Nasional

New Normal, Ke Jakarta Aku Kan Kembali

Oleh : very - Jum'at, 05/06/2020 15:38 WIB

Alumnus Lemhannas PPSA XXI, AM Putut Prabantoro. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID -- “Ke Jakarta Aku Kan Kembali, Walaupun Apa Yang Kan Terjadi” – inilah suasana kebatinan masyarakat yang terjadi saat ini. Sekalipun pemerintah daerah menggunakan berbagai istilah untuk mengantar masyarakatnya masuk ke dalam tatanan kehidupan baru, masyarakat Indonesia termasuk yang mudik, yang dirumahkan, yang di-PHK dan yang work from home (WFH) bersiap-siap kembali ke “Jakarta” untuk mengadu nasib dalam New “Habitus Baru” Normal.

Demikian ditegaskan oleh Alumnus Lemhannas PPSA XXI, AM Putut Prabantoro dalam penjelasannya di Jakarta, Jumat (05/06/2020). Ia juga menegaskan ada risiko baru yang harus diantisipasi dalam New “Habitus Baru” Normal karena terdapat dua kelompok yaitu yang meyakini dan tidak meyakini adanya covid-19.

“Kembali Ke Jakarta”, demikian diurai oleh Putut Prabantoro, adalah lagu Koes Plus yang diciptakan pada tahun 1969 oleh salah salah satu personilnya, Tony Koeswoyo. Lagu ini termuat dalam album “Deg-Deg Plas”, yang merupakan istilah keren pada waktu itu. “Deg-Deg Plas” adalah ungkapan untuk melukiskan jantung yang berdegub kencang atau berdetak cepat karena berbagai alasan termasuk ketidakpastian, ada ancaman ataupun ada tantangan. Orang Jakarta mengatakan, “jantungnya empot-empotan”.

“Lagu ini pantas menjadi theme song dari New Normal atau habitus baru. Limapuluh tahun setelah dirilis, lagu ini ternyata cocok dengan suasana kebatinan masyarakat yang akan masuk dalam tatanan kehidupan baru. Sekalipun ada ketidakpastian, risiko, ancaman ataupun tantangan, masyarakat harus mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanannya apapun risikonya, yang oleh Koes Plus dikatakan – Walaupun Apa yang akan terjadi,” ujar Putut Prabantoro, yang juga Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa).

Jakarta adalah kota pertaruhan hidup, urai Putut Prabantoro lebih lanjut, di mana jutaan orang menggantungkan nasib dari kerja kasar sampai kerja sangat halus, dari pengemis hingga CEO perusahaan multinasional. Karena menguasai 70% perputaran uang seluruh Indonesia, Jakarta bukan hanya milik warga Jakarta yang berjumlah 10,4 juta per tahun 2018. Jakarta juga milik warga Jabodetabek, Banten,  Jawa Barat dan yang berasal dari berbagai Indonesia meski tidak memiliki KTP Jakarta.

“Kembali Ke Jakarta”, masih menurut Putut Prabantoro adalah ungkapan yang sering terdengar setelah libur Lebaran di mana sebagian besar warga Jakarta dan Bodetabek kembali ke ibu kota Indonesia  untuk  mengadu nasib selama setahun lagi. Tidak hanya para pemudik yang kembali ke Jakarta tetapi juga para pendatang baru ikut serta.

Namun Lebaran tahun 2020 berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.  Karena ada Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), jumlah pemudik menurun drastis. Tercartat jumlah kendaraan yang mudik berjumlah 465.582 pada H-1 atau turun 62% dari tahun 2019. PSBB ini sekaligus juga meniadakan tradisi dan menghentikan arus silaturahmi di kota-kota besar hingga kampung-kampung. Dan sebagai gantinya, sebagian besar masyarakat memilih “mudik” di rumah masing-masing karena pandemi Covid-19.

“Oleh karena itu, ‘Kembali ke Jakarta’ dapat diartikan pergerakan  masyarakat Indonesia kembali ke business as usual – kerja seperti biasa  dengan melanjutkan hidup setelah terhenti oleh pandemi. Hidup tetap berlanjut meski harus berdampingan dengan covid-19 dalam habitus baru,” tegas Putut Prabantoro.

Namun, realitas mengatakan lain karena Jakarta (dan kota-kota tujuan kerja lainya) tidaklah sama. Covid-19 telah menghancurkan hampir seluruh industri dan menciptakan penambahan angka pengangguran, angka kemiskinan serta ketidakpastian di masa depan. Pandemi ini telah menghancurkan sektor perdagangan dan industri yang terkait dengan interaksi antar manusia seperti restoran, transportasi, pengiriman, penginapan dan pariwisata. Dampaknya adalah, setidaknya 2,0 juta karyawan dari 116.360 perusahaan  diPHK atau dirumahkan per April 2020. 

Dibutukan waktu yang cukup lama untuk memulihkan kondisi seperti sebelum Covid. Namun rasanya, hidup sudah tidak sama karena Jakarta dan kota-kota lain tempat tujuan mengadu nasib sudah berada dalam tatan kehidupan baru. Pemerintah daerah di seluruh Indonesia mulai mengkondisikan masyarakatnya untuk dapat melanjutkan hidup dalam habitus baru, meski harus berdampingan dengan Covid. Berbagai cara dilakukan untuk meminimalisir risiko dari pergerakan “Kembali Ke Jakarta”.

Pembatasan Sosial Berskala Lokal (PSBL), Pembatasan Sosial Berskala Mikro (PSBM), desentralisasi lokal di akar rumput atau apapun namanya masih dalam rangka mengantarkan masyarakat untuk melanjutkan hidup sehari-hari termasuk berbagai protokol kesehatan yang terus disosialisasikan. Namun yang jelas, risiko dan ketidakpastian kehidupan itu sendiri sudah berada di depan mata.

“Alasannya adalah, dalam habitus baru terdapat dua kelompok yang saling berbeda pendapat. Kelompok pertama yakin Covid-19 itu memang ada dan kelompok kedua merasa covid-19 tidak ada. Perbedaan keyakinan ini memunculkan masalah baru dan menempatkan upaya mewujudkan tatanan kehidupan baru sebagai usaha yang sia-sia. Hanya waktu yang akan menentukan kekhawatiran menjadi kepastian ataukah keragu-raguan menjadi kemantaban mengingat di banyak tempat, kedua kelompok ini akan bertemu,” tegas Putut Prabantoro, yang juga Ketua Presidium Bidang Komunikasi Politik ISKA.

Koes Plus cukup jeli untuk melukiskan kondisi masyarakat pada saat ini, “Ke Jakarta Aku Kan Kembali, Walaupun Apa Yang Kan Terjadi”. (Very)

 

Artikel Terkait