di darat LBJ yang belum digarap secara maksimal; mulai dari budaya/kearifan lokal dan beberapa destinasi "level peminat khusus" seperti Gua Batu Cermin, dan beberapa Air terjun yang terletak di Kecamatan Mbeliling.

Juga ada destinasi lainnya yang belum digarap sama sekali, yaitu hutan yang diprakarsai seorang imam Katolik, Pastor Marsel Agot, SVD sejak tahun 2000an.

Hutan yang terletak di Ketentang, desa Batu Cermin ini masih dalam wilayah kota Labuan Bajo.

Hutan  ini punya story telling yang sangat menarik. Dulunya, wilayah ini penuh batu karang dan tanah sangat sedikit. Namun kini jadi hutan rimbun, dimana tumbuh beberapa jenis pohon seperti Jati, Mahoni, Sengon dan pohon Gamal.

Oleh Pater Marsel dan timnya, mengambil dan membawa tanah dari luar, lalu "menumpahkan" tanah di antara batu-batu karang tersebut. Agar kondisi tanah tadi terjaga, perlu disiram air. Lalu tanam beberapa jenis pohon di atasnya, kemudian rutin disiram.

Secara pribadi saya kagum, Pater Agot dan timnya merawat pohon dengan hati, hingga pohon ini  tumbuh besar dari waktu ke waktu. Sehingga begitu areal batu karang ini ditumbuhi pohon yang rimbun, burung-burung datang, juga hewan seperti kodok, tak ketinggalan ular.

Sumber Mata Air

Siapa sangka, areal yang tadinya hanya batu karang juga bisa tumbuh mata air dan membentuk ekosistem lainnya. Dahsyatnya, hutan ini sekarang menjadi "tabung" oksigen untuk bumi Labuan Bajo yang sering kering kerontang.

Hutan ini akan tetap menjadi hutan. Pencetusnya adalah seorang pastor yang cinta lingkungan. Tidak seperti hutan yang dikelola oleh pemerintah dengan berbagai label seperti hutan lindung, hutan produksi dan lain-lain. Tapi bisa berubah nama dan fungsi kapan saja, semau penguasa di kala duduk bersama dengan pengusaha.

Hutan ini kiranya bisa menjadi salah satu cikal bakal pilot projec: penyelamatan lingkungan tanpa membabat hutan yang berumur ratusan tahun seperti di Bowosie.
Alih-alih kasih nama persemaian moderen dengan anggaran puluhan miliar (proyek).

Hutan di Ketentang ini tidak memakai anggaran puluhan miliar, tidak pakai proposal seperti yang dibuat para teknokrat yang bermental proyek.

Saya meyakini, visi pater Marsel Agot dan kawan-kawan waktu itu adalah terkait agenda penyelamatan lingkungan. Agenda penyelamatan lingkungan ini lebih duluan dari agenda pariwisata yang sekarang dinamakan "Super Premium".

Letak hutan yg berdekatan dengan destinasi Gua Batu Cermin tentunya  bisa menjadi pilihan untuk  wisatawan menghirup udara segar dan menikmati suara burung.

Selesai menikmati suasana hutan, pengunjung bisa melangkah ke sebalah. Ada rumah penduduk asli dengan ratusan pohon kelapa dan pengunjung bisa menikmati air kelapa Muda yang dipetik langsung dari pohon milik bapak Mustaram. Juga sambil melihat proses pembuatan minyak kelapa murni secara tradisional.

Pemda Mabar, dalam hal ini Dinas Pariwisata dan pelaku pariwisata, kiranya menjadikan hutan ini sebagai destinasi wisata baru kategori level Peminat Khusus.

Cerita yang menarik dari hutan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Wisatawan pulang membawa oleh-oleh ilmu, cerita dan tentu menambah wawasan.

Menjadikan hutan ini sebagai salah satu spot wisata "Peminat khusus," tentunya menambah spot pariwisata di darat, sehingga LBJ tidak identik sekedar tempat transit para wisatawan yang menuju pulau. Ke depannya, LBJ adalah tempat tujuan utama bagi wisatawan.

Dengan demikian, gagasan Bupati Manggarai Barat Editasius Edi Endi membawa uang dari Laut ke darat akan terwujud dengan mengoptimalkan semua potensi-potensi di darat. Bukan begitu, bukan?

 

Artikel Terkait