Nasional

Titik Star Tidak Sama, Dinasti Politik Tutup Akses Bagi Rakyat Biasa untuk Terpilih

Oleh : very - Sabtu, 04/11/2023 22:21 WIB

Talkshow “Titik Temu Rumah Kebudayaan Nusantara” (RKN) di Ayoja Coffee, Jakarta, Sabtu (4/11). (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Secara legal dinasti politik sah-sah saja. Namun secara etik, dinasti politik menjadi residu dalam demokrasi.

Bukan hanya di Indonesia, praktik dinasti politik ada juga di Amerika Serikat. Di negara itu pun terbangun dinasti politik. Contohnya, keluarga Presiden Bush, John Adam. Namun demikian, meskipun dinasti politik tidak dipersalahkan secara demokrasi tapi juga bisa menjadi masalah.

Demikian diungkapkan Analis Politik dan Peneliti Senior Ipsos Public Affairs, Arif Nurul Imam, dalam Talkshow “Titik Temu Rumah Kebudayaan Nusantara” (RKN) di Ayoja Coffee, Jakarta, Sabtu (4/11). Selain Arif juga ada pembicara dari Palmerah Syndicate, DR.Subhan SD. Acara itu dipandu wartawan senior Hardy Hermawan.

Menurut Arif, dinasti politik adalah sebuah realitas politik. Hal ini terbukti banyak muncul di sejumlah daerah di Indonesia. Sehingga saat pergantian kepala daerah, yang muncul adalah istri, anak, keponakan, dan keluarga dekat saja.

“Karena dinasti politik tanpa basis meritokrasi, tentu perjudian bagi publik, ketika pemimpin hanya sekadar memiliki pertalian darah atau hubungan kekeluargaan saja” ucap Arif.

Subhan melihat, dinasti politik adalah feodalisme demokrasi. Dia mengatakan, dinasti politik akan menjadi lorong gelap demokrasi. Karena  dinasti politik telah menutup akses bagi rakyat biasa untuk terpilih.

“Titik startnya jadi tidak sama, antara saya yang orang biasa, dengan anak presiden. Karena sebagai anak presiden, dia dikawal, punya akses politik yang sudah kuat, keamanan, lebih dikenal, bahkan kalau mau jadi pengusaha juga punya akses capital yang lebih baik. Jadi, memang, tidak fair,” ujar Subhan. 

Masih menurut Subhan, dinasti politik  menjadi noda dan bisa jadi toksin untuk kehidupan demokrasi.

Ia mengakui, di Amerika Serikat juga ada dinasti politik, seperti Bush yang bapak-anak menjadi presiden, lalu John Adam juga yang menjadi presiden ke-2 dan ke-6 Amerika.

Tapi bapak dan anak tidak pernah bersinggungan langsung. Ada jeda cukup lama.  Antara Bush Senior menjadi presiden (1989 – 1991), ada jeda sekitar 10 tahun, hingga George Bush terpilih (2001 – 2009). Begitu juga saat John Adams terpilih sebagai presiden Amerika ke 2, perlu waktu sekitar 16 tahun hingga putranya John Quincy Adams terpilih sebagai presiden Amerika ke-6.

"Dengan adanya jeda waktu tersebut, tidak memungkinkan adanya penyalahgunaan wewenang dan konflik kepentingan. Ketika politik dinasti tidak bersinggungan langsung, politik dinasti tidak ada penyalahgunaan wewenang. Bapak tidak campur tangan langsung. Kalau ternyata masih pengaruh dan efek ekor jas dari bapak kepada anaknya, tapi system meritokrasi bisa  teruji di sana,” ujar  Subhan.

Dalam kesempatan ini, Arif kembali menyoroti  UU no 8 tahun 2015 tentang Pilkada, dimana pada pasal 7 menyatakan syarat yang melarang bakal calon kepala daerah memiliki hubungan darah/ perkawinan dengan petahana.

Namun dengan alasan bertentangan dengan UUD Mahkamah Konstitusi kemudian mencabut syarat tersebut. Sehingga dinasti politik tumbuh subur di sejumlah daerah. Padahal dinasti politik menyebabkan ketidakadilan dalam kontestasi politik, karena dinasti politik telah menimbulkan ketidaksetaraan akses politik. 

Arif mengatakan, yang menjadi kritik dari berbagai pihak terhadap dinasti politik  adalah tidak adanya kaderisasi politik. Tidak melalui penjenjangan seseorang bisa langsung maju memperebutkan kekuasaan. Sementara kalau basisnya meritokrasi tetap ada proses, ditempa dulu, punya jam terbang tinggi, punya pengalaman dan prestasi.

"Kekuasaan itu barang mewah yang diperebutkan semua orang. Karena dengan kekuasaaan, orang akan punya privilege, kewenangan, otoritas, dan fasilitas,” kata Arif. ***

Artikel Terkait