Nasional

Debat Keempat Cawapres, ICEL Nilai Debat Masih dalam Tataran Normatif

Oleh : very - Kamis, 25/01/2024 22:35 WIB

Debat keempat Cawapres di Jakarta Convention Center (JCC) pada Minggu malam (21/1). (Foto: tangkapan layar)

Jakarta, INDONEWS.ID - Ketiga calon wakil presiden kembali bertemu di podium untuk memaparkan dan mempertahankan gagasannya terhadap isu pembangunan berkelanjutan, lingkungan hidup, energi, sumber daya alam, pangan, agraria, masyarakat adat, dan desa.

Sayangnya, debat ini dinilai gagal memberikan eksplorasi lebih lanjut mengenai gagasan-gagasan pasangan calon terhadap tiga krisis planet bumi.

“Alih-alih menjadi ajang untuk adu pemikiran terhadap perlindungan lingkungan hidup, debat ini belum menyentuh hal mendasar dalam permasalahan lingkungan hidup dan krisis iklim yang saat ini kita alami, sehingga komitmen konkret belum terlihat,” ujar Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Grita Anindarini, melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (25/1).

Di samping itu, topik-topik yang tak kalah penting seperti penanganan krisis iklim, pemensiunan PLTU, perlindungan keanaekaragaman hayati, pencemaran dan kerusakan lingkungan, minim bahkan luput menjadi diskursus debat.

ICEL juga memberi catatan atas isu penting yang terbahas namun belum didalami dan dipertajam secara sungguh-sungguh dari debat tersebut.

 

Transisi Energi yang Berkeadilan Belum Menjadi Prioritas

Hal yang paling krusial dari sisi transisi energi berkeadilan yang luput dibahas oleh para calon wakil presiden adalah perihal target pencapaian transisi energi dalam jangka pendek dan panjang.

ICEL mengemukakan, beberapa calon hanya menyampaikan niatnya untuk menggenjot energi baru dan terbarukan. Akan tetapi, para calon tidak menyampaikan jumlah target bauran energi terbarukan dalam jangka pendek dan panjang. Selain itu, target para calon melakukan penghentian PLTU dan batubara juga tidak disampaikan.

Lebih lanjut, ICEL juga mengungkapkan bahwa rencana transisi energi juga sarat akan solusi palsu.

“Terdapat sebuah angin segar ketika salah satu calon menyampaikan tidak boleh lagi ketergantungan pada energi fosil. Namun, jika didalami lagi, justru visi pembangunan rendah karbon erat dikaitkan dengan pengembangan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) yang masih justru akan memperpanjang umur PLTU,” ujarnya.

Tidak hanya itu, pembelajaran dari negara lain menunjukan bahwa CCUS membutuhkan biaya yang mahal. Riset IEEFA (2022) menyebutkan bahwa bahkan untuk biaya menangkap karbon dapat mencapai US$50 - US$100/ton. Hal ini tentunya kontradiktif dan akan memberikan beban ekologis.

Lebih lanjut, diskursus transisi melalui penggunaan energi hijau berbasis nabati (B35 / B40) pun mencuat. Meskipun diklaim dapat menurunkan emisi, namun pengembangan energi ini dapat menimbulkan masalah alih fungsi lahan secara masif apabila implementasinya hanya bertumpu pada satu komoditas saja, misalnya CPO, tanpa ada diversifikasi bahan baku.

Dampak transisi energi terhadap tenaga kerja tidak diperdebatkan. Dalam debat memang terdapat diskursus bahwa transisi energi akan menciptakan jutaan lapangan kerja (green jobs).

Memang, menurut Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), sektor energi terbarukan memiliki potensi dapat menciptakan lapangan kerja langsung sekitar 432.000 tenaga teknik pada 2030 dan 1,12 juta tenaga teknik pada 2050.

Namun di sisi lain, transisi energi juga akan berdampak terhadap hilangnya pekerjaan di sektor pertambangan dan ketenagalistrikan, utamanya karena pemensiunan PLTU. “Dampak hilangnya tenaga kerja inilah yang nihil pembahasan pada debat kemarin. Termasuk bagaimana strategi mempersiapkan sumber daya manusia untuk transisi energi tersebut,” katanya.

 

Penanganan Krisis Iklim Luput dalam Pembahasan

Menurut ICEL, banyak momentum pada debat kemarin untuk memaparkan gagasan para calon wakil presiden mengenai penanganan perubahan iklim. “Sayangnya, tak satupun paslon berhasil menyampaikan gagasannya mengenai langkah strategis untuk penanganan krisis iklim,” ujarnya.

Ketika debat dimulai dengan kesadaran salah satu calon bahwa anggaran penanganan perubahan iklim kita masih belum memadai, seharusnya hal ini dapat dielaborasi lebih lanjut dengan membahas terkait bagaimana strategi kelembagaan ke depannya dalam mengatasi dampak krisis iklim.

Patut dipahami bahwa isu perubahan iklim merupakan isu yang sangat kompleks dan multi-dimensional. Penanganannya-pun memerlukan kerja sama lintas instansi. Untuk itu, peran Presiden sangat strategis untuk membangun kelembagaan yang koordinatif dan efisien. Sayangnya visi ini luput dari pembahasan.

Kedua, isu terkait bagaimana langkah strategis para calon untuk membangun kebijakan adaptasi perubahan iklim yang berorientasi pada resiliensi juga luput dari pembahasan.

Secara umum, memang pembahasan tentang adaptasi perubahan iklim sering kali terlewati dalam diskursus pemilu ini. Mengingat kerentanan Indonesia terhadap perubahan iklim, kebijakan ini sangat penting untuk merespons kebutuhan seluruh masyarakat Indonesia termasuk kelompok rentan.

