Opini

Melihat Wajah Industri Penerbangan Pasca-Covid-19

Oleh : Rikard Djegadut - Selasa, 08/12/2020 18:30 WIB

Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara dan Pendiri CSE Aviation, Pusat Studi Air Power Indonesia, Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim

Oleh: Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim, Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara dan Pendiri CSE Aviation, Pusat Studi Air Power Indonesia

Opini, INDONEWS.ID - Walau besar dan sangat luas pengaruhnya, namun kadang sektor industri penerbangan dalam hal ini terutama peran dari maskapai penerbangan atau Airline sering kali diremehkan orang.

Mckinsey & Company, konsultan manajemen kondang yang bermarkas di New York sejak tahun 1926, menyebut bahwa maskapai penerbangan mewakili 3,4% dari PDB global.

Maskapai penerbangan memberikan kontribusi secara langsung, melalui penjualan tiket pesawat terbang, dan kontribusi secara tidak langsung, melalui pertumbuhan industri pariwisata. Tahun lalu, sebelum pandemic covid 19 merebak, tercatat 4,5 miliar penumpang melakukan penerbangan.

Sementara itu, menurut catatan The Economist, International weekly Newspaper terbitan Inggris, terdapat tidak kurang dari 100.000 penerbangan komersial berlangsung dalam satu hari.

Penerbangan telah berkembang demikian cepat dan telah mampu menjelajah pesat dengan jangkauan jarak yang lebih jauh dan dengan kecepatan yang semakin tinggi. Bahkan penerbangan telah didorong oleh tuntutan pasar yang terus meningkat bergulir dari waktu ke waktu.

"Aviation has enabled globalisation, described by author Oliver Picton as a ‘world-shrinking process’ with endless implications on tourism and shadow economies, allowing cultures to mix and businesses strategies set up to thrive purely on the certainty that foreigners will visit. As long as these conditions are held, profits are made." tulis laporan itu.

Penerbangan telah memungkinkan terjadinya globalisasi, yang dijelaskan oleh seorang penulis bernama Oliver Picton sebagai “proses menyusutnya ukuran dunia” dengan implikasi yang tak berujung pada bidang pariwisata dan berpengaruh langsung dari berputarnya roda ekonomi.

Penerbangan telah memungkinkan unsur budaya untuk bercampur baur dan strategi bisnis terbentuk dan berkembang semata berdasar keyakinan bahwa orang akan melakukan perjalanan udara lintas negara. Selama kondisi ini dapat dipertahankan, maka otomatis faktor keuntungan akan diperoleh dan perkembangan putaran roda ekonomi dari bisnis penerbangan akan mengalir mengikutinya.

Hantaman Corona

Ketika Pandemi COVID-19 muncul di permukaan, maka serta merta terjadi penurunan drastis permintaan konsumen yang tidak pernah terjadi dan bahkan tidak pernah pula diramalkan orang sebelumnya sepanjang sejarah.

"Airlines around the world are facing the most severe crisis in aviation history. Some airlines have already collapsed, and some are on their way to bankruptcy"

Hal ini serta merta langsung berdampak pada profitabilitas industri penerbangan secara keseluruhan. Tidak mustahil itu akan segera mengubah wajah dari tampilan dan wujud perjalanan menggunakan pesawat terbang di permukaan bumi ini untuk masa yang akan datang.

EuroNews melaporkan: A new report from PricewaterhouseCoopers claims 60 per cent of the world`s airline fleets are still grounded - that’s almost 18,000 commercial airliners currently inactive, sitting on the tarmac or in hangars all over the world. This year might see global passenger numbers slump to levels not seen since the 1970s - who was flying on a regular basis back then ? And this year will almost certainly see some airlines disappear altogether.

Terdengar agak sedikit pesimistis, akan tetapi sebenarnya itulah realita yang tengah dihadapi dunia penerbangan sekarang ini. Dampak dari virus corona Covid 19 ternyata sangat dahsyat terhadap Industri penerbangan terutama bisnis Maskapai Penerbangan diseluruh dunia.

