Nasional

Menyimak Manfaat dan Tantangan Penerapan Ekonomi Sirkular di Sektor AMDK di Indonesia

Oleh : Rikard Djegadut - Jum'at, 28/10/2022 10:01 WIB

Ilustrasi (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Masalah sampah plastik merupakan tema yang masih menghantui Indonesia, negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, karena jika tidak ditangani, maka dampak negatif yang ditimbulkan berpotensi mengganggu kesehatan populasi, selain juga lingkungan.

Merujuk dari sebuah laporan bertajuk “The Economic, Social, and Environmental Benefits of a Circular Economy in Indonesia” atau Manfaat Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan dari Ekonomi Sirkular di Indonesia yang dirilis tahun 2021, sebanyak 74 persen sampah plastik di Indonesia adalah sampah plastik kemasan dan 19 persen di antaranya botol plastik.

Menurut laporan yang dibuat oleh Kementerian PPN/Bappenas, bekerja sama dengan kedutaan Jerman di Jakarta dan UNDP, jumlah sampah plastik yang dihasilkan per hari di Indonesia mencapai 5,4 juta ton. Bila tidak ditangani secara sistematis, maka angka tersebut sangat berpotensi mengalami kenaikan 40 persen pada 2030.

Salah satu pegiat lingkungan,Fahrian Yovantra, Head of Programs Greeneration, mengatakan salah satu unsur dari sampah plastik yang sangat mencemari lingkungan, jika tidak ditangani dengan baik, adalah botol plastik karena sifatnya yang sulit terurai.

"Seperti pencemaran ke air dan tanah melalui mikroplastik atau pencemaran ke udara karena berpotensi menghasilkan gas-gas, seperti fosgen, hingga zat kimia dioksin," kata Fahrian.

Fahrian mengutip beberapa hasil riset yang menunjukkan bahwa di 2019, hanya 12 persen plastik yang berhasil didaur ulang, 9 persen terbuang ke alam, 62 persen ditangani secara tidak tepat, dan 19 persen dikirim untuk dibuang secara layak.

Meski secara umum konsumen di Indonesia sudah mulai menyadari bahaya limbah plastik, namun, menurutnya masih diperlukan keberlanjutan terkait peningkatan kesadaran publik.

Fahrian menambahkan, produsen perlu memperkuat komitmen dan aksi Extended Producer Responsibility (EPR), seperti mengganti pemakaian biji plastik dengan bahan yang dapat digunakan kembali atau lebih mudah didaur ulang. Di lain pihak, tantangan utama dalam daur ulang botol plastik adalah penanganan yang tepat.

GIZ Advisor, Rocky Pairunan, mengatakan sebagian besar sampah laut di Indonesia berasal dari darat dan menyebabkan berbagai permasalahan lingkungan pada ekosistem laut.

Terkait hal ini, Rocky menjelaskan Uni Eropa dan Republik Federal Jerman melalui Kementerian Federal Jerman untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (BMZ), menginisiasi proyek “Rethinking Plastic – Circular Economy Solutions to Marine Litter, di Indonesia”, yang dilaksanakan bersama oleh Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) dan Expertise France.

Proyek Rethinking Plastics dilaksanakan di beberapa negara dan di Indonesia proyek ini merupakan penguatan kerja sama antara EU dan Indonesia di bidang ekonomi sirkular, pengelolaan sampah plastik, dan pengurangan sampah laut untuk memberikan peluang bersama untuk berkolaborasi dalam menangani sejumlah isu yang menarik bagi kedua belah pihak. Proyek ini sudah dimulai sejak Mei 2019 dan berakhir sampai akhir Oktober 2022.

Selain proyek tersebut, ada banyak inisiasi lain, termasuk dari pemerintah dan pihak swasta yang mencoba memberi contoh terkait manfaat penerapan ekonomi sirkular dan memberi edukasi ke publik terkait pentingnya pengelolaan sampah plastik dengan konsep daur ulang.

Komisi IV DPR RI, Vita Ervina, pada sebuah acara Bimbingan Teknis Optimalisasi Pengelolaan Sampah Melalui Program Bank Sampah pada Kamis, 13 Oktober 2022, di Kota Magelang, Yogyakarta, menjelaskan Peraturan Menteri (Permen) LHK No 75 Tahun 2019 mengenai Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen mengamanatkan produsen melakukan pengumpulan sampah dari produk kemasan untuk didaur ulang.

Dalam acara yang diadakan oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI tersebut, Vita juga menyebut salah satu tugas pemerintah dan pihak swasta adalah bagaimana mengubah cara pandang konsumen terhadap plastik kemasan bekas pakai agar tidak dilihat sebagai sampah, namun sebagai komoditas yang dapat didaur ulang.

Kemasan bekas pakai misalnya plastik kemasan harus terus dipertahankan nilainya serta dimaksimalkan penggunaannya melalui proses daur ulang (re-cycling), penggunaan kembali (re-use) ataupun produksi ulang (re-manufacture).

Beberapa pemain besar industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) selama ini aktif mengkampanyekan terkait konsep 3R tersebut (re-cycling, re-manufacture, re-use) terutama untuk produk  recycled polyethylene terephthalate, or recycled PET.

