Nasional

Kriminalisasi Ulama Sebagai Wacana dan Narasi Perlawanan

Oleh : very - Sabtu, 07/12/2019 19:01 WIB

Pengamat politik dari President University AS Hikam. (Foto: channel indonesia)

Oleh: Muhammad AS Hikam *)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Wacana dan narasi `kriminalisasi ulama`, tak pelak, kini telah menjadi bagian penting dalam perpolitikan Indonesia pasca-reformasi dan khususnya di era Presideb Jokowi. Kosakata "kriminalisasi"  bisa diartikan sebagai "suatu proses atau upaya menjadikan kriminal" dan kosakata "ulama" yang berarti para pemimpin Islam yang dianggap berilmu dan berpengaruh dalam masyarakat", kini menjadi sebuah penanda yang memiliki daya tarik dan pengaruh signifikan dalam pertarungan dan perebutan kuasa.

Dalam ujaran para pemakainya, kata "kriminalisasi ulama" adalah sebuah senjata narasi yang ampuh untuk menghadapi, bertahan, dan menyerang lawan. Walaupun tergantung kepada konteks wacana dan praksis politiknya, tetapi kata tersebut seakan sudah menjadi milik dan trade mark dari kelompok Islam politik yang beberapa tahun belakangan semakin asertif berperan sebagai oposisi dari penguasa.

Berbeda dengan beberapa narasi khas lainnya, seperti syariah, kaffah, khilafah, dan sebagainya, kata kriminalisasi ulama merupakan invensi baru yang khusus untuk mempersenjatai (weaponizing) diri dalam  perlawanan vis-a-vis penguasa dan pihak-pihak yang anti terhadap kelompok Islam politik.

Karena memang merupakan narasi eksklusif, maka pemahaman terharap kata tersebut juga hanya bisa dipahami oleh pendukungnya walaupun orang luar bisa saja memaknai dan menafsirkan secara berbeda. Itulah sebabnya narasi kriminalisasi ulama hanya berlaku ketika diujarkan oleh pendukungnya, termasuk siapa yang berhak "memenuhi persyaratan" untuk disebut sebagai korbannya. Bisa saja orang luar dianggap korban, tetapi ia harus menjadi bagian yang diapropriasi untuk kepentingan kelompok tersebut.

Sebagai contoh yang mudah, dalam kasus hujatan terhadap Wapres KH Maruf Amin oleh seorang Ustad bernama Jafar Shodiq, maka pihak yang disebut terakhir itu yang dianggap jadi korban kriminalisasi ulama. Dan ustad Jafar Shodiq diperlakukan demikian dengan membandingkan kasusnya dengan laporan terhadap Sukmawati yang dianggap melakukan penistaan agama.

Model pilih-pilih tebu seperti ini bisa dicarikan padanannya dalam beberapa kasus lain. Poinnya adalah bahwa klaim terhadp kriminalisasi agama hanya valid jika dimunculkan atau mendapat restu dari kelompok tersebut.

Karenanya, pertandingan dan perebutan klaim kebenaran tentang kriminalisasi ulama tak mungkin hanya diselesaikan melulu dengan jalan legal formal. Ia adalah bagian dari politik dan karenanya juga memerlukan resolusi secara politik. Pemerintah maupun masyarakat sipil memerlukan peralatan berupa wacana dan narasi tandingan yang efektif. Penyelesaian legal formal dan, apalagi, pembungkaman terhadap wacana tersebut saya kira tak akan bermanfaat.

Namun pada saat yang sama, pihak pembuat wacana dan narasi kriminalisasi ulama itu juga tak bisa overestimasi terhadap efektifitasnya. Sebab apabila klaim mereka tak bisa dibuktikan, ia hanya akan menjadi klise. Ia lantas berubah menjadi propaganda politik biasa yang akan kehilangan pengaruhnya dalam waktu yang tak lama. Memang media dan media sosial akan bisa terus menjadi corong penyebarluasan wacana dan narasi tersebut, tetapi tetap akan terbatas efektifitasnya.

*) Muhammad AS Hikam adalah pengamat politik dari President University.

Artikel Terkait