Willie Walsh pimpinan IAG (International Airlines Group) mengatakan bahwa Maskapai Penerbangan di Eropa telah turun kapasitasnya sebesar 75% belakangan ini dan tidak ada jaminan bahwa Maskapai Penerbangan Eropa akan sanggup bertahan dalam beberapa bulan kedepan.

Kajian dari CAPA (Centre for Asia-Pacific Aviation) lembaga konsultasi dan analisis penerbangan yang berbasis di Sydney Australia menjelaskan bahwa tanpa bantuan yang diberikan oleh pemerintah, maka lebih separuh dari 800 Maskapai Penerbangan diseluruh dunia akan mengalami kebangkrutan. Kondisinya memang lebih hebat dari dampak serangan teroris pada tragedi 911 di tahun 2001.

"The COVID-19 global pandemic has hit the entire aviation ecosystem hard. All players in this sector—airlines, airports, air navigation organizations, partners, security agencies, support services, commercial and retail services, regulators, and travellers—are feeling the pain. By early April 2020, international flights had fallen by nearly 80 percent and domestic flights had sunk 70 percent worldwide." ungkap laporan itu.

Keseluruhan dari ekosistem penerbangan tanpa kecuali telah terkena dampak maha dahsyat dari global pandemic covid 19. Awal April 2020 penerbangan internasional anjlok hampir 80% dan domestic flight turun drastis hingga 70% di seluruh dunia.

Subsidi Pemerintah

Richard Branson founder dari Virgin Group yang antara lain mengelola Virgin Australia mengatakan dengan gamblang bahwa Virgin Atlantic membutuhkan bantuan pemerintah untuk kelangsungan hidup Maskapai Penerbangannya. Tanpa bantuan pemerintah maka akan mustahil Virgin Atlantic akan dapat tetap bertahan hidup.

Sementara itu Sekjen INACA (Indonesia Air Carriers Association) mengumumkan bahwa sebagai akibat dampak penyebaran virus corona covid 19 sudah tercatat 2 maskapai penerbangan yang menutup operasinya di Indonesia pada awal April 2020.

Di Amerika Serikat, pengamat Industri Penerbangan Mike Boyd mengatakan bahwa walau telah dikucurkan stimulus berupa suntikan tunai dari pemerintah AS sebesar 50 miliar US dollar, jumlah tersebut tidak akan cukup untuk dapat menyelamatkan industri penerbangan yang mengalami kerugian besar sebagai akibat virus Covid 19.

Gambaran dari kesemua itu seolah membuktikan dengan terang benderang bahwa bisnis Maskapai Penerbangan ternyata sangat rentan dan bergantung kepada Peran Besar Pemerintah. Kondisi yang dihadapi saat ini seolah membuka mata kita semua bahwa jaringan perhubungan udara sebuah negara memang seharusnya berada langsung dibawah pengelolaan pemerintah.

Keikutsertaan pihak swasta memang sangat diperlukan, namun harus berada dalam ruang sebatas memenuhi kelengkapan semata. Kebutuhan kapital yang besar dengan nilai keuntungan yang sangat tipis dan rawan bangkrut seperti sekarang ini tidak bisa dihindari memposisikan Maskapai Penerbangan Swasta pada tempat yang disebut sebagai “complementary player” dan tidak sebagai the leading actor atau pemeran utama. Situasi dan kondisi yang tengah kita hadapi sekarang dengan dampak covid 19, telah memyadarkan kita semua tentang hal ini dengan sangat loud and clear.

Sebuah kesimpulan yang bersandar pada bukti nyata di lapangan sekarang ini ditengah hiruk pikuk nya pandemic Covid 19. Pembuktian tentang betapa rawan dan ringkih nya sebuah sosok Airline sebagai domain bisnis berhadapan dengan pandemic covid 19.

