Opini

Partai Politik dan Masa Depan Demokrasi

Oleh : Mancik - Selasa, 30/03/2021 12:06 WIB

Ketua Bidang Idiologi dan Politik DPN BMI, Lexy Armanjaya.(Foto:Istimewa)

Oleh: Lexy Armanjaya*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Nasib suatu negara terletak di tangan rakyatnya. Bila rakyat berkehendak, maka seorang pemimpin akan terpilih dalam pemilu. Begitu juga, bila rakyat suka populisme yang dirayakan para elit dalam balutan otoritarian, maka apapun dibenarkan.

Sehingga jika ada aliran politik lain yang berbeda dan tidak sepaham, akan dilihat sebagai “musuh”. Kritik pun dianggap salah dan melecehkan pemimpin berkuasa. Dalam iklim politik seperti itu, cepat atau lambat demokrasi akan bermasalah di sana.

Pun demikian dengan kisruh Partai Demokrat (PD). Kelompok yang pro dengan pemerintah dan tidak suka dengan Demokrat, melihatnya sebagai masalah internal dan tidak perlu mengaitkannya dengan pemerintah atau rakyat kebanyakan. Namun Partai Demokrat memandang kisruh itu berada dalam jangkauan kekuasaan (bdk. Mietzner, 2019; Aminudin, 2020) melalui Moeldoko.

Karena itu, persoalannya tidak saja diletakkan pada soal Demokrat asli versus abal-abal. Bukan pula soal pelanggaran prosedur dan konstitusi internal partai. Tetapi soal siapa sesungguhnya elit yang perlu mendapat daulat rakyat serta bagaimana proses mendapatkannya. Karena di situlah inti demokrasi.

Gerakan Perlahan

Demokrasi sudah diyakini oleh bangsa ini sejak kelahirannya. Walau demikian, demokrasi kita bukanlah sesuatu yang tumbuh sekali untuk selamanya. Tetapi perjalanan yang belum selesai (John Dunn: 1993). Butuh dukungan dari banyak elemen, termasuk partai politik, agar demokrasi di Indonesia dapat tumbuh lebih baik lagi.

Diakui bahwa demokrasi bukan sistem tata negara yang terbaik. Tetapi hampir semua negara mengambil demokrasi dewasa ini karena paling sedikit memiliki masalah dibanding sistem lainnya, kata Jusuf Kalla.

Sehingga sebagai warga negara yang telah percaya pada kebaikan sistem demokrasi, perlu memandang setiap serangan kecil terhadap demokrasi sebagai ancaman terhadap semua. Begitulah demokrasi pancasila yang perlu dimaknai dari sila ketiga, Persatuan Indonesia.

Dengan demikian, apa yang terjadi pada Partai Demokrat adalah sebuah wake up call untuk semua. Bukan hanya untuk kader demokrat. Bahwa sesuatu sedang terjadi. Ada penyakit yang sedang menyerang sebagian dari tubuh bangsa ini. Pilihannya adalah bergegas mencari obat untuk mengirim penyakit tersebut keluar gelanggang dan tidak membiarkannya bertunas.

Saya mau mengatakan bahwa serangan terhadap demokrasi sudah dimulai dengan perlahan di dalam arena permainan. Banyak rakyat tidak menyadari lalu tidak peduli. Karena populisme elit dijadikan senjata untuk membangun soliditas dan membungkam nalar massa. Rakyat menjadi tidak yakin dengan kemunculan hal-hal kecil yang dianggap belum mengganggu. Apalagi sekedar kemunculan seorang tokoh yang mengacaukan partai seperti Moeldoko.

Menurut mereka kongres luar biasa (KLB) bukan ancaman terhadap demokrasi. Karena hal seperti itu bisa terjadi di partai manapun. KLB partai bukan hal pertama di Indonesia. Di setiap rezim pemerintahan berkuasa, ada saja partai yang melakukannya. PDI (P), PKB, Golkar, PPP, Partai Berkarya pernah mengalaminya. Sekarang Partai Demokrat.

Karena itu kisruh Partai Demokrat dianggap urusan rumah tangga partai. Tidak perlu disangkut - pautkan dengan pihak lain rakyat kebanyakan, apalagi masa depan demokrasi. Buktinya, semua lembaga demokrasi di negara ini tetap berjalan normal. Lembaga trias politica tidak terancam. Partai politik tumbuh. Media bebas menulis. Rakyat boleh bicara apapun dan pergi kemana suka.

Namun orang lupa kalau benih demokrasi bertumbuh pelan. Demokrasi Yunani yang berpusat di Athena baru dimulai sejak abad ke-5 SM. Abad ke-6 hingga ke-15 mulai dikenal di Eropa. Sementara orang Amerika mengenalnya karena orang Inggris yang bermukim di Virginia pada abad ke-16. Demokrasi baru dapat mendominasi sistem pemerintahan di dunia pertengahan abad ke-20 (Adara Primadia: 2016). Perjalanan yang sangat panjang. Hampir 15 abad atau lebih.

Demikian pula sebetulnya dengan erosi demokrasi, berjalan perlahan. Erosi demokrasi tidak seperti gelombang tsunami Aceh pada tahun 2004 lalu. Langsung berantakan semuanya.

