INDONEWS.ID

  • Minggu, 08/08/2021 13:42 WIB
  • Pendamping Hukum Tidak Dapat Dipidanakan, Polisi Harus Tolak Pengaduan Tidak Mendasar Terhadap Direktur LBH Bali

  • Oleh :
    • Mancik
Pendamping Hukum Tidak Dapat Dipidanakan, Polisi Harus Tolak Pengaduan Tidak Mendasar Terhadap Direktur LBH Bali
Aktivis Kemanusian Asal Papua, Marthen Goo.(Foto:Istimewa)


Oleh: Marthen Goo

Jakarta, INDONEWS.ID - Baca berita kalau Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, Ni Kadek Vany Primaliraning, dilaporkan dengan pasal makar, ini kaya lelucon di siang hari. Pasal makar itu harus terukur, jelas dan memenuhi unsur. Kalau dasarnya hanya karena perasaan tidak suka dan/atau kebencian semata kemudian dipaksakan dengan asal lapor-lapor, akan rusak negara hukum.

Baca juga : Kepolisian dan Krisis Kepercayaan

Tentu kita tahu bahwa Advokad atau pengacara atau pendamping hukum kedudukannya sama dengan penegak hukum. karenanya, Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan (Pasal 5 UU-Advokad).

Tentu, kemudian kita tahu juga bahwa penegak hukum itu selain Polisi, ada Jaksa dan Pengacara (Advokad). Ketika masing-masing menjalankan tugas, mereka tidak bisa dicari-cari delik, apalagi dengan asumsi yang sumir. Hal itu berbeda jika ada perbuatan pidana yang dilakukan oleh oknum orang sebagai subjek hukum.

Baca juga : Enam Jurus Mewujudkan Polisi yang Baik

Karenanya, prinsip pendampingan hukum tersebut harus dilihat dengan tepat, baik dan benar. Sekali pun itu Iblis, jika meminta pendampingan hukum, sesungguhnya Advokad wajib mendampingi, apalagi jika itu korban. Pasal 18 jelas menyebutkan bahwa “Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya”. Sekalipun perbedaan politik, advokad wajib mendampingi. Tidak pernah di dunia, advokad dicari-cari delik untuk dipidanakan dalam kasus pendampingin politik, apalagi kalau bicara soal demokrasi.


Menguji Logika Makar dan Melirik Aturan Pendampingan Hukum

Menurut Anugerah Rizki Akbari, “KUHP tidak menjelaskan apa itu makar, cuma KUHP menjelaskan kapan makar itu dihukum,". Artinya bahwa definisi makar dalam KUHP tidak dijelaskan dengan baik. Walau demikian, makar sedikit diberikan gambaran di KBBI, dimana, makar diartikan (1) akal busuk; tipu muslihat; (2) perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang atau membunuh orang dan sebagainya; dan (3) perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah.

Baca juga : KSP Normal Dukung Pemekaran sebagai Praktik Pendudukan dan Militerisasi di Papua

Menurut Ahli Pidana, M. Toufik, “delik makar itu deliknya adalah delik materil. Deskripsinya jelas (1) harus ada kekuatan bersenjata; (2) merong-rong pemerintahan dalam bentuk pemerintahan tidak berjalan; (3) menyerang keamanan presiden dan wakil presiden. Yang bisa lakukan makar kalau bukan polisi ya tentara karena mereka yang mempunyai senjata. Kalau kritik, tidak ada pasal yang bisa dipakai untuk menyebut orang itu makar”. Orang yang dapat atau berpotensi melakukan perbuatan makar adalah orang yang memiliki kekuatan bersenjata.

Karenanya, makar sering diartikan menyerang dengan kekuatan bersenjata. Jadi, jika itu aksi menyampaikan aspirasi, tidak terpenuhinya unsur makar.

