Opini

Tiga Priode Kepdes

Oleh : luska - Rabu, 01/02/2023 08:09 WIB

Oleh : Dr H.Abustan, SH. MH (Pengajar/Dosen Demokrasi dan HAM Magister Ilmu Hukum Pasca Universitas Islam Jakarta (UID))

LIMA puluh tahun lalu, potret pemilihan kepala desa senantiasa mengingatkan kita tentang kesederhanaan, ketulusan, dan kemurnian  demokrasi. Tidak ada acara pesta apalagi permainan uang yang menjurus ke arena pusaran  "money politic" antara kandidat yang ada.

Semua berlangsung apa adanya, penuh kemurnian , kepolosan, tanpa "rekayasa" tetapi benar - benar bersaing secara sehat, jujur, dan adil. Yang menang bersyukur dan dipihak yang kalah berjiwa besar saling berpelukan. 

Bahkan, tak nampak ada kesombongan bagi yang menang dan yang kalah tidak perlu berkecil hati apalagi menyimpan dendam, serta menghasut para simpatisan (loyalitas) untuk melakukan "perlawanan" (anarkis). Gambaran ini merupakan otentitas demokrasi yang sebenarnya.

Sesungguhnya, prinsip dasar demokrasi yang menyatakan " dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat" sudah direalisasikan - dipraktekkan dalam suasana kebatinan masyarakat di masa lalu. Meski di jalankan dengan cara dan prosedur yang tradisionil, seperti para calon kandidat dilekatkan potonya di bejana yang sudah disiapkan. Namun, hasil pemilihan (substansinya) sangat berkualitas dan bermartabat di mata masyarakat.

Itulah potret Pilkades masa lalu, tetapi pada rezim Pilkades sekarang sangat berbeda situasinya (diametral). Para calon harus mengikuti proses secara berjenjang/bertahap mulai pada tingkat seleksi di Kabupaten yang dikoordinir Sekda dan / atau asisten satu pemerintahan daerah sampai pengumuman siapa - siapa yang harus dinyatakan lolos seleksi. 

Selain itu, juga harus menyiapkan dana ratusan juta sampai milyar rupiah agar namanya bisa selamat tidak dicoret. Lebih dari itu, ada dana tambahan jika  ada nama (rivalitas) yang ingin dititip kepada panitia agar nama yang bersangkutan tidak diloloskan alias dicoret.

Suka atau tidak mau atau tidak, inilah kondisi kekinian di era desentralisasi di era rezim Pilkades. Dinamika pemilihan kepala desa, memang semakin dinamis bahkan menjadi "primadona" kondisi sekarang. Jadi, sosok kepala desa era sekarang tidak hanya berada diarena pertarungan popularitas tetapi juga finansial. Kemudian soal gagasan bisa ditaruh diurutan terakhir (pelengkap). 

Maka tak heran pula, jika banyak prilaku kepala desa yang aneh - aneh, seperti yang viral di ruang publik seorang kepala desa di badannya penuh dengan ukiran tatto dan dipertontonkan di masyarakat. Sungguh, prilaku atau perbuatan demikian sangat bertentangan dengan nilai - nilai yang sudah lama tertanam sebagai nilai sopan-santum atau kearifan lokal yang ada di desa.

Begitu pula, alih - alih menunjukkan prestasi, tetapi justru malah meminta perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun.

 Padahal, masa jabatan kepala desa (kades) mulanya ialah enam tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Ketentuan itu secara eksplisit dapat di baca di Pasal 204 undang - undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Lalu, rumusan Pasal 204 UU Pemda itu diubah dalam Undang - Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Masalahnya, bagi kades yang berprestasi tentu saja berpotensi diberikan persetujuan perpanjangan masa jabatannya. 

Akan tetapi kades bermasalah yang begitu cacat moralnya karena melakukan perbuatan tidak terpuji (melanggar hukum) adalah seharusnya tak serta merta diperpanjang masa jabatannya. Waktu sembilan tahun itu menjadi sangat lama bagi masyarakat desa untuk menunggu kepala desa yang bermasalah, tidak lagi menduduki jabatannya.

Sebab, bagaimanapun masa jabatan yang panjang akan membuka peluang terjadinya korupsi. Bukankah korupsi itu terjadi karena ada peluang (kesempatan) dan peluang inilah yang membuat sekitar ratusan kepala desa yang harus mendekam di lembaga pemasyarakatan akibat terkenal OTT.

Dalam konteks dan kaitan itulah, patut diapresiasi warga Nias, Eliadi Hulu, yang menggugat UU Desa ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan permintaan masa jabatan kades cukup lima tahun. Dengan demikian, alangkah bijaksana jika kita berikan waktu MK memutuskan yang terbaik untuk bangsa dan negara ini.

Karena itu, aspirasi rakyat haruslah dihadirkan pada setiap pengambilan keputusan. Bukan sebaliknya rakyat terisolir,  terpinggirkan dari dinamika yang begitu alot  terhadap suatu keputusan yang nyata - nyata hanya menguntungkan pemerintah dan segelintir orang yang diberi label "oligarki". Tentu saja, ironis sekali ketika keputusan itu justru asimetris dengan kepentingan / kebutuhan rakyat itu sendiri.

Jakarta, 1 Feb 2023

TAGS : H.Abustan

Artikel Terkait