Oleh Rilo Pambudi (Jurnalis TvOneNews.com)
Banyuwangi, INDONEWS.ID - Hari terakhir kami mengikuti Journalist Journey PNM 2024 di Banyuwangi menyisakan kesan mendalam. Di luar dari tujuan utama kami, para jurnalis, yang datang ke Bumi Blambangan untuk menyaksikan upaya pengentasan kemiskinan oleh PNM dan Pemerintah, ada satu momen yang begitu eksotis di malam penutupan kecil-kecilan yang diadakan kawan-kawan PNM.
Setelah sekian hari memotret kisah-kisah PNM di Banyuwangi, pada Jumat malam (27/9/2024), di sebuah kedai bernuansa Jawa klasik bernama Sanggar Genjah Arum alias Kopai Osing di Kemiren, kami disuguhkan pengalaman penutup yang bukan hanya memukau tetapi juga memikat hati. Bukan sekadar soal kopi dan kudapan lokal, tetapi juga seni pertunjukan rakyat yang menjadi kebanggaan masyarakat Blambangan.
Rasa-rasanya, malam itu menjadi pelengkap sempurna setelah kami melihat bagaimana Sudut Literasi dan konservasi laut dibangun di pesisir Bangsring, memetik hikmah dari "rantang kasih" yang diterima Mbah Julaeha dan Mbah Marinah di Blimbingsari, serta mengabadikan cerita kelompok Mekaar seperti Masiyati dan Mak Sa`adi di pedalaman Kalipuro.
Meskipun acara bertajuk "malam penutupan" diselenggarakan secara sederhana, kehadiran barong dan tabuhan khas Banyuwangi memberikan nuansa megah yang penuh kehormatan. Sambutan ini mengiringi langkah kami ke pelataran tempat acara, menciptakan suasana hangat penuh wibawa. Budayawan Blambangan, Aekanu Hariyono, yang mewakili tuan rumah, secara khidmat memakaikan iket khas Banyuwangi ke kepala kami, serta selendang bermotif gajah oling untuk para tamu putri.
Selain barong, ada juga pertunjukan menabuh alu dan lesung oleh para perempuan paruh baya yang tak kalah memikat. Para jurnalis tampak sibuk mengabadikan momen lesung bertalu. Di pikiran saya pribadi, tuan rumah seolah ingin menyampaikan pesan bahwa kekayaan agraris Banyuwangi, tak hanya menjadi bagian dari keseharian, tetapi juga sajian kebudayaan yang bisa dinikmati turis kota dan mancanegara.
Kemudian, suguhan kopi arabika Banyuwangi juga melengkapi malam kami. Sebagai wilayah yang berada di antara pesisir dan pegunungan, Banyuwangi dianugerahi kopi robusta dan arabika yang memiliki cita rasa khas. Seruputan pertama kopi arabika membuat lidah saya merasakan nikmat pahit yang tak begitu asing, seakan menyatu dengan kehangatan alam di sekitar. Mirip dengan kopi yang tumbuh di pegunungan timur Semenanjung Muria, Pati, saya menduga, keunikan rasa kopi Banyuwangi mungkin disebabkan oleh intensitas cahaya matahari yang sangat melimpah di daerah yang berjuluk "Sunrise of Java". Maklum, letak geografis daerah kami singgah ini berada di lereng timur Gunung Ijen.
Meski pohon kopi umumnya tak suka cahaya berlebih, kopi yang tumbuh di daerah seperti ini biasanya ditanam di bawah naungan tumbuhan lain, atau yang dikenal dengan metode shade-grown coffee. Kopi yang ditanam di bawah naungan pohon-pohon alami ini mendapatkan banyak keuntungan. Sebab pohon-pohon penaung akan melindungi tanaman kopi dari terik matahari, menjaga suhu tetap stabil, dan membantu tanah tetap lembab melalui daun-daun yang gugur. Dengan kondisi seperti ini, buah kopi matang lebih lambat, memungkinkan cherry kopi mengembangkan rasa yang lebih kompleks dan kaya.
Gandrung Banyuwangi: Antara Sakral dan Profan
Ada jamu gendong di halaman depan, kedai kopi di bilik limasan sebelah kanan, angkringan di sudut kiri, dan aneka kudapan khas Banyuwangi di pojok ujung Sanggar Genjah Arum.
Setelah puas menikmati hidangan, kami beramah tamah, saling bertukar cerita, dan menerima bingkisan. Sebelum sesi pemberian penghargaan dari PNM kepada beberapa wartawan, sebuah tarian pembuka yang magis ditampilkan oleh tuan rumah. Gandrung Banyuwangi, dimainkan oleh dua gadis berparas elok, menyihir kami semua.
Diiringi gending leluhur dan musik bernuansa Jawa-Bali, para penari muda dengan pesona tak terelakkan membuat mata tak ingin berpaling. Setiap lentik jari dan gerak tubuh mereka mengalir indah, seolah meresap ke dalam hati para penonton yang begitu dekat, mengikat pandangan kami dengan satu dua kali kedipan. Busana, lantunan musik, dan keanggunan tarian itu terasa begitu nyata dalam setiap detik yang kami tangkap.
Pada sesi berikutnya, Aekanu Hariyono, budayawan yang mendampingi kami malam itu, menyalakan dupa. Ia bersiap mengarahkan para seniman untuk mempersembahkan tarian yang lebih mendalam, lebih sakral, kisah tragis tentang cinta dan santet. Seorang penari wanita yang menawan memerankan gadis pujaan, sementara seorang penari pria berperan sebagai jejaka yang jatuh cinta alias gandrung kepada sang ‘ballerina’
Blambangan. Melalui gerak tanpa kata, mereka menceritakan tragedi cinta dan penolakan.