Erosi demokrasi itu berjalan sedikit demi sedikit. Kadang amat kecil. Tiap langkah kecil tampak tak penting - tak ada yang kelihatan benar-benar mengancam demokrasi. Walau semua orang tahu bahwa merebut partai politik sebagai instrumen penting demokrasi - dalam istilah Robert A. Dahl - adalah langkah besar yang membawa demokrasi ke pinggir jurang.

Jangan lengah. Larry Diamond mengingatkan bahwa serangan hoaks, ujaran kebencian, penggunaan politik identitas adalah trend global. Semua ini disebutnya sebagai bentuk resesi demokrasi.

Di Indonesia ada banyak faktum lain yang menunjukkan resesi demokrasi itu. Seperti tambahan pasal penodaan agama, pencemaran nama baik, pelanggaran HAM di Papua, memasukkan tentara ke fungsi-fungsi sipil, buzzeRp yang hanya menghajar lawan dan putar balik fakta, dan sebagainya.

Tentu saja orang banyak kaget. Hal-hal seperti ini menurut YLBHI (2019) sama persis dengan situasi awal orde baru. Kita harus melihat awal-awal orde baru dengan sekarang. Bukan melihat orde baru di ujung kekuasaan 32 tahun. Rezim Ini baru berjalan beberapa tahun.

Akibatnya, indeks demokrasi Indonesia mencatat skor terendah dalam 14 tahun terakhir. Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dari 167 negara yang diteliti dalam Indeks Demokrasi yang dirilis The Economist Intelligence Unit (EIU) dengan skor 6.3. Meski dalam segi peringkat Indonesia masih tetap sama dengan tahun sebelumnya, namun skor tersebut menurun dari yang sebelumnya 6.48. Indonesia pun dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi cacat. Sementara Norwegia menjadi negara dengan indeks demokrasi tertinggi di dunia.

Tanda-tanda ini harus dibaca sebagai peringatan. Membangun sikap permisif sama artinya dengan memberi ruang lapang agar erosi demokrasi itu meluas. Tetapi melawannya bisa menjadi antibiotik berkembangnya infeksi dalam demokrasi yang sudah dimulai oleh para demagog.

Menjaga Gerbang

Calon demagog ada di semua negara demokrasi. Dia bisa berbuat sesuatu untuk menarik perhatian publik. Menciptakan kontroversi merupakan ciri unik yang sesuai dengan zaman digital untuk menarik pemberitaan arus utama (Bdk. Steven Levitsky & Daniel Ziblatt: 2019).

Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moldoko pun telah melakukannya sebagai aktor utama. Seorang kader Partai Hanura dan tidak memililki kartu tanda anggota (KTA) Partai Demokrat tetapi bisa menjadi Ketua Umum. Sungguh membenarkan tesis Johny Allen, berada di pucak tetapi tidak pernah mendaki. Dia menolak aturan main demokrasi (baca: AD/ART) dan menyangkal legitimasi lawan (baca: AHY). Benar-benar tokoh ekstremis.

Hitler, Mussolini, dan Chavez menempuh jalan menuju kekuasaan yang mirip. Mereka semua adalah orang luar yang mahir merebut perhatian publik. Pada akhirnya mereka mampu meraih kekuasaan karena para politikus mapan yang berada di partai politik mengabaikan tanda-tanda peringatan dengan (a) menyerahkan kekuasaan kepada mereka (Hitler dan Mussolini) atau (b) membuka pintu untuk mereka (Chavez) berkuasa (Steven Levitsky & Daniel Ziblatt: 2019).

Namun kita berharap agar partai politik dan tokoh-tokoh politik mapan tidak meninggalkan gelanggang yang telah menjadi pilar penting untuk menjaga kualitas demokrasi. Dan mengirim para demagog ke pinggir lapangan politik dan kekuasaan.

Karena itu, menurut ilmuwan politik Nancy Bermeo (Steven Levitsky & Daniel Ziblat: 2019), bila ingin berhasil menjaga pintu demokrasi, partai-partai arus utama harus mengisolasi dan mengalahkan kekuatan - kekuatan ekstremis dengan "menjaga jarak" (distancing) melalui beberapa cara.

Pertama, partai-partai bisa mencegah tokoh otoriter masuk daftar calon (pemimpin) partai. Artinya partai-partai harus menolak godaan mencalonkan ekstremis, sekali pun mereka bisa saja menambah suara (dalam pemilu).

Kedua, partai bisa membasmi ekstremis di tingkat akar rumputnya.

Ketiga, partai-partai prodemokrasi bisa menghindari segala persekutuan dengan partai dan calon anti demokrasi. Keempat, partai-partai prodemokrasi bisa bertindak sistematis untuk mengisolasi ekstremis, tidak memberi legitimasi yang membantu menormalkan nafsunya dan penghormatan publik kepada tokoh otoriter harus dianggap sebagai berhala.

Kelima, sewaktu ekstremis bangkit sebagai kandidat serius di pemilu, partai-partai arus utama mesti membentuk koalisi untuk mengalahkan mereka. Mengutip Linz, partai-partai mesti bersedia "bergabung dengan lawan-lawan yang beda idiologi namun berkomitmen terhadap kelangsungan tatanan politik demokrasi".

Negara harus diselamatkan sebelum kepentingan partai untuk mencegah ekstremis meraih kekuasaan. Demokrasi pun harus dihormati atas nama rakyat sebagai penentu nasib bangsa. *

Penulis adalah Ketua Bidang Idiologi dan Politik DPN BMI dan menetap di Jakarta.*)

 

Artikel Terkait