Pasca Dihantam Corona

Seperti apa sebenarnya wajah dari industri penerbangan pasca-COVID-19? Mckinsey & Company menjelaskan bahwa: the airline industry is among the most affected by the COVID-19 crisis, and global air-passenger volume in August 2020 was still down around 64 percent compared with the same period in 2019. Yet the impact of the crisis has differed by type of travel. Domestic travel, for example, was down 51 percent year over year in August, while international travel was down 81 percent

Telah banyak ramalan bermunculan yang menyebutkan bahwa di tengah pandemic covid 19 yang sedang merambah keseluruh permukaan bumi telah meletakkan dunia pada posisi sulit dengan kedudukan yang dapat disebut sebagai “circle of uncertainty”. Dunia tengah berada dalam lingkaran yang tidak menentu yang apabila pun masa sulit ini dapat dilewati maka wajah dunia akan berubah untuk selamanya.

Demikian pula lah yang akan terjadi dalam dunia penerbangan. Demikian pulalah dengan apa yang akan dialami oleh industri penerbangan. Demikian pulalah dengan nasib yang akan menimpa Maskapai Penerbangan.

Sekedar sebagai contoh sederhana saja, selain menurun drastis nya minat orang bepergian menggunakan pesawat terbang di tengah pandemi, dengan keterbatasan sebagai akibat protokol kesehatan covid 19 yang membatasi penumpang hanya 70 % dari kapasitas, maka sebagai bisnis moda transportasi udara menjadi sangat sulit untuk memperoleh keuntungan.

Dengan biaya penerbangan per jam dari jenis pesawat terbang B-737 yang kira kira berada dalam rata rata kisaran 4000 USD, dengan pembatasan 70% kapasitas penumpang dapat dikatakan hampir tidak mungkin Maskapai Penerbangan akan memperoleh keuntungan. Mengingat sebuah Maskapai Penerbangan harus menanggung gaji kru, biaya bandara, biaya sewa pesawat, biaya perawatan pesawat terbang, bahan bakar, insurance dan lain sebagainya.

Era Maskapai Penerbangan sebagai sebuah domain bisnis yang menarik mungkin akan segera berakhir. CAPA, Center for Aviation menyebut bahwa dengan Covid 19 telah membuat Airline profit outlook worst ever. Sementara itu IATA, International Air Transport Association mengatakan bahwa Aviaton needs incentives balanced with control measure. Beberapa analis bahkan mengatakan bahwa Aviation World will experience setback more than 30 years.

Beberapa gambaran dari refleksi pernyataan pernyataan tersebut adalah antara lain, jika pada awal tahun 2020 terdapat sebanyak 31.000 Active Aircraft maka pada bulan Mei tahun yang sama telah menurun drastis menjadi hanya 13.955 Active Aircraft. Sebuah penurunan yang mencapai lebih dari angka 50%.

Sampai dengan bulan Oktober 2020 tercatat 43 Airline yang sudah bangkrut, antara lain Thai Airways, Avianca, Air Mauritius, Virgin Australia, Flybe, City Jet, Atlas Global dan Air Italy. Di Eropa sendiri sudah 193 dari 740 Airport yang beroperasi telah bangkrut dan Closed Down. Belum lagi sudah puluhan ribu tenaga kerja yang telah dan tengah berada dalam proses pemutusan hubungan kerja yang terjadi di saentero jagad dialami mereka yang bergiat terkait dibidang penerbangan.

Sekali lagi, maka untuk sementara dapat disimpulkan bahwa Airline sebagai bisnis akan segera menuju kehancuran kecuali berhasil memperoleh subsidi. Subsidi satu-satunya yang masuk akal adalah yang berasal dari pemerintah karena tidak mungkin ada investor yang akan terjun dalam bisnis yang sudah pasti akan mengalami kerugian.

Beberapa penyebab utama adalah Protokol Kesehatan, Travel restriction due to Lockdown mechanism, slump demand among travelers, Economy Slow down, New Habit, New Life Style – New Way of International Conference – Work Shop – Seminar and Meeting.

Di Indonesia sendiri penurunan Air Traffic yang terjadi di Soekarno Hatta International Airport, sebelum pandemic covid 19 tercatat 1000 sampai dengan 1100 penerbangan per hari. Belakangan ini, hanya terdapat 400 hingga 500 penerbangan.

Air Traffic secara nasional tercatat 5000 hingga 6000 penerbangan setiap harinya, dan sekarang ini hanya 1.500 hingga 2000 penerbangan.
Sementara itu air traffic yang melintas Indonesia atau Over Flying sebelum Pandemi Covid 19 terdapat 300 sampai dengan 400 penerbangan perhari dan sekarang hanya 50 hingga 75 penerbangan.