Hal berikut adalah hal Pendampingan atau pemberi bantuan hukum, dimana dilakukan oleh Advokad. Sudah sangat jelas dalam UU Advokad. Karena “Advokad tidak dapat dituntut baik seara pidana maupun perdata dalam pendampingan hukum”, itu perintah UU.

Dalam UU Bantuan hukum juga dijelaskan bahwa “Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau Kode Etik Advokat”.

Jadi, makar secara subtansial harus dilihat sebagai perlawanan dengan kekerasan dengan kekuatan bersenjata yang dapat mengancam presiden atau wakil presiden dan/atau menggulingkan pemerintahan yang sah dan/atau dengam maksud menjatuhkan sebagian atau seluruh wilayah ke tangan musuh atau memisahkan sebagaian wilayah negara. Prinsipnya adalah harus dengan kekuatan bersenjata, sebagai syarat ukur utama. Jika tidak ada kekuatan bersenjata, maka itu bukan mukar.


Polisi Wajib Tolak Aduan Tidak Mendasar

Kepolisian Indonesia harus propesional dalam melaksanakan profesi penegakan hukum. ini bukan di jaman kuno dimana publik tidak paham hukum. Tiap hari hukum makin dekat dengan kehidupan publik sehingga publik makin tahu dan bisa bedakan mana rana hukum dan bukan rana hukum. Hal yang sama juga dengan pengaduan yang selalu dilakukan hanya karena ketidak-senangan semata ataupun terpenuhinya unsur dalam hukum dan memenuhi delik tertentu.

Jika menelah dalam kasus pelaporan, dimana direktur LBH Bali dilaporkan dengan pasal Makar, itu kekeliriuan yang sangat besar dan fatal, apalagi diasumsikan dengan pemufakatan. Sementara Advokad itu tugasnya adalah pendampingan. Pemufakatan dan pendampingan memiliki arti yang jauh berbeda.Disini kekacauan mengartikan makna secara subtansial terjadi. Masa pemufakatan memiliki arti yang sama dengan pendampingan?

Polisi wajib menghentikan laporan yang tidak mendasar. Kalau polisi yang proposional, begitu melihat aduan yang tidak memenuhi ketentuan hukum, harusnya disampaikan langsung dan ditolak, bukan menerimanya dan berkata mempelajari. Pengertian mempelajari harus dilihat ketika unsur terpenuhi kemudian untuk didalami lebih jauh dan dalam terhadap kepenuhan tersebut.

Sekali lagi, Polisi harus profesional. Polisi harus hentikan pengaduan yang secara subtansial bias jauh dari aspek hukum. Makar tidak terpenuhi baik terhadap Direktur LBH maupun 4 mahasiswa Papua lainnya. 4 Mahasiswa Papua tidak melakukan tindakan makar karena tidak memiliki kekuatan bersenjata untuk melakukan penggulingan pemerintahan yang sah, tidak mengancam presiden dan wakil presiden, tidak menjatuhkan sebagian dan seluruh wilayah ke tangan musuh dan lainnya dengan kekuatan bersenjata tersebut, apalagi direktur LBH Bali yang hanya mendampingi.

*)Penulis adalah aktivis kemanusiaan asal Papua.

Artikel Terkait
Kepolisian dan Krisis Kepercayaan
Enam Jurus Mewujudkan Polisi yang Baik
KSP Normal Dukung Pemekaran sebagai Praktik Pendudukan dan Militerisasi di Papua
Artikel Terkini
Apresiasi Farhan Rizky Romadon, Stafsus Kemenag: Kita Harus Menolak Tindak Kekerasan
Puspen Kemendagri Berharap Masyarakat Luas Paham Moderasi Beragama
KPKNL mulai Cium Aroma Busuk di Bank Indonesia
Akses Jalan Darat Terbuka, Pemerintah Kerahkan Distribusi Logistik ke Desa Kadundung
Elit Demokrat Ardy Mbalembout Mengutuk Keras Aksi Penyerangan Mahasiswa Saat Berdoa di Tangsel
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas