Bisnis

Didik J Rachbini: Green Economy, Tantangan Baru yang Harus Segera Disiasati

Oleh : very - Kamis, 28/07/2022 15:37 WIB

Didik J Rachbini, Rektor Universitas Paramadina dan ekonom senioar INDEF. (Foto:Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Dampak perang Rusia versus Ukraina mengakibatkan kenaikan harga-harga energi dan komoditas pangan dunia. Ketegangan itu bisa ekstrim dan bisa menyebabkan tergulingnya Presiden Srilanka dan Pakistan, juga kini Haiti sedang bergejolak.

Rektor Universitas Paramadina, yang juga Ekonom Senior INDEF, Prof Dr Didik J Rachbini, dalam acara bertajuk “Transformasi Administrasi dan Kebijakan Publik di Era Post Truth dalam Mewujudkan Indonesia Tumbuh, Indonesia Tangguh”, Rabu (27/7) mengatakan, jangan terlalu percaya Bank Dunia bahwa ada 60 negara yang akan bangkrut. Pasalnya, sebelum 1998, IMF dan world bank juga menyebut perekonomian Indonesia amat kuat, tetapi kenyataan sebaliknya Indonesia bangkrut.

Namun, katanya, fakta-fakta ekonomi Indonesia juga bisa menjadi tidak stabil akibat pengaruh perang Rusia-Ukraine. “Untungnya Indonesia masih bisa mengendalikan harga-harga. Bahkan kita lihat di USA juga ada kasus antrian panjang makanan. Karenanya kita jangan meremehkan hal tersebut,” ujarnya.

Didik mengatakan, krisis yang terjadi saat ini sebenarnya peluang tersembunyi dan berkah dari Tuhan. Misalnya, harga batubara dan sawit kita naik pesat. Ini menyebabkan ekspor kita naik hampir 50 persen, sesuatu hal yang tidak terjadi sebelumnya. APBN kitapun menerima dana Rp300 triliun.

Kenaikan ekstrim harga-harga komoditas dunia, gas, minyak bumi, gandum, jagung, soybean mengakibatkan rakyat dan buruh tercekik efek kenaikan harga-harga dalam negeri. Hal tersebut akan berpotensi mengakibatkan ketidakstabilan sosial. “Karenanya hal itu harus dikelola dalam kebijakan terutama terkait dengan kebijakan pengendalian inflasi, yang merupakan gabungan pekerjaan pemerintah dan Bank Indonesia,” ungkapnya.

Kenaikan harga energi gas dan minyak bumi menyebabkan APBN kita kewalahan. Subsidi pemerintah telah mencapai angka Rp500 triliun, yang merupakan pemborosan, tetapi kemudian dengan gampang disumbat dengan dana limpahan sawit dan komoditas lainnya.

“Agak tidak bijaksana jika pemerintah mengeluarkan dana seperti itu untuk subsidi, karena bisa mengorbankan semuanya. Kecuali subsidi memang diperuntukkan bagi orang miskin. Itu adalah tantangan kebijakan Jokowi dan team untuk menyiasati gelombang yang datang. Berkah dana sawit dan batubara tentu tidak selamanya, dalam satu atau dua tahun akan habis. Dan akan meninggalkan bom waktu bagi presiden berikutnya,” ujarnya.

 

Industri Nasional

Didik mengatakan, kinerja industri nasional yang dulu peranannya mencapai 30 persen dari PDB kini hanya berkisar 19 persen. Sektor jasa yang justru tinggi, tetapi menyerap tenaga kerja yang terus menurun. Jadi, butuh 5-10 tahun untuk membangun kembali industri nasional dan itupun harus dijalankan dengan kebijakan yang komprehensif seperti telah dijalankan pada tahun 1980-an dan 1990-an.

Didik mengingatkan bahwa tingkat pertumbuhan pada dua dekade tersebut mencapai 7-8 persen. “Sementara saat ini yang jaya hanya industri sawit dan batubara. Industrinya secara keseluruhan tersendat. Karena itu industri hilir harus diperbaiki dan dibangun kembali karena sektor ini menyerap tenaga kerja jauh lebih banyak daripada sektor jasa,” imbuhnya.

Menurut Didik, titik kritis ekonomi Indonesia saat ini ada pada neraca perdagangan yang defisit. Terjadi lebih besar impor dari ekspor sehingga minus dalam neraca perdagangan nasional (kecuali satu dua tahun terakhir ini). Seharusnya kondisi ini bisa diatasi dengan modal masuk dan tertolong oleh investor luar negeri yang menanam modal di dalam negeri. Jika neraca tetap seperti itu, maka Rupiah selalu tertekan dan sulit menjadi kuat.