Demikianlah penurunan yang sangat tajam pada Air Traffic secara nasional sangat berdampak kepada eksistensi Maskapai Penerbangan. Sekali lagi, Maskapai Penerbangan sebagai bisnis sekarang ini ditengah pademi covid 19 sama sekali tidak menjanjikan keuntungan. Belum lagi melihat kepada beban masing-masing Maskapai Penerbangan yang sebelum covid 19 melanda pun sudah menghadapi masalah-masalah keuangan yang amat rumit.

Di akhir tahun 2019, Maskapai Penerbangan di Indonesia tengah menemukan bentuknya yang baru yaitu terjadi penciutan yang signifikan dari jumlah Maskapai Penerbangan yang beroperasi sebagai hasil dari perjalanan era “perang adu murah harga tiket” selama 10 – 15 tahun terakhir. Medan perang adu murah harga tiket yang telah melahirkan “regulasi aneh” yaitu penentuan batas atas dan batas bawah harga tiket pesawat terbang.

Ketika jumlah Maskapai penerbangan berguguran sebagai korban perang harga dan hanya tertinggal beberapa saja, maka penentuan harga tiket murah tidak bisa di pertahankan lagi. Maka kembalilah harga tiket kepada format yang normal dan kemudian memunculkan kehebohan baru yaitu dianggap sebagai melonjaknya harga tiket yang ugal-ugalan.

Tidak banyak yang menyadari bahwa sebenarnya harga tiket murah yang pernah dinikmati belakangan ini adalah semata harga semu yang diberlakukan dalam upaya persaingan yang tidak sehat dan menghasilkan selain banyaknya terjadi kecelakaan pesawat terbang juga menyebabkan bangkrutnya banyak maskapai penerbangan di Indonesia.

Demikianlah dengan apa yang terjadi , pada saat Maskapai Penerbangan yang hanya tinggal beberapa gelintir ingin kembali pada kurva normal dari kalkulasi harga tiket pesawat terbang. Hal itu tidak hanya menuai protes keras dari banyak pihak, akan tetapi justru kemudian di hadang pula oleh wabah pandemic covid 19 yang datang menjelang.

Akhir-akhir ini , menjadi pertanyaan besar, karena di tengah dunia yang sedang dirundung pandemic covid 19 ternyata Maskapai Penerbangan di Indonesia justru mampu menjual tiket dengan harga murah lagi ditengah pemberlakuan protokol kesehatan dengan pembatasan penumpang yang hanya diperbolehkan 70% dari kapasitas.

Waktu yang akan dapat menjawabnya nanti gejala apa gerangan ini semua. Kelihatannya di tengah kesulitan yang luar biasa pihak manajemen Maskapai Penerbangan telah mengambil keputusan untuk sementara waktu, setidaknya dapat memperoleh aliran dana cash untuk modal survival dengan cara menjual tiket dengan harga murah. Dapat dipastikan hal ini tidak akan dapat berlangsung lama.

Di sisi lainnya, maka tampak bahwa bisnis transportasi udara belakangan ini terlihat lebih kepada tuntutan kebutuhan domestik, sementara isu lockdown dari tiap-tiap negara yang sangat bervariasi sudah sangat menghambat kelancaran penerbangan internasional. Terlihat juga bahwa jenis penerbangan kargo lebih dapat survive dibanding dengan penerbangan penumpang. Demikian pula penerbangan charter dan pelayanan Private Jet ada kecenderungan agak meningkat walau tidak terlihat tanda-tanda akan steady sebagai pasar yang terbatas.


Kapan dan sampai berapa lama kira-kira dampak covid 19 terhadap penerbangan akan dapat pulih kembali. Untuk menjawab pertanyaan ini ada sebuah tulisan menarik yang mengatakan bahwa : It is still very difficult to predict exactly how the recovery of the aviation industry will evolve as uncertainty around the continuing impact of COVID-19 remains. It is, however, clear that any recovery is going to be slow as, regardless of government measures to avoid the bankruptcy of airlines, everything will depend on the development of the virus, differing country responses to cross border travel, and – mostly - on the passengers, as they are the ones that have to recover their trust and resume their air travels.