“Mengintegrasikan kajian kerentanan, kemampuan, serta usaha adaptif dibutuhkan, utamanya dalam konteks pengambilan keputusan. Sayangnya, bagaimana pengambilan keputusan adaptasi yang berorientasi pada peningkatan daya lenting masyarakat melalui pencegahan maladaptasi juga tidak terbahas dalam debat kemarin,” ujarnya.

Hal yang menarik, gagasan mengenai pajak karbon muncul dalam pembahasan. Namun, bagaimana implementasi pajak karbon sebagai instrumen fiskal yang dapat mendorong solusi iklim juga tidak dielaborasi oleh calon wakil presiden.

Padahal patut untuk dielaborasi bagaimana strategi penerapan pajak karbon yang progresif untuk energi fosil. Termasuk bagaimana strategi penggunaan pendapatan pajak agar dapat memberikan insentif dalam mendorong pengembangan energi terbarukan serta mengurangi beban sosial transisi bagi masyarakat terdampak.

 

Hilirisasi Bukan Solusi Sapu Jagat

Pembahasan terkait hilirisasi nikel dan timah juga hangat pada debat kemarin, salah satunya karena Indonesia disebut mempunyai cadangan nikel terbesar di dunia dan memiliki cadangan timah terbesar kedua di dunia.

Akan tetapi, dalam debat keempat maupun debat-debat sebelumnya, hilirisasi selalu dianggap sebagai solusi atas seluruh permasalahan. Visi ini seakan berjarak dengan realita yang dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di dekat lokasi pertambangan nikel, seperti yang terjadi di Pulau-Pulau Kecil, seperti Pulau Wawonii, Pulau Obi, dan Morowali.

Kondisi lingkungan di sekitar wilayah pertambangan ketiga wilayah tersebut juga mengalami kerusakan, mulai dari pencemaran air, udara, laut, tanah, hingga alih fungsi lahan secara masif.

Kemudahan seperti percepatan perizinan, tax holiday, tax allowance, 0% royalti, bahkan menempatkan hilirisasi dalam proyek strategis nasional. Sehingga, industri hilirisasi mendapatkan kemudahan lainnya seperti penyesuaian tata ruang dan percepatan penyediaan tanah.

“Namun, kemudahan ini tidak diimbangi dengan pengetatan kerangka pengaman perlindungan lingkungan hidup di sekitar wilayah tambang. Hilirisasi yang seperti ini justru menjadi bertentangan dengan kerangka pembangunan berkelanjutan karena menegasikan kepentingan lingkungan,” ujar Marsya M Handayani, Kepala Unit Knowledge Management ICEL.

Seharusnya debat tersebut dapat mengelaborasi dan menjawab langkah konkret para calon untuk menanggulangi dampak lingkungan dari hilirisasi, termasuk bagaimana dampaknya terhadap masyarakat adat.

ICEL melihat setidaknya terdapat dua hal yang seharusnya yang perlu dieksplorasi, yakni (a) bagaimana strategi untuk mengatasi izin pertambangan mineral kritis yang semakin masif di Pulau-Pulau Kecil; (b) bagaimana strategi "menghijaukan" industri hilirisasi dengan bukan bergantung pada energi fosil.

 

Strategi Penegakan Hukum Lingkungan yang Tidak Konkret

Pada debat kemarin, sayangnya para calon wakil presiden tidak menunjukan strategi untuk penegakan hukum lingkungan. Padahal, salah satu calon telah menyebutkan bagaimana praktik pertambangan tanpa izin yang pelaksanaannya didukung oleh aparat.

Walaupun isu rule of law dalam penegakan hukum sudah terangkat, tidak terdapat elaborasi gagasan solusi konkret dari para calon wakil presiden. Sebaliknya, salah satu calon wakil presiden justru salah persepsi dan pendekatan ketika mendorong pencabutan izin sebagai solusi untuk menumpas kegiatan tanpa izin.

Diskursus penegakan hukum antar para calon wakil presiden dalam debat keempat juga tidak mengupas isu penegakan hukum kepada arah pemulihan lingkungan hidup yang menjadi tujuannya. Padahal, isu ini dibahas dalam debat capres tahun 2019 lalu.

Saat ini, penegakan hukum masih dihadapkan pada tantangan sulitnya pelaksanaan putusan perdata lingkungan hidup yang telah berkekuatan hukum tetap. Dari 16 perkara gugatan kebakaran hutan dan lahan yang dimenangkan pemerintah, hanya 3 putusan yang telah terlaksana. Sedangkan, total ganti kerugian lingkungan dan biaya pemulihan sebesar Rp 20,2 triliun belum dapat dieksekusi.

Isu ini seharusnya dapat dibahas dalam debat calon wakil presiden. Berdasarkan pemetaan ICEL, kewenangan lembaga eksekutif memiliki peranan penting untuk mengurai permasalahan tersebut, mulai dari menyusun regulasi, menjembatani koordinasi antar lembaga yang berwenang melakukan eksekusi dengan tenaga pengamanan dan pendataan aset, hingga menilik potensi bentuk kelembagaan eksekusi putusan yang independen dan efektif. Sayangnya, hal ini luput menjadi pembahasan.

Dengan demikian, ICEL menilai bahwa debat keempat pada 21 Januari 2024 masih dalam tataran normatif, dan belum menampilkan komitmen dan agenda penting yang akan dijalankan oleh para calon jika terpilih nanti.

“Walau demikian, tetap perlu diingat bahwa pilihan kita pada tanggal 14 Februari 2024 akan menentukan arah demokrasi dan lingkungan hidup ke depannya. Hasil debat ini serta visi-misi para pasangan calon perlu menjadi bahan refleksi bagi pemilih sebelum menentukan pilihannya,” pungkasnya. ***

 

Artikel Terkait