Nasional

Komentari Buku "Pendidikan Yang Berkebudayaan," Prof Thamrin: Penulis Konsisten pada Historical Idealism

Oleh : Rikard Djegadut - Selasa, 10/11/2020 18:01 WIB

Penulis Buku "Pendidikan yang Berkebudayaan" Dr. Yudi Latif bersama Pemred Indonews.id, Drs. Asri Hadi, MA (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Yudi Latif meluncurkan buku terbarunya berjudul "Pendidikan yang Berkebudayaan: Histori, Konsepsi dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif" yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka.

Buku setebal 452 halaman ini berisi tentang konsep transformasi pendidikan dengan menyumberkan pada konsep dan visi-misi pendidikan Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara yakni sebagai proses belajar menjadi manusia seutuhnya untuk dipelajari dan dikembangkan dalam hidup.

Guru Besar Universitas Indonesia selaku Komisioner Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (IAPI), Prof. Dr. Thamrin Amal Tomagola mengatakan benang merah dari setiap karya-karya Yudi Latif adalah penulis konsisten berdiri pada historikal idealism atau dunia gagasan sebagai lawan dari historikal materialism.

Demikian dikatakan Prof Thamrin ketika menjadi pembicara dalam acara bedah buku "Pendidikan yang Berkebudayaan: Histori, Konsepsi dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif" yang dilakukan secara virtual zoom pada Selasa, (10/11/20).

"Saya lihat karya-karya YL itu eklektiknya lebih banyak menggabungkan pemikiran-pemikiran Max Weber dan Durkheim dan Robert K Merton, para sosiolog Amerika. Pada garis itu, saya melihat YL konsisten bicara tentang, sebenarnya pada level gagasan, ideas dan tidak terlalu banyak tentang realita empiris yang sedang berlangsung," kata Thamrin.

Guru Besar Universitas Indonesia selaku Komisioner Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (IAPI), Prof. Dr. Thamrin Amal Tomagola bersama Pemimpin Redaksi Indonews.id selaku Dosen Senior IPDN, Drs. Asri Hadi, MA (Foto:Ist)

Thamrin menjelaskan, dalam membedah buku seorang penulis, kita melihat benang merah dari berbagai macam karya sang penulis baik secara internal maupun eksternal dengan melihat sumbangan dari karya penulis itu pada bidang yang digelutinya.

"Seluruh karya-karya Yudi Latif yang sangat banyak ini misalnya buku tentang ideologi pemikiran intelektual Islam, Negara Paripurna dan Mata Air Keteledanan itu masuk dalam kategori yang sering disebut dengan idealism atau lebih tepatnya lagi historical idealism yang mengganggap perjalanan sejarah adalah perjalanan pemikiran," jelah aalumni Univeristas Nasional Australia ini.

Thamrin menambahkan, bahkan mulai dari karya pertama Yudi Latif, yang merupakan hasil disertasinya, sampai sekarang kita melihat penulis konsisten dalam kubu idealism atau historical idealism sebagai lawan dari historical materialism.

"Nah, di dalam tulisan-tulisan itu saya lihat, Yudi tidak secara ketat berada pada satu paradigma ilmu-ilmu sosial tertentu. Tapi, rada bersifat eklektik. Eklektik yang gaya-gaya Gideon dari Cambrigde University Inggris. Bedanya adalah, eklektifnya Gideons itu mengawinkan Max Weber, Durkhime sekaligus,"

Sementara bila membaca karya-karya Yudi Latif, eklektiknya lebih banyak menggabungkan pemikiran-pemikiran Max Weber, Durkheim dan Robert K Merton yang merupakan sosiolog Amerika.

Pada kesempatan itu, Yudi Latif dalam pemaparannya mengatakan buku ini menarik karena memuculkan beragam interpretasi dari para berbagai kalangan sesuai dengan keinginannya masing-masing. Bahkan, katanya, ada yang menyebut buku ini menjadi landasan kritik terhadap kebijakan dalam sistem pendidikkanya kita hari ini.

Tapi yang menarik, bahkan dari elemen Kemendikbud sendiri mensyukuri buku ini karena menjadi basis landasan bagi pendidikan merdeka yang sedang dikembangkan hari ini," kata mantan Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila ini.

"Jadi memang ketika buku diluncurkan, orang akan melihat itu sesuai dengan bagaimana perspektif dan kepentingannya masing-masing. Tapi kalo saya yang ditanya, buku ini bicara apa? tentu jawabannya bisa berbeda,"

Buku ini, kata Latif, berisi semacam peta jalan besar yang mana nantinya akan ditulis buku-buku lainnya. Buku ini belum sampai kepada bagaimana sistem dan model pendidikan kreatif. Baginya, itu semua akan menjadi arteri-arteri yang dilanjutkan dari peta besar ini.

"Dan dalam peta besar ini, sejak lama saya memiliki kecocokan dengan Anna school bahwa memotret itu jangan snapshoot tapi harus dalam satu rangkaian yang panjang, sehingga kita bisa tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan,"

Selanjutnya, Latif mengharapkan bahwa dalam membaca buku ini, pembaca dituntut untuk membaca buku karya-karyanya yang lain karena saling terkait karena merupakan arsitektonik.

"Jadi memang misalnya kenapa hal ini belum dibahas, bisa jadi sudah dibahas di tempat buku saya yang lain. Misalnya kenapa hubungan Van Mell dan Haji Salim atau Kartini tidak dibahas, itu sudah dibahas di buku Mata Air Keteladanan," beber Yudi Latif.

Terpisah, Pemimpin Redaksi Indonews.id selaku Dosen Senior IPDN, Drs. Asri Hadi menyampaikan selamat atas diluncurkannya karya yang sangat berbobot ini. Ia berharap semoga buku ini memberikan sumbagsih yang berarti bagi sistem pendidikan di Indonesia.

"Selamat atas diluncurkannya buku ini, semoga memberikan sumbangsih yang berarti dalam membenahi sistem pendidikan di Indonesia dengan harapan akan mencetak para generasi yang berkualitas demi kemajuan Indonesia. Selamat juga kepada Pak Thamrin yang sudah memandu acara bedah buku ini hingga sukses terlaksana," ungkap Asri. *(Rikard Djegadut).

Artikel Terkait