Nasional

Presidential Threshold 20 Persen, Pemilu 2024 Tidak Suguhkan Capres yang Memadai

Oleh : very - Senin, 18/10/2021 16:54 WIB

Diskusi PT 20 persen yang diselenggarakan secara virtual pada Jumat (15/10). (Foto: Hanter.com)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Ketentuan ambang batas pencalonan presiden (Presidential Threshold) seperti diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang (UU) Pemilu akan menyebabkan partai politik terlampau kuat dalam menentukan tokoh yang dapat mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden.

Karena itu, ketentuan ambang batas tersebut akan membuat tokoh-tokoh di luar elite partai politik terhambat untuk maju sebagai calon presiden.

“Kalau bicara peluang pencalonan, determinasi partai politik sangat kuat,” ujar Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini dalam diskusi yang digelar secara virtual di Jakarta, Jumat (15/10).

Titi menyebutkan bahwa presidential treshold berlaku sejak 2009 dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2008. Kemudian, aturan ini dilanggengkan dengan Undang-Undang No.8 Tahun 2012, dan terakhir Undang-Undang No.7 Tahun 2017.

Pada pemilu mendatang, aturan tersebut juga masih berlaku. Karena itu, hal semacam ini, katanya, menyebabkan para pemilih tidak akan disuguhkan pilihan bakal presiden yang memadai, dan kapabel, karena tokoh-tokoh yang maju pada pemilihan 2024 akan didominasi oleh elite-elite partai atau mereka yang dekat dengan parpol.

“Mau tidak mau, bicara soal peluang perempuan, capres-capres alternatif yang mewakili daerah akhirnya kembali ke hulu, punya tidak 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah,” ujar Titi Anggraini seperti dikutip dari Antara.

Karena itu, Titi Anggraini berharap agar para elite partai politik dapat menunjukkan sikap kenegarawanan dan itikad baik untuk mewujudkan demokrasi yang sehat. Salah satunya dengan membuka peluang tokoh-tokoh di luar lingkar kekuasaan untuk mencalonkan diri sebagai presiden.

“Di sini kenegarawanan dan itikad baik dari para elite partai (untuk) memberi alternatif-alternatif beragam pada pemilih jadi penting,” ujar Titi.

Sebab, katanya, ketentuan ambang batas 20 persen itu tidak hanya membatasi peluang tokoh-tokoh maju jadi capres, tetapi ikut menyebabkan kuatnya polarisasi atau perpecahan di masyarakat.

Titi khawatir jika ketentuan ambang batas terus berlaku, maka pemilihan umum 2024 akan menyebabkan polarisasi kian menguat antarkelompok masyarakat.

“Polarisasi disintegratif yang tidak berorientasi pada gagasan dan program. (Polarisasi itu) justru berorientasi pada pendekatan yang memecah belah. Itu kecenderungannya,” kata Titi.

“Kalau tidak belajar dari (pemilu) 2019, sangat mahal ongkos yang dibayar,” tambahnya.

Sementara itu, pengamat politik Rocky Gerung mengatakan publik kesulitan memiliki pilihan di luar elite partai politik selama ketentuan ambang batas capres 20 persen masih berlaku.

Ia menerangkan jika aturan itu direvisi atau dihapus, maka publik akan punya kesempatan untuk melihat adanya calon-calon alternatif di luar elite partai politik.

“Seandainya soal-soal itu bisa diatasi, maka dimungkinkan bicara tentang politik alternatif, calon presiden alternatif, gender equality (kesetaraan gender, Red.) dalam kepresidenan,” ujar Rocky. ***

Artikel Terkait