Opini

Memaknai Meaningful Participation dalam Pembentukan Perundang-undangan

Oleh : indonews - Sabtu, 26/02/2022 16:51 WIB

Syarief Basir, CA, CPA, SH, MH, MBA. adalah Advokat, Akuntan Publik & Konsultan Pajak. (Foto: Ist)

Oleh: Syarief Basir, CA, CPA, SH, MH, MBA*)

INDONEWS.ID --- Pada 25 November 2021, UU Cipta Kerja dinyatakan cacat formil dan inkonstitusional bersyarat oleh MK. Hakim MK menilai, pembentukan UU Cipta Kerja tidak memegang azas keterbukaan pada publik. Jika dalam waktu 2 tahun tidak dilakukan perbaikan, maka UU tersebut dinyatakan inkonstitutional permanen.

Menindaklanjuti  putusan MK tersebut, langkah pertama yang kini dilakukan DPR adalah mempersiapkan revisi Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Salah satu pasal yang direvisi adalah menambahkan ketentuan partisipasi masyarakat yang lebih bermakna dalam pembentukan peraturan perundang-undangan atau meaningful participation.

Partisipasi bermakna (meaningful participation) dalam rumusan revisi UU PPP meliputi pemenuhan hak masyarakat dalam pembentukan UU, berupa hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). 

Tentu saja rencana revisi yang memasukan partisipasi bermakna ini patut disambut baik. Partisipasi publik harus mendapat tempat yang tinggi dalam pembentukan UU. Lebih-lebih di negara kita yang menganut konsep negara demokrasi, dimana berlaku kredo Vox Populi, Vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan.

Dalam konsep negara demokrasi, rakyat atau publik harus didengar dan dipatuhi. Mengabaikan suara rakyat ketika membentuk UU bisa melahirkan rumusan pasal yang  berbeda antara yang seharusnya (das sollen) dengan kenyataannya (das sein). Tentu jika  ini terjadi akan membuat suasana chaos di dalam masyarakat.

Apa yang selama ini terjadi pada proses pembentukan perundang-undangan kita sehingga perlu dimasukan klausul partisipasi bermakna?

Kalau kita perhatikan Pasal 96 UU PPP mengenai proses pembentukan perundangan, di dalamnya sudah diatur hak masyarakat untuk memberi masukan lisan/tertulis.  Di dalam pasal tersebut juga ada ketentuan bahwa setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat, sehingga masyarakat dapat dengan mudah memberikan masukan.

Apabila perundanganan yang sekarang sudah mengatur demikian, apakah selama ini hak  masyarakat memberikan masukan dalam menyusun perundangan sudah dipenuhi?

Saya kira ini yang menjadi pokok masalahnya. Wujud mengakomodasi masukan dari masyarakat itu masih dirasakan tidak cukup transparan, sehingga publik tidak dapat berpartisipasi maksimal dalam pembentukan UU. Putusan MK pada pengujian materi UU Cipta Kerja di atas jelas menkonfirmasi hal tersebut.

Masuknya persyaratan partisipasi bermakna memberikan makna penting dalam pembentukan perundangan yang aspiratif dan partisipatif. Hal ini karena akan mendorong proses pembentukan yang transparan, sekaligus juga akan berdampat positif pada substansi pengaturan dalam UU.

Namun demikian, walaupun partisipasi bermakna memiliki makna penting dan bernilai positif, sesungguhnya penerapannya memiliki tantangan tersendiri. Ada prasyarat yang harus dipenuhi, baik oleh masyarakat maupun oleh DPR (pembentuk UU). 

Masyarakat harus memiliki kesadaran politik yang tinggi, dan memiliki pengetahuan serta pemahaman yang mumpuni atas substansi UU. Jika masyarakat tidak memiliki kesadaran politik, partisipasi mereka cenderung sekedarnya atau bahkan kurang peduli. Demikian pula jika mereka tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik pada substansi UU, maka kualitas aspirasi yang disampaikan juga kurang,  serta rentan dimanfaatkan oleh pihak lain yang tidak bertanggungjawab.

Di sisi lain, anggota DPR selaku pembuat UU harus lebih berkualitas, jujur, berpihak pada masyarakat luas, dan visioner tentang cita-cita Indonesia masa depan. Tanpa prasyarat itu, pengambilan keputusan saat pembentukan UU sangat rentan dimanipulasi, sehingga berpotensi tidak menghasilkan perundangan yang  memenuhi rasa keadilan, berkepastian hukum dan bermanfaat untuk masyarakat.