Ketika sang pria menyalakan dupa, lalu menabur bunga, simbolisasi santet dimulai. Tarian ‘jaran goyang’ pun dipentaskan, menggambarkan kekuatan gaib yang sedang bekerja. Sang wanita yang tadinya menolak cinta dengan jijiknya, mendadak berbalik jatuh cinta pada pria ternyata membalas dendam. Ironis, setelah mantra bekerja, giliran perasaan gandrungnya yang kini ditolak mentah-mentah. Ada pesan kuat tentang cinta dan benci, tentang penolakan dan balas dendam. Barangkali, cinta dan kebencian memang dua sisi dari satu koin yang sama
Namun, Gandrung lebih dari sekadar simbol cinta. Sebagai seni tradisi, ia memiliki makna sakral sekaligus profan. Seperti halnya Tayub dan Ronggeng di Jawa Tengah, Gandrung adalah tarian rakyat yang pada mulanya dibawakan sebagai ungkapan syukur saat masa panen tiba. Kini, Gandrung telah menjadi identitas budaya Banyuwangi, bahkan menyatu dengan tradisi pesisirnya.
"Gandrung awalnya berfungsi sebagai media ritual, diciptakan oleh para petani. Ia dianggap sebagai representasi Dewi Sri, namun juga digunakan oleh para nelayan dalam upacara Petik Laut di Muncar. Tanpa Gandrung, upacara syukuran kepada alam itu tak sah," ujar Aekanu Hariyono kepada kami.
Aekanu selaku budayawan sekaligus penulis yang mendalami budaya Osing dan Banyuwangi, juga mengklaim bahwa di masa lalu, Gandrung pernah berperan dalam melawan penjajah. Sebab para penari yang menawan itu biasa digunakan sebagai agen mata-mata. Kini, Gandrung tidak hanya menjadi bagian dari ritual, tetapi juga tontonan yang profan. Dalam setiap pertunjukan, para penari harus tersenyum, dengan gerak yang enerjik, molek, dan memikat.
Diakui atau tidak, realita Gandrung dalam masyarakat Banyuwangi berkembang menjadi kesenian profan yang kadang disertai tradisi minum minuman keras tradisional seperti arak. Namun, masyarakatnya tetap meyakini bahwa di balik itu tersimpan makna dan nilai luhur yang diungkapkan, terutama melalui syair-syair tembang klasik.
Meski keberadaannya kerap menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat Banyuwangi yang plural, baik dari sisi etnis maupun agama, dan sering kali dianggap sebagai hiburan profan yang cenderung erotis, tetap ada upaya untuk membingkai Gandrung dalam wacana positif, khususnya terkait dengan model pementasan hingga syair-syair tembang yang menyuarakan makna-makna nilai luhur yang tersirat.
“Dulu, Gandrung sempat dikonotasikan buruk, tapi sekarang orang-orang mulai bangga. Mulai dari anak-anak hingga santri pondokan, banyak yang ingin menjadi Gandrung. Konsep yang saya pegang adalah bahwa setiap gerakan tari dan gending yang mengiringinya merupakan doa,” tegas Aekanu.
“Gerakan Gandrung yang dominan melingkar, berlawanan dengan jarum jam, mirip dengan gerakan dalam ritual Seblang selama tujuh hari berturut-turut. Gerakan serupa juga ada dalam tarian suku-suku lain di Indonesia, seperti tawaf dalam Islam, melingkar berlawanan dengan jarum jam. Itu adalah gerakan doa, gerakan yang sakral,” jelasnya penuh semangat, agar perspektif tentang Gandrung bisa dilihat sebagai bagian dari warisan kebudayaan yang elok dan positif.
Menjadi penari bukan sekadar menari, melainkan juga melibatkan rasa, karsa, estetika, dan norma budaya. Gandrung muncul sebagai kesenian rakyat yang menembus batas-batas tradisi lama dan agama, ia mengalami akulturasi bahkan sinkretisme budaya.
Gerakan seperti “sampur” yang disampirkan di samping atau “dadar” yang jatuh, melambangkan keseimbangan dengan alam, dengan sesama manusia, dan dengan seluruh makhluk hidup.
“Gerakan ‘menyapu’ atau ‘pesapon’ adalah simbol pembersihan dari segala yang kotor. Jika kita telusuri lebih dalam, hingga ke kostum yang dikenakan, maknanya sangat menarik. Jangan hanya melihat dari sisi fisik, cobalah memahami apa yang tersembunyi di baliknya,” kata Aekanu.
Seperti kupu-kupu yang akan mati setelah memberi manfaat pada makhluk lain, demikian pula makna di balik setiap gerakan Gandrung. Ada pesan tersembunyi dalam warna merah dan putih yang disematkan dalam busana para penari. Dan itu baru dari kostumnya, belum lagi gending-nya. Gending yang barangkali tak perlu diterjemahkan kata demi kata, karena ia diciptakan leluhur sebagai mantra dan doa untuk kebaikan.
Pada akhirnya, malam terakhir kami, tim PNM dan para wartawan, berakhir dengan kesan yang adiwarna, ditutup dengan begitu suka cita, bergabung dengan para penari dan ikut ngibing melingkar dengan sangat meriah dalam kesederhanaan. Setiap jurnalis yang menjadi peserta akhirnya membawa pulang hasil karya dan kenangan yang berbeda-beda di kepalanya, begitu pula dengan kawan-kawan dari PNM. Namun, harapan yang pasti terpatri dari setiap tuan rumah yang kami kunjungi selama di Banyuwangi adalah semoga apa yang kami tulis dan buat bisa bermanfaat bagi mereka.*