Masih sangat sulit untuk memprediksi dengan tepat bagaimana pemulihan dunia penerbangan akan terjadi, karena ketidakpastian seputar dampak lanjutan COVID-19 masih tetap berlangsung. Namun, jelas bahwa pemulihan apa pun akan berlangsung lambat karena, terlepas dari tindakan pemerintah untuk menghindari kebangkrutan maskapai penerbangan, semuanya akan bergantung pada perkembangan virus dan hasil penelitian vaksin covid 19.

Demikian pula respon dan tanggapan negara yang berbeda terhadap perjalanan lintas batas, telah menyulitkan penyelenggaraan International Flight. Lebih penting lagi - sebagian besar – akan ditentukan oleh para penumpang sebagai konsumen, karena merekalah yang harus memulihkan kepercayaan diri masing masing untuk mau melakukan perjalanan dengan menggunakan transportasi udara kembali.

Pertanyaan berikutnya bagaimana dan kapan situasi dan kondisi ini dapat kembali normal. Situasi dan kondisi yang tengah dihadapi sekarang ini adalah sebuah kesulitan yang mirip dihadapi sesaat perang dunia kedua berakhir. Namun beberapa pokok masalah yang dihadapi sangat jauh berbeda. Perbedaan yang sangat menyolok adalah tentang peran hubungan internasional dalam pengembangan International Aviation sebagai Global Air Transportation System.

Pada era usainya perang dunia kedua seluruh negara memiliki visi yang sama untuk bersemangat kebersamaan menuju Global Peace dan Global Prosperity. Sebuah visi yang sangat menguntungkan dunia penerbangan global dalam arti yang luas. Semangat kebersamaan membangun dunia yang damai dan sejahtera pada dasarnya sangat menguntungkan bagi sebuah ide untuk membangun dan mengembangkan Global Air Transportation System.

Jejaring penerbangan internasional, hubungan udara antar bangsa menjadi sangat mudah untuk dimulai dan diselenggarakan pada platform visi internasional yang sama dan sebangun. Visi yang berakar kuat pada keinginan menuju dunia yang aman dan damai serta sejahtera setelah dilanda perang yang berkepanjangan. Itu sebabnya ICAO (International Civil Aviation Organization) dapat lahir 1 tahun lebih dulu dari UNO (United Nation Organization) atau Perserikatan Bangsa Bangsa.

Sementara itu, sekarang ini setiap negara tengah sibuk dengan permasalahan besar yang dihadapi masing masing dengan spesifikasi yang sangat berbeda satu dengan lainnya pada proses penanggulangan mengatasi pandemic covid 19. Tidak hanya itu karena pertimbangan pertimbangan tertentu maka pemberlakuan Lockdown di masing-masing negara sama sekali tidak dapat di kompromikan dalam panggung antar bangsa.

Sebuah mekanisme yang meyulitkan pada tataran manajemen hubungan udara internasional. Sebuah mekanisme yang menyulitkan pada pengelolaan manajemen penerbangan khususnya dalam jejaring penerbangan inter – nation atau International Flight Network.

EuroNews menyebut tentang kesulitan kesulitan yang tengah dihadapi ini dengan menggaris bawahi bahwa most airlines are not expecting passenger numbers to return to 2019 levels for many years to come – maybe not until 2025. And slow growth won’t be helped by fewer airlines having fewer planes. It is a troubling time for the industry as a whole and there will be more painful job losses to come. But, as in so much of this crisis, it will create winners as well as losers.

Kalangan Maskapai penerbangan telah jelas dan gamblang melihat realita dilapangan sebagai tidak memberikan harapan bahwa kondisi jumlah penumpang yang akan bepergian menggunakan pesawat terbang akan pulih kembali seperti yang terjadi pada tahun 2019. Susah meramalkannya sampai kapan kesulitan ini akan berlangsung yang mungkin saja dapat terjadi hingga tahun 2025. Pertumbuhan penumpang yang sangat lambat dipastikan tidak akan menguntungkan banyak Maskapai Penerbangan terutama Airline dengan ukuran skala yang relatif kecil.

