Opini

Mereposisi Entitas Provinsi

Oleh : luska - Minggu, 05/02/2023 08:30 WIB

Oleh: Muhadam Labolo

Ide mereposisi entitas provinsi sebagai wilayah administratif semata, bukan sebagai daerah otonom oleh Cak Imin menarik untuk dipikirkan lebih jauh (CNN Indonesia, 30 Jan 2023). Isu itu tentu bukan baru sekarang. Sejak rekonstruksi kebijakan desentralisasi pasca Orde Baru, perdebatan letak, isi dan luas otonomi hangat dipertengkarkan. Setidaknya oleh tim tujuh desainer otonomi daerah, Ryaas Rasyid dkk (1998).

Kebijakan _big bang_ desentralisasi selain Philipina dan Afrika Selatan di tahun 1999 akhirnya meletakkan titik berat otonomi pada kabupaten/kota (Rasyid & Wasistiono, 2018). Alasannya, disanalah indera terdekat dan paling peka mendengarkan hati nurani masyarakat. Dengan _reasoning_ itu, kabupaten/kotalah yang diharapkan paling cepat merespon masalah di tingkat pertama. Pada eksternalitas tertentu secara berjenjang menjadi urusan pemerintah.

Kecuali DKI Jakarta dengan kekhususannya, meletakkan otonomi di provinsi menciptakan dualitas otonomi yang secara teoritik tak mengakui adanya relasi hirarkhis (Koswara, 1999). Hanya karena provinsi berfungsi pula sebagai daerah administrasi (dekonsentratif), suka tak suka beban koordinasi, pembinaan, dan pengawasan (korbinwas) menjadi tusi dalam relasinya dengan kabupaten/kota. Faktanya pusat tak kuasa melakukan korbinwas teknis pada 521 kabupaten/kota.

Disini masalahnya, sebagai daerah otonom provinsi tak dapat berkreasi karena semua urusan pada dasarnya telah habis di tangan kabupaten/kota. Dampaknya, provinsi kelebihan anggaran dengan minim urusan, kecuali mengawasi lintas daerah otonom. Sebaliknya, kabupaten/kota minus anggaran dengan beban urusan mencapai lebih 70% (Halilul, 2023). Undang-undang pemda akhirnya direvisi dengan menarik sejumlah urusan ke level provinsi. Gejala resentralisasi itu terjadi sejak UU 32/2004 hingga meningkat di UU 23/2014. Di perparah pula dengan keluarnya UU Cipta Kerja dan Minerba.

Sebagai daerah administrasi, provinsi diserahi tanggungjawab sebagai wakil pemerintah pusat di daerah (PP 33/2018). Dengan beban itu provinsi mengawasi pula jalannya otonomi daerah di kabupaten/kota. Sayangnya, korbinwas itu tak berjalan efektif disebabkan rendahnya _political will_ pemerintah dalam mendelegasikan sebagian kewenangan dimaksud (Syaukani, 2022). Mungkin satu-satunya yang mendelegasikan hanya Kemendagri, itupun urusan korbinwas teknis seperti standar pelayanan minimal pada sejumlah urusan _concurrent._

Keengganan departemen lain mendelegasikan sebagian urusan ke provinsi menunjukkan betapa entitas pemerintahan itu dipandang sebagai wakil kementrian dalam negeri semata, bukan wakil pemerintah yang merepresentasikan seluruh departemen di daerah _(integreated field administration)._ Indikasinya mudah diamati, mobilitas administrasi kementrian terjun bebas dari pusat ke kabupaten/kota. Provinsi dianggap angin lalu, eksistensinya antara ada dan tiada.

Isi otonomi provinsi yang awalnya hampir sama dengan kabupaten/kota pun pada kenyataannya hanyalah tumpukan perizinan. Jika disadari lebih jauh, unsur teritorial dan penduduk di provinsi berduplikasi dengan wilayah dan penduduk di daerah kabupaten/kota. Sementara luas otonomi provinsi tak berpengaruh signifikan terhadap pelayanan masyarakat, karena pada akhirnya habis dikerjakan oleh daerah kabupaten/kota yang sehari-hari _face to face_ dengan masyarakat.

Memisahkan entitas provinsi sebagai daerah otonom dan daerah administrasi pun bermasalah. Instrumen pelaksananya bertindihan. Mereka merangkap perangkat daerah otonom sekaligus wakil pemerintah pusat di daerah. Eksesnya, pertanggungjawabannya pun semakin tak jelas, bercampur dan menjadi beban khusus bagi aparat pemangku dualitas pekerjaan itu. _Fused model_ rupanya tak efektif dibanding _split model_ yang dilaksanakan langsung oleh instansi pusat di daerah _(functionale field administration)._

Problem dilematis itu kini diperparah oleh _high cost_ mekanisme demokrasi yang melambung tinggi. Bila alokasi pilkada serentak di 38 provinsi rata-rata membutuhkan 500-700 M, setidaknya pemerintah harus menyiapkan kocek sebesar 20-50 T. Di luar itu tentu semua paham, rata-rata paslon di provinsi menyiapkan amunisi lewat _cukong_ sebesar 25-100 M (Kemendagri, KPK, Mahfud, 2019). Itu belum selesai, mendudukkan wakil rakyat sebanyak 50-100 orang di DPRD provinsi juga menciptakan durasi serta biaya yang melelahkan dan terus membengkak.

Menimbang kehampaan dan dilema entitas provinsi itu, ada baiknya usul Cak Imin dipercakapkan serius dengan semua _stakeholders_ agar reposisi provinsi diletakkan sebagai daerah administrasi belaka (dekonsentratif). Terobosan ini selain menjaga konsistensi terhadap titik berat otonomi di kabupaten/kota, juga menciptakan efisiensi dan efektivitas pemerintahan. Sebagai konsekuensi perubahan status itu, gubernur setingkat kepala otorita cukup di tunjuk oleh presiden sebagai wakil pemerintah di daerah, tentu saja minus DPRD dengan birokrasi yang lebih ramping.

Artikel Terkait