Daerah

Kadisbudpar Kabupaten Bogor Terseret Kasus Korupsi Wali Kota Bekasi Nonaktif, Rahmad Efendy

Oleh : indonews - Selasa, 29/03/2022 11:58 WIB

Mantan Camat Cisarua, Deni Humaedi Alkasembawa, yang kini menjabat Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor, dimintai keterangan terkait glamour camping (Glamping). (Foto: ist)

Bogor, INDONEWS. ID - Kasus korupsi Wali Kota Bekasi non aktif, Rahmat Effendi menyeret pejabat di Kabupaten Bogor.

Terbaru, lembaga antirasuah ini memanggil mantan Camat Cisarua, Deni Humaedi Alkasembawa.

Deni yang kini menjadi Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor, dimintai keterangan terkait glamour camping (Glamping).

Kadisbudpar ini membenarkan dirinya dipanggil KPK dan dimintai keterangan.

Pertanyaan penyidik KPK menanyakan data-data Glamping Jasmine yang berlokasi di Desa Cibeureum, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor.

Menjawab pertanyaan penyidik, Deni mengaku, nama dirinya tidak ada keterkaitannya dalam proses kepemilikan lahan dari pemilik lahan sebelumnya.

"Saya sudah kasih keterangan ke penyidik KPK terkait Glamping Jasmine milik Wali Kota Bekasi nonaktif, Rahmat Effendi. Dari data yang diajukan penyidik, nama saya tidak ada di sana dalam proses over alih kepemilikan lahan," kata Deni kepada wartawan, Senin (28/3/2022).

Kepada penyidik lembaga merah putih ini, Deni mengakui tidak tahu persis lahan Glamping Jasmine tersebut. Pasalnya saat ia menjabat selaku Camat Cisarua, Glamping Jasmine sudah ada walaupun belum beroperasi.

"Kalau status lahan, mungkin yang tau pasti Kantor ATR/BPN Kabupaten Bogor. Data keabsahan lahan ada Pemdes Cibeureum," ujarnya sambil menambahkan bahwa ia siap memenuhi panggilan penyidik KPK lagi apabila masih dibutuhkan lagi terkait sertifikat hak guna bangunan (HGB).

Deni Humaedi Alkasembawa dipanggil menjadi saksi bersama enam saksi lainnya. Ada tiga anak Rahmat Effendi, yakni Ramdhan Aditya, Ireynaldi Rizky, dan Irene Purbandari juga dimintai keterangan bersama pejabat Pemkot Bekasi, yakni Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Aan Suhanda dan seorang pegawai negeri sipil, Engkos.

Untuk kasus ini, KPK sudah menetapkan sembilan tersangka, yakni lima penerima suap dan empat pemberi suap.

Lima orang tersangka penerima suap adalah Rahmat Effendi (RE), Sekretaris  Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Bekasi M. Bunyamin (MB), Lurah Jati Sari Mulyadi (MY), Camat Jatisampurna Wahyudin (WY), dan Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Kota Bekasi Jumhana Lutfi (JL).

Sementara empat tersangka pemberi suap ialah Direktur PT ME Ali Amril (AA), Lai Bui Min (LBM) dari pihak swasta, Direktur PT KBR Suryadi (SY), serta Camat Rawalumbu Makhfud Saifudin (MS).

Dalam konstruksi perkara, KPK menjelaskan Pemerintah Kota Bekasi pada 2021 menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan Tahun 2021 untuk belanja modal ganti rugi tanah dengan total anggaran Rp286,5 miliar.

Ganti rugi itu adalah pembebasan lahan sekolah di Kecamatan Rawalumbu, Bekasi, Jawa Barat, senilai Rp21,8 miliar, lahan Polder 202 senilai Rp25,8 miliar, dan lahan Polder Air Kranji senilai Rp21,8 miliar. Selanjutnya, ganti rugi lain berbentuk tindakan melanjutkan proyek pembangunan gedung teknis bersama senilai Rp15 miliar.

Atas proyek-proyek tersebut, Rahmat Effendi diduga menetapkan lokasi pada tanah milik swasta dan melakukan intervensi, dengan memilih langsung para pihak swasta yang lahannya akan digunakan untuk proyek itu. Rahmat Effendi juga diduga meminta mereka tidak memutus kontrak pekerjaan.

Sebagai bentuk komitmen, Rahmat Effendi kemudian diduga meminta sejumlah uang kepada pihak yang lahannya diganti rugi oleh Pemerintah Kota Bekasi dengan sebutan untuk sumbangan masjid.

Uang tersebut diserahkan melalui perantara orang-orang kepercayaannya, yaitu Jumhana Lutfi dan Wahyudin.

Tidak hanya itu, Rahmat Effendi juga diduga menerima sejumlah uang dari beberapa pegawai Pemerintah Kota Bekasi sebagai pemotongan terkait posisi jabatan yang diembannya.

Uang tersebut diduga dipergunakan untuk operasional Rahmat Effendi yang dikelola oleh Mulyadi.

Ada pula tindakan korupsi terkait pengurusan proyek dan tenaga kerja kontrak di lingkungan Pemkot Bekasi dan Rahmat Effendi diduga menerima Rp30 juta dari Ali Amril melalui M. Bunyamin. (yopi)

Artikel Terkait