Sebuah petaka besar bagi Industri Penerbangan dunia secara keseluruhan, dengan diiringi ratapan banyak orang yang telah, tengah dan akan kehilangan pekerjaan dalam seketika. Akan tetapi sebagaimana halnya dengan the law of nature hukum alam tentang hadirnya siang dan malam, serenity and stress , Strength and Weakness, Flexibility and Rigidity, Courage and Doubt maka demikian pulalah pada setiap krisis yang pasti akan menyajikan pula opportunity dan pada akhirnya menampilkan siapa yang akan muncul sebagai The Winners dan sekaligus Sang The Losers.

Demikianlah maka sebenarnya sampai dalam waktu dekat mendatang tidak akan ada Maskapai Penerbangan yang dapat survive berhadapan dengan kesulitan ini kecuali Maskapai yang beruntung memperoleh subsidi dari pemerintah atau dari Investor Siluman yang satu species dengan “Sinterklas”. Sekedar mengingatkan saja bahwa Sinterklas tidak pernah datang sendirian, dia selalu didampingi oleh Zwarte piet , maka dalam mengelola dana talangan , apabila tidak hati-hati maka bisa saja akan mengundang Sang Zwarte piet dalam ujudnya sebagai KPK datang menerkam.

Terakhir, bila ditanyakan lagi kapan kesemua ini akan dapat berakhir, maka jawaban serupa adalah is still very difficult to predict exactly, how the recovery of the aviation industry will evolve, as uncertainty around the continuing impact of COVID-19 remains. It is, however clear, that any recovery is going to be slow as, regardless of government measures to avoid the bankruptcy of airlines, everything will depend on the development of the virus, differing country responses to cross border travel, and – mostly - on the passengers, as they are the ones that have to recover their trust and resume their air travels.

Akan masih sangat sulit untuk memprediksi dengan tepat bagaimana pemulihan dunia penerbangan akan terjadi, karena ketidakpastian seputar dampak lanjutan COVID-19 masih tetap bergulir. Namun, jelas bahwa pemulihan apa pun akan berlangsung lambat karena, terlepas dari tindakan pemerintah untuk menghindari kebangkrutan maskapai penerbangan, semuanya akan bergantung pada perkembangan virus dan penelitian vaksin covid 19.

Demikian pula respon dan tanggapan negara yang berbeda terhadap perjalanan lintas batas dengan mekanisme lockdown, telah dan pasti akan menyulitkan penyelenggaraan International Flight. Lebih penting lagi - sebagian besar – akan ditentukan oleh para penumpang sebagai konsumen, karena merekalah yang harus memulihkan kepercayaan diri masing masing untuk mau menggunakan moda transportasi udara kembali.

Sebagai penutup, patut digaris bawahi bahwa dengan kondisi seperti sekarang ini dan beberapa waktu kedepan sangat tidak mungkin ada Maskapai Penerbangan yang dapat survive melalui high turbulence of covid 19. Apabila toh memang ada yang mampu tampil survive dapat dipastikan adalah Maskapai Penerbangan yang mendapat dana talangan dari pemerintah dan fasilitas keberpihakan dari otoritas penerbangan dalam berbagai kebijakan operasional yang diberlakukan.

Tidak akan pernah ada investor walau investor siluman sekalipun yang mau berinvestasi pada ruang bisnis yang hanya akan menjanjikan kerugian. Akan tetapi dalam bentuk dan format tertentu, maka mungkin saja ada juga Maskapai Penerbangan yang dapat eksis merambah sekian banyak tantangan dan sekaligus terus memperluas bidang bisnisnya ke berbagai arah walau pada kenyataannya tetap merugi. Sebuah fenomena yang seperti dikatakan orang Belanda bahwa Indonesia adalah de land van alle mogelijkheden. Negara dengan segala macam kemungkinan yang bisa saja terjadi.*

Jakarta 8 Desember 2020.
Chappy Hakim,
CSE Aviation.
Pusat Studi Air Power Indonesia

 

 

Artikel Terkait