Nasional

Evaluasi Akhir Tahun Sosial Keagamaan Paramadina:

Perlunya Nilai-nilai Etik dan Keagamaan Ketika Moral dan Etika Penguasa Bangkrut

Oleh : very - Selasa, 12/12/2023 10:44 WIB

Evaluasi akhir tahun Paramadina. (Foto: hasil tangkapan layar)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Universitas Paramadina menggelar “Evaluasi Akhir Tahun pada Bidang Sosial Keagamaan”. Diskusi berlangsung pada Senin (11/12/2023) melalui zoom meeting dimoderatori oleh Dhea Meghatruh.

Direktur PCRP, Dr. Budhy Munawar-Rahman, mengungkapkan bahwa Indonesia dikenal sebagai negara dengan keragaman keagamaan yang tinggi, dengan masyarakatnya menganut berbagai agama dan kepercayaan.

“Indonesia terus mengelola keragaman agama dengan relatif damai. Karena itu pentingnya toleransi dan dialog antar agama menjadi kunci untuk mencapai harmoni dalam masyarakat yang beragam,” kata Budhy mengawali paparan.

Dia mengatakan bahwa pemerintah seharusnya berperan besar dalam mengelola kehidupan keagamaan, mendukung toleransi antar agama, melindungi kebebasan beragama, dan menjaga keseimbangan antara agama-agama yang berbeda.

Karena itu, dia menekankan efektivitas sistem pendidikan keagamaan yaitu terkait pemahaman yang baik tentang nilai-nilai toleransi dan kerja sama antar agama.

Budhy mengatakan ada beberapa permasalahan dan tantangan terkait kehidupan beragama di Indonesia.

“Beberapa permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam keragaman agama yaitu: ketegangan antara agama, diskriminasi dan intoleransi, konversi agama dan kontroversi, Undang-Undang Blasphemy (Penodaan Agama), peran agama dalam politik, dan ketidaksetaraan hukum dan hak-hak sipil,” ujar Budhy.

Dosen Magister Ilmu Agama Islam Universitas Paramadina, Pipip A. Rifai Hasan, Ph.D. melihat perlunya kaum milenial dalam kehidupan demokrasi. Karena itu, para pemuka agama harus memberi contoh terkait praktik etika politik dan demokrasi.

“Belum sepenuhnya organisasi keagamaan khususnya Islam, belum ada keseimbangan masalah etika politik, baik lembaga-lembaga yang ada, partai politik, lembaga pemerintahan, dan lain sebagainya,” kata Pipip.

Dia mengatakan, adanya gejala-gejala politik “memilih penguasa” karena itu membiarkan mereka untuk terus berkuasa.

Dr. M. Subhi Ibrahim, Kaprodi Magister Ilmu Agama Islam Universitas Paramadina, mengungkapkan beberapa kasus intoleransi yang terjadi.

Hal tersebut bukan hanya aktivitas ibadah, tetapi juga ada pembubaran aktivitas pendidikan Kristen ada di Binjai, Pekanbaru, Bireun dan beberapa wilayah lain.

Mengutip Setara Institute, dia mengatakan, ada pelajar intoleransi aktif di Sekolah Menengah Atas meningkat. Survey Januari-Maret, di 5 kota (Bandung, Bogor, Surabaya, Surakarta, dan Padang).

“Hasilnya 5,6 persen intoleran aktif, dan 0,5 persen terpapar. Sebanyak 99, 6 persen menerima perbedaan keyakinan. Bila ada penghinaan agama, 20, 2 persen tak bisa tahan untuk melakukan kekerasan. Dan sebanyak 61,1 persen lebih nyaman jika siswi muslim berjilbab. Sebanyak 56,3 persen mendukung penerapan syariat Islam. Sebanyak 83,3 persen menilai Pancasila bukan ideologi negara yang permanen, bisa diganti. Sebanyak 33 persen setuju bela agama, bahkan jika sampai harus mati pun,” kata Subhi.

Dia mengatakan, minoritas mengalah dan mengikuti tekanan mayoritas tidak menyelesaikan masalah. Hak-hak tak terpenuhi, keadilan terabaikan. Idealnya, semua tegak lurus pada konstitusi.

“Negara menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Menghindari konflik, menjaga stabilitas jadi argumen justifikasi. Kekhawatiran berlebihan pada semacam ‘politik identitas’ membuat aparat, pemerintah tak berani, canggung mengambil tindakan presisi. Padahal penegakan hukum sangat penting untuk membuat efek jera pada pelaku,” lanjut Subhi.