Jika norma partisipasi masyarakat yang lebih bermakna itu nanti masuk dalam revisi UU PPP, bagaimana hal tersebut  diejawantahkan dalam proses pembentukan UU?

Kita memahami bahwa di dalam masyarakat selalu ada berbagai kepentingan, baik itu kepentingan individu (individual interest), yang menyangkut perorangan atau kelompok, ataupun kepentingan sosial (social interest) yang menyangkut  masyarakat umum, rakyat Indonesia. 

Pembuat UU harus memastikan bahwa hak masyarakat untuk didengarkan itu terpenuhi. Tidak hanya mereka yang pro terhadap rancangan UU yang didengar, tetapi juga mereka yang kontra. Adanya perbedaan pendapat dari masyarakat yang menyampaikan aspirasi harus dipandang sebagai bahan  untuk memperkaya argumentasi agar suatu konstitusi mencapai harapan masyarakat banyak.

Mendengarkan suara masyarakat dilakukan di berbagai media, formal maupun informal. Terjun langsung ke tengah kehidupan masyarakat tentu akan memudahkan untuk mendengar suara rakyat yang sesungguhnya. Berdialog dengan tokoh masyarakat, pemangku adat, cerdik-cendikiawan, bahkan hingga lapisan masyarakat bawah di pelosok.

Aspirasi masyarakat yang sampai ke pembuat UU tentu tidak hanya cukup didengarkan, namun kemudian diabaikan. Aspirasi yang mewakili kepentingan individual, maupun kepentingan sosial itu harus dipertimbangkan dengan baik dan seksama dalam perumusan pasal-pasal. Namun karena UU adalah guardian of social interest, maka aspirasi yang mewakili kepentingan sosial lah yang harus diutamakan

Seringkali perbedaan kepentingan yang disampaikan dalam bentuk aspirasi masyarakat itu bertentangan satu sama sama lain. Masing-masing memiliki argumentasi sendiri-sendiri yang juga sama kuatnya, yang jika dihadapkan mungkin terjadi perdebatan sengit dan menguras  energi. Tidak mudah bagi pembentuk UU memilih mana aspirasi yang dapat diakomodasi dalam UU dan tidak.

Dalam keadaan demikian, pembuat UU harus mampu mencari jalan tengah dari banyaknya aspirasi masyarakat. Menemukan jalan tengah berarti menemukan solusi  di tengah-tengah perbedaan pendapat dan kepentingan, sehingga dapat memuaskan para pihak demi melindungi kepentingan masyarakat banyak.

Fase mempertimbangkan aspirasi masyarakat ini, menurut hemat saya adalah tahap yang paling kritikal. Membahas  suatu pasal yang menjadi perdebatan banyak kepentingan kerap memakan waktu yang panjang dan berlarut. Membahas RUU TPKS saja misalnya, yang tujuannya untuk melindungi kaum perempuan dari tindakan kekerasan seksual,  berlangsung bertahun-tahun, hingga kini  belum selesai. Apalagi kalau membahas pasal UU yang lebih sensitif lagi di dalam masyarakat?

Baik masyarakat yang aspirasinya diakomodasi dalam UU maupun yang tidak, mereka berhak mengetahui bagaimana pembentuk UU menanggapi pendapat mereka. Terutama masyarakat yang aspirasinya ditolak, tentu perlu memperoleh kejelasan, apa yang menjadi pertimbangan aspirasinya tidak diterima.

Pembentuk UU harus bersedia menjelaskan kepada masyarakat yang ingin mengetahui alasan diterima atau tidaknya aspirasi mereka. Bahkan harus berani membuka ruang dialog kembali untuk berdiskusi dengan masyarakat. Dengan demikian, akan menjadi transparan alasan rasional pengambilan keputusan oleh pembentuk UU.

Ini adalah proses umpan balik yang dapat dimanfaatkan oleh semua pihak, agar UU menjadi lebih berkualitas dan memenuhi harapan. Tentu saja dengan terbentuknya UU yang berkualitas, maka rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan UU akan lebih dirasakan oleh masyarakat***

*) Syarief Basir, CA, CPA, SH, MH, MBA. adalah Advokat, Akuntan Publik & Konsultan Pajak.

         

Artikel Terkait