Krisis yang terjadi, kata Didik, sebenarnya juga menciptakan peluang. Di antaranya dari apa yang terjadi dengan PHK massal pekerja di mall-mall, tetapi menjadi peluang baru dari 3-4 juta pengemudi OJOL. Juga ada miliaran transaksi di bisnis e-commerce yang menjadi peluang baru. Transaksi ekonomi saat ini dilakukan via e-commerce cukup dengan gunakan HP.

Dia misalnya melihat peluang dan solusi krisis menggunakan teori Creative Destruction oleh Schumpeter. Dalam keadaan ekonomi normal selalu ada krisis mikro setiap hari, minggu dan seterusnya. Yang terjadi adalah selalu terjadi disrupsi ketika kemajuan penemuan teknologi baru, maka teknologi lama hancur (creative destruction).

Produk pager misalnya, digantikan oleh HP android. Krisis akan selalu terjadi ketika ditemukan teknologi baru yang mendisrupsi produk atau pola-pola transaksi sebelumnya. Krisis covid menyebabkan banyak kegiatan ekonomi, sektor, mal dan lain-lain hancur.

“Dengan inspirasi teori ini, maka perlu dengan cepat mengembangkan teknologi baru untuk menggantikan yang macet karena covid. Teknologi digital kini berkembang merambah dunia dan itu yang harus terus dikembangkan sebagai sistem ekonomi pada masa new normal,” ujarnya.

Berbeda pada masa pandemi covid-19 ketika mall-mall bertumbangan, maka hal tersebut memunculkan peluang penemuan inovasi-inovasi baru dalam berbelanja. “Jadi krisis itu adalah juga peluang untuk menemukan hal hal baru. Temuan teknologi digital juga mempercepat mobilitas data dan model pertemuan. Creative disruption menemukan digitalisasi di semua sektor kehidupan. Di Kawasan Timur Indonesia tidak boleh lagi dikeluhkan kelangkaan jaringan internet,” kata Didik.

 

Tantangan Green Economy

Ekonom INDEF tersebut mengatakan, Tuhan memberi berkah kepada negara bangsa Indonesia dengan kelimpahan luar biasa sumber daya alam batubara, nikel, sawit dan lain-lain. Hal itu semua harus bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Namun, katanya, tantangan baru akan segera muncul dari luar negeri dengan green economy yang tidak lagi memperbolehkan penggunaan energi batubara dalam industri-industri dan produk turunannya. “Dunia akan mem-banned semua produk yang diproduksi dengan energi batubara. Hal itu juga peluang bagi kita dalam wawasan green economy yang harus cepat-cepat disiasati,” ujarnya.

Studi INDEF dan BKPM telah dilakukan untuk mengekplorasi semua kemungkinan resource base industry agar bisa menjadi peluang yang bisa mengkompensasi kerugian-kerugian sebelumnya.

Jadi, menurut Didik, Indonesia tidak seharusnya bernasib sama dengan Srilanka. Indonesia punya banyak sekali sumber daya dan tidak seharusnya krisis. Tinggal lagi bagaimana mengelola potensi SDA yang banyak tersebut.

“Rekomendasi INDEF atas hal itu telah disampaikan kepada pihak BKPM untuk selayaknya dilaksanakan. BKPM juga tengah melakukan riset bagaimana agar investasi dapat ditingkatkan ke dalam negeri,” ujarnya.

Ke depan, ekspor Indonesia mutlak harus dikembangkan. Pada 1980-an yang menerima lebih dua pertiga ekspor Indonesia hanya Jepang, Eropa dan USA. Namun sekarang peluang ekpsor ke mancanegara sudah terbuka banyak di samping ke China dan ASEAN. North Africa, India, Latin Amerika, Eropa Timur dan lain-lain. Terbuka peluang di mana-mana.

Green Economy, terutama lahan gambut Indonesia yang banyak tersedia, rupanya menyimpan karbon yang begitu besar. Dan itu bisa dijual (carbon trading). Karena itu, Indonesia harus menyediakan data lahan gambut luasan, data emisi dan lain-lain yang dapat disampaikan kepada pembeli karbon.

“Hal itu belum dilakukan dan butuh strategi penyiapannya agar dapat didayagunakan. Kebijakan untuk memanfaatkan lahan gambut harus disiapkan pemerintah karena itu peluang besar untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dunia,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait