Nasional

Emrus Sihombing: Hati-Hati Polling Politik yang Sesat Akademik

Oleh : very - Minggu, 31/05/2020 16:30 WIB

Emrus Sihombing, Dosen Universitas Pelita Harapan (UPH). (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID – Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner, Emrus Sihombing mengatakan bahwa pagi ini, Minggu (31/5) masuk ke HP-nya sebuah polling. Lalu dia recheck di google dengan mengetik kata kunci “polling 39570”.

Saat release ini ditulis, polling tersebut masih bisa diakses. Pada bagian “Tentang Polling Ini” tertulis, “…dibuat pada 28/05/2020, jam 14:58 WIB”. Pada polling ini menawarkan dua pilihan yaitu, New Presiden dan New Normal.

“Menurut saya, setidaknya ada empat hal menarik perlu diurai terkait dengan polling ini, yaitu sesat akademik, kurang mendidik, konteks tidak tepat, dan bisa mengandung aroma komunikasi politik prakmatis-transaksional. Mengapa?,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Minggu.

Pertama, sesat akademik. Dengan memberikan pilihan New Presiden dan New Normal sebagai tindakan sesat akademik. Selain tidak memberikan peluang pilihan lain (tidak dua-duanya), dua pilihan ini sangat tidak setara satu dengan lain atau tidak dalam kelompok yang sama.

“New Presiden dan New Normal sangat tidak tidak logis disepadankan dan juga memutlakkan hanya pada dua pilihan dikotomi. Publik tidak diberikan kebebasan pilihan lain, yaitu tidak keduanya. Inilah yang saya sebut sebagai bentuk metode penelitian ‘memenjarakan’ responden. Jadi, sesat akademik,” ujarnya.

Dari aspek akademik, jika memberikan pilihan atau membedakan antara fenomena satu dengan lain harus berada pada “keluarga” yang sama atau sepadan. Misalnya, berikan tawaran pilihan antara zat cair dengan zat cair lain. Jangan padankan benda cair dengan benda padat, karena ciri, fungsi dan kegunaanya dari dua benda ini sudah memang berbeda (aksioma).

“Jadi, memberikan pilihan New Presiden dan New Normal sangat tidak tepat. Contoh yang setara dan akademis, harusnya pilihan disodorkan ke responden yaitu, New Normal dan Not New Normal. Jangan padankan New Normal dengan New Presiden karena sudah berbeda dari aspek ‘habitat’ sosialnya, fungsi dan kemanfaatannya. Untuk itu, saya menyarankan agar pilihan yang tersedia pada polling ini perlu dan segera direvisi,” ujar pengajar Komunikasi Politik dari Universtas Pelita Harapan (UPH) tersebut.

Kedua, kurang mendidik. Selain tidak sepadan, dua pilihan tersebut sangat berpotensi menimbulkan sesat pikir dan bisa memanipulasi persepsi publik. Jadi, polling ini bisa menggangu upaya kita bersama  menghalau dan mengatasi dampak virus Corona. Padahal sebaiknya, semua komponen dan berbagai bidang kehidupan sosial, termasuk bidang politik, harus kita kerahkan dan bahu membahu melawan musuh kemanusiaan yaitu, Covid-19. Untuk itu, polling ini sebaiknya ditarik sementara untuk melakukan kajian holistik dan revisi pilihan yang ditawarkan agar mengandung unsur pendidikan.

Ketiga, konteks tidak tepat. Dengan menggunakan dua pilihan tersebut sangat tidak tepat konteksnya. Persoalan utama kita hadapi saat ini bukan komunikasi politik prakmatis, tetapi masalah kemanusiaan karena Covid-19. Karena itu, dasar pijak yang kita gunakan Sila Kedua dari Pancasila, yang mengandung dua nilai utama yaitu kemanusiaan yang adil dan kemanusian yang beradab.

Artinya, segala perilaku kita sebagai anak bangsa terkait dengan penanganan Covid-19 harus berbasis, bertindak dan mengedepankan kemanusiaan itu sendiri. Jadi, kita harus menghindari politik prakmatis seperti yang termuat pada dua pilihan tersebut.

Untuk itu, katanya, sebaiknya pilihan yang ditawarkan yaitu, New Normal atau Not New Normal. Selain setara, hasil dari dua pilihan ini jauh lebih bermanfaat untuk mengevaluasi program dan kebijakan pemerintah dalam menentukan timing yang tepat menentukan saat berlakunya new normal.

“Bahkan jika ditawarkan dua pilihan, yaitu New Presiden dan Not New Presiden, dari sudut kesetaraan memang masuk akal, namun tidak memenuhi unsur konteks, karena saat ini negeri kita tidak dalam agenda konteks Pilpres. Karena itu, sebagai karya akademik, sebaiknya polling harus kontekstual,” ujarnya.

Keempat, bisa saja ada aroma komunikasi politik prakmatis-transaksional. Dengan mencantumkan salah satu pilihan New Presiden bisa tersirat makna komunikasi politik prakmatis transaksional. Setidaknya, polling ini berpotensi menggeser isu dari upaya negeri ini menghambat penyebaran dan mengatasi dapak Covid-19 ke rana politik prakmatis tertentu yang tidak produktif.  Ini sangat disayangkan.

Terkait dengan uraian di atas, katanya, dengan kerendahan hati, pada kesempatan ini saya menyarankan kepada juru bicara (jubir) bidang politik dan pemerintahan di istana, tentu jika setuju dengan pandagan saya di atas, berkenan mewacanakan dan mem-viral-kan pemikiran-pemikiran seperti narasi di atas lebih proaktif, masif, tentu juga terstruktur dan sistematis agar publik mendapat pemahaman lain terhadap segala bentuk tindakan komunikasi politik prakmatis dan transaksional.

“Jubir jangan sampai berpangku tangan sehingga terkesan membiarkan adanya  polling sesat akademik  berpotensi merugikan posisi pemerintahan Joko Widodo  di ruang publik.  Hati-hatilah terhadap polling politik yang sesat akademik karena berpotensi memanipulasi persepsi publik. Para Jubir harus lebih berkerja optimal, cepat dan juga harus cerdas,” pungkasnya. (Very)

 

Artikel Terkait