Sementara itu, Direktur PUSAD Universitas Paramadina, Ihsan Ali Fauzi, memfokuskan pada advokasi kebebasan dalam berkeyakinan atau beragama (KBB).

Dia mengatakan naik turunnya KBB di berbagai wilayah di Indonesia menyebabkan terus meningkatnya kekerasan. “Banyak konflik terkait dengan penodaan agama, hal ini tentu menghambat penghormatan dalam KBB,” ujarnya.

Ihsan melihat hal tersebut membuat KBB sebagai “ladang tandus” di Indonesia. Selama 2 dekade terakhir, katanya, berlaku sistem demokrasi dan desentralisasi, setelah revolusi yang lebih dominan mengatur adalah paradigma kerukunan.

“Sebenarnya demokrasi dan desentralisasi membawa pengaruh baru. Sehingga kebebasan beragama harus ada resolusi menyeluruh untuk masalah ini. Mediasi dianggap perlu digalakkan karena mendudukan mendengarkan serta mencari solusi dari permasalahan yang terjadi,” ujar Ihsan.

Ihsan juga menyatakan pada dasarnya, KBB akan terjamin jika negara tidak turut ikut campur dalam kebebasan beragama.

“Dalam demokrasi, politik identitas tak hanya mendapatkan dampak negatif tetapi bisa juga dampak positif. Kecurigaan berlebihan pada politik identitas berdampak pada pembungkaman kelompok kecil yang sedang memperjuangkan kepentingan mereka,” tambahnya.

 

Perlunya “Spirit of Collaboration”

Dr. Aan Rukmana, Dosen Magister Ilmu Agama Islam Universitas Paramadina berpendapat bahwa kemajuan budaya, tidak bisa lepas dari konteks kebudayaannya.

“Berbagai diskusi mengenai masyarakat Indonesia, muslim Indonesia, dan tidak terlepas dari kebudayaan. Sehingga bangsa Indonesia ini sudah memiliki akar budaya yang tidak hilang hingga saat ini,” ujarnya.

Aan melihat saat ini tidak ada otoritas keilmuaan yang melekat pada diri seseorang, tetapi dapat dengan cepat untuk melekatkan sebuah identitas atau otoritas keilmuan kepada lebih dari satu orang.

“Pentingnya mengembangkan kecakapan berpikir bagi santri, kreativitas yang selalu membangun dan lebih kreatif, spirit of collaboration atau yang dapat diartikan bahwa sebuah sinergi yang dikolaborasikan sehingga dapat menghasilkan hasil yang maksimal,” kata Aan.

Dosen Magister Ilmu Agama Islam Universitas Paramadina, Dr. Herdi Sahrasad, melihat masih ada beberapa aksi intoleransi yang terjadi di Indonesia.

“Ada berbagai faktor, dan tidak ada sebab yang tunggal. Selalu berkaitan dengan faktor sosial keagamaan dan ekonomi, politik, ke depan harus membangun nilai-nilai etik disaat moral etik politikus saat ini sudah bangkrut dengan keadaan demokrasi yang defisit. Demokrasi mengalami kemunduran yang disebabkan faktor akhlak,” kata Herdi.

Herdi juga menyoroti beberapa konflik yang masih terjadi di antara kelompok beragama pada satu tahun belakangan. Contohnya adalah persekusi terhadap Ahmadiyah dan konflik antara Sunni-Syiah.

Menurutnya, faktor penyebab terjadinya konflik tersebut berkisar pada bidang sosial, keagamaan dan politik.

Herdi menyebutkan, kemerosotan praktik demokrasi dan etika politik merupakan faktor utama yang melanggengkan sistem kapitalisme di Indonesia. Sistem ini membuat masyarakat miskin semakin miskin, sementara kelompok masyarakat kaya semakin kaya.

Kemiskinan yang terpelihara di kalangan masyarakat bawah, menurutnya, hanya akan menghalangi kesadaran terhadap kehidupan beragama yang toleran dan plural. Dengan demikian multikulturalisme beragama akan semakin sulit tercapai.

“Perlu adanya komitmen yang kuat terhadap penegakan prinsip keadilan dan toleransi, baik pada level negara maupun masyarakat sipil,” pungkasnya. ***

 

 

Artikel Terkait