Opini

Panen Raya Kriminalisasi Hukum

Oleh : luska - Rabu, 25/01/2023 19:48 WIB

Oleh : Dr H.Abustan, SH.MH (Pengajar/Dosen Ilmu Hukum Magister Hukum S2 Universitas Islam Jakarta (UID))

PRAKTEK kriminalisasi hukum makin memperjelas adanya kesenjangan hukum dan/atau "tebang pilih" dalam realitas penegakan hukum. Beberapa tahun terakhir ini, tak dapat diingkari bahwa jika kita memperhatikan / mencermati negara kita justru semakin bergerak kearah negara kekuasaan (macstaat).

Hal itu dapat dilihat, ketika pemerintah telah menjadikan hukum sebagai instrumen kekuasaan, bukan sebagai instrumen (sarana) untuk menegakkan keadilan. Nampak, pemerintah tak sadar bahwa ketika hukum dijadikan instrumen kekuasaan, maka wibawa hukum di hadapan masyarakat akan jatuh. Bahkan, hukum yang seharusnya menjadi instrumen stabilitas dan kohesi sosial, menjadi tak berdaya dan tak berfungsi sebagaimana mestinya.

Lebih dari itu, bahkan dalam banyak kasus muncul satu kesan yang memberi penguatan tentang adanya pengistimewaan hukum yang luar biasa terhadap pihak elite, orang kaya, konglomerat sampai kepada oligarkhi. 

Tampak secara kasat mata, bagaimana kasus investasi bodong gagal bayar yang nilainya begitu "fantastik" 106 triliun. Akan tetapi, cukup mencengangkan karena pelakunya di vonis bebas.  Ironisnya lagi, karena dalih dan alasan hakim disandarkan pada hal - hal yang tak "substansial" yaitu memberikan penilaian dan / atau pertimbangan hukum bahwa perkara ini bukan Pidana tetapi Perdata. Hakim begitu "fleksibel" memberikan kwalifikasi perkara .

Hal yang berbeda, kita bisa rujuk perkara seorang Alvin Lim yang dikenal begitu gigih dan berani menyoroti aparat penegak hukum dan melakukan pembelaan terhadap orang - orang yang korban ketidak adilan. Mereka tiba - tiba dijerat kasus terkait KTP dan proses hukum yang menimpanya begitu cepat, sehingga mereka menghadapi  proses penegakan hukum  yang terkesan tanpa kompromi..Akibatnya harus di vonis 4,5 tahun dengan tuduhan pemalsuan KTP.

Selain itu, kita bisa melihat bagaimana Ketua  Forum Korban Mafia Tanah yaitu Budiarjo dan Isteri harus menjadi tersangka / mendekam dalam tahanan dalam suatu perkara tanah yang seharusnya alat bukti dan fakta - fakta hukum yang dimiliki ke dua belah pihak  haruslah terlebih dahulu dilakukan verifikasi data atau menelisik duduk perkara yang sesungguhnya.

Lebih jauh, diskriminasi dan kriminalisasi  dalam proses hukum bisa kita lihat dari perlakuan penegak hukum dalam menggunakan pasal yang ada di Undang - Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Harus diakui, kalau selama ini yang banyak ditangkap dan diproses hukum dengan UU ITE adalah pihak - pihak yang berposisi atau yang punya sudut pandang yang kerap mengkritik pemerintah.

Dengan asumsi dasar tersebut, sehingga memberikan indikasi yang sangat kuat di tengah masyarakat bahwa aparat hukum cepat sekali memproses hukum mereka yang menjadi oposan pemerintah atau yang tidak punya "becking" dengan kekuasaan.

Maka dari itulah, untuk menghindari persepsi yang tambah keliru perihal apa yang tercermin dalam penegakan hukum akhir - akhir ini yang begitu marak terjadi kriminalisasi seperti sedang terjadi "panen raya" maka ada baiknya kita kembali kepada hakekat negara hukum.

Indonesia ialah negara hukum sebagaimana Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945 dengan tujuan hukum ada tiga, yaitu kepastian hukum, keadilan hukum, dan kemanfaatan hukum. Namun, dari dari ketiga tujuan hukum tersebut keadilanlah yang menjadi tujuan utama ketimbang kemanfaatan hukum dan kepastian hukum.

Akhirnya, terkait keadilan ada baiknya mengutip pendapat mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar (almarhum) yang mengatakan : di dunia ini tidak ada keadilan yang hakiki karena ada kecenderungan manusia memburu hawa nafsu atas manusia lain. Hanya diakhirat kelak, Allah SWT akan memberi muqsith (adil) yang hakiki. 'Keadilan harus bersumber kebenaran yang berada dalam pikir (logika) dan zikir (hati/keyakinan)."

Jakarta, 25 Jan 2023
Ketua DPN AAI

TAGS : Dr H.Abustan

Artikel Terkait