Opini

Kekuasaan Itu Terbatas

Oleh : luska - Selasa, 27/06/2023 08:30 WIB

Penulis : Djohermansyah Djohan (Guru Besar IPDN, Dirjen Otonomi Daerah  Kemendagri 2010-2014)

Di negara demokrasi kekuasaan itu dibatasi. Mengapa? Karena kekuasaan cendrung menyimpang, menyeleweng, dan korup.
Orang yang lugu pada mulanya, bisa menjadi orang yang "belagu" jika terlalu lama berkuasa. Bahkan, menjadi serakah (greedy) dan semena-mena.

Baca juga : Akhir Masa Jabatan

Ada lama masa jabatan, dan ada lama periodesasi kepala pemerintahan di negara demokrasi yang diatur di dalam konstitusi.

Indonesia sejak reformasi 1998 bangkit menjadi negara demokrasi, setelah sebelumnya selama tiga dasawarsa terpuruk ke lembah pemerintahan otoritarian-militeristik- sentralistik orde baru.

Karena itu, masa jabatan kepala pemerintahannya mulai dari tingkat presiden sampai kepala desa dibatasi. Masa jabatan mereka dipatok lima tahun, dan periodenya dikunci hanya boleh dua kali.

Kini, baru dua dekade reformasi kita jalani, dengan sejumlah alasan yang dibuat-buat, pakem pembatasan masa jabatan kepala pemerintahan itu oleh penguasa dengan segenap antek-anteknya mau diubah. Reformasi dikhianati.

Berkumandang tuntutan presiden lama periodesasinya mesti ditambah jadi tiga kali.
Tentu nantinya, gubernur, bupati, dan walikota juga akan ikut-ikutan meminta hal yang sama.
Sementara tak banyak orang tahu, aturan lama periodesasi kepala desa sudah dijebol dari dua menjadi tiga kali (UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa).

Rencana culas ini telah ditentang publik secara luas. Tampaknya isu itu telah padam. Skenarionya sekarang berganti, menjadi presiden pengganti harus "orang kita".  Presiden untuk mengegolkannya tak apa cawe-cawe. Dan, tak apa pula tak fokus menyelesaikan sisa tugas yang lazimnya harus dikebut jelang akhir masa jabatan.

Tentu hal ini riskan, berpotensi pelanggaran hukum oleh aparat negara di berbagai lembaga strategis karena menganggap mereka melakukan tugas yang sah (ingat kasus Watergate!).

Kembali ke soal pembatasan kekuasaan, Baleg DPR  sudah memutuskan untuk segera merevisi UU Desa No 6 Tahun 2014 khususnya terkait lama masa jabatan kepala desa yang akan ditambah dari 6 menjadi 9 tahun, langsung pula berlaku surut bagi kepala desa yang sedang menjabat saat ini. 

Tentu ini tidak sehat bagi demokrasi kita. Standar yang mesti diacu sesuai spirit reformasi, masa jabatan kepala pemerintahan mulai dari presiden hingga kepala desa dibatasi hanya lima tahun dengan lama periodesasi dua kali.

Lebih menarik lagi, perubahan UU Desa itu akan diketok palu tahun 2023 ini juga, sebelum pemilu 14 Februari 2024 digelar. Kasat mata sekali nuansa transaksi politiknya, aturan dipertukarkan dengan suara.

Baiknya, pemerintah menolak membahas RUU perubahan UU Desa No 6 Tahun 2014 yang diajukan DPR pada tahun politik ini, dengan argumentasi pemerintah akan mengevaluasi dulu secara menyeluruh UU Desa yang telah berumur hampir 10 tahun ini. Mulai dari aspek kewenangan, kelembagaan, perangkat, keuangan, pilkades, peraturan desa, pembinaan dan pengawasan, hingga digitalisasi desa. 

Bola untuk menyehatkan demokrasi sesuai cita-cita reformasi kini dikaki pemerintah. Mau memilih negatif atau positif "legacy" terserah pada Presiden Jokowi.

Artikel Terkait