Beberapa produsen besar, Danone-AQUA telah menyatakan berkomitmen membuat 100% kemasan plastiknya dapat digunakan ulang (menggunakan bahan rPET), didaur ulang atau dapat terurai pada tahun 2025.

Adapun beberapa produk AMDK yang populer di Indonesia adalah kemasan botol, kemasan gelas, dan kemasan galon, atau isi ulang.

Di kemasan galon, pelaku industri AMDK baru-baru ini dikejutkan oleh paparan Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Medan Martin Suhendri, yang menyampaikan pihaknya menemukan kandungan Bisphenol-A, atau BPA yang berlebihan pada air minum kemasan galon di enam daerah di Indonesia, Senin, 12 September 2022.

Sebagai informasi, kemasan galon menggunakan polikarbonat, bukan rPET dalam materi kemasannya.

BPA merupakan zat kimia pengeras plastik yang digunakan untuk memproduksi galon. Zat ini disebutkan berpotensi mengganggu sistem reproduksi dan sistem kardiovaskular hingga gangguan perkembangan otak. Paparan BPA yang berlebih juga berpotensi memicu kanker, hingga penyakit ginjal.

Keenam daerah diduga ada banyak botol galon dengan BPA berlebih di antaranya adalah di Medan, Bandung, Jakarta, Manado, Banda Aceh dan Aceh Tenggara. Martin Suhendri mengatakan BPOM menemukan bahwa hasil uji migrasi BPA pada beberapa kemasan produk air galon didapati melebihi 0,6 ppm, atau level yang dianggap aman.

Setelah penemuan tersebut, isu mengenai rencana BPOM memberikan label BPA-Free pada produk galon guna ulang menjadi ramai dibicarakan karena tidak sedikit masyarakat yang menjadi khawatir dengan adanya isu ini dan mempertanyakan kelayakan dari penggunaan galon guna ulang untuk konsumsi minum mereka

Bisnis air galon atau kemasan isi ulang (refill) selama ini dianggap sebagai bisnis yang ramah lingkungan dan berdampak pada ekonomi masyarakat, lingkungan, hingga sosial. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB-UI) baru saja mengumumkan terkait melakukan studi analisa dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial terhadap penggunaan galon.

LPEM FEB-UI, secara khusus menganalisa produk merk Danone-AQUA. Dalam sebuah acara pada 12 Oktober 2022 lalu, Bisuk Abraham Sisungkunon dari LPEM FEB-UI memaparkan hasil studi lembaganya dalam acara yang merupakan bagian dari Gerakan #BIJAKBERPLASTIK Danone-AQUA.

Menurut studi LPEM FEB-UI, pada aspek lingkungan, penggunaan galon ini dapat mengurangi tumpukan sampah botol PET di tempat pemrosesan akhir sebanyak 316 ton, berhasil mengurangi jumlah sampah kemasan plastik yang tidak ditangani secara berkelanjutan (dibakar, dikubur, dibuang sembarangan) sebesar 996 ton.

Dengan adanya pemanfaatan kemasan kembali, produsen juga dapat menekan jumlah pembuatan plastik baru sebagai kemasan sekali pakai, sebesar 4.152 ton.

Secara ekonomi, LPEM FEB-UI juga menyebutkan dampak galon guna ulang dapat menghasilkan tambahan PDB nasional sebesar Rp 460 miliar (0,00073%).

Selain pemain air galon refill, Industri AMDK di Indonesia kini mengenal konsep air minum galon kemasan sekali pakai. Sempat menuai kontroversi, air minum galon kemasan sekali pakai disebut menambah timbunan sampah plastik. Adalah produsen AMDK Le minerale (grup Mayora) yang menawarkan terobosan baru ini, dengan kampanye utama bahwa kemasan sekali pakai tersebut berkontribusi ke ekonomi sirkular karena dapat didaur ulang. Kemasan tersebut menggunakan bahan rPET.

Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (Adupi) Christien Halim memberikan komentarnya terkait isu yang sempat berhembus bahwa air galon kemasan sekali pakai menambah timbunan sampah. Menurutnya, kehadiran galon air kemasan sekali pakai justru menghemat pemakaian plastik. Kata Christine, satu galon yang mampu memuat 19 liter air dapat menggantikan botol air kemasan yang isinya 500 mililiter (ml).

“Pemakain botol yang banyak malah menambah jumlah sampah botol yang dipakai. Untuk perusahaan daur ulang plastik juga lebih mudah untuk di daur ulang. Ini justru ramah lingkungan," ucapnya dalam webinar Waste Management untuk Mendukung Circular Economy.

LSM Sahabat Daur Ulang Dhora Elvira, pada acara tersebut menjelaskan bahwa sampah plastik yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan mudah didaur ulang adalah plastik dari jenis PET. “Plastik berbahan dasar PET (biasanya banyak digunakan di kemasan botol plastik air mineral) hampir semua merek botol plastik air mineral. Kalau galon, kalau tidak salah Le Minerale galon sekali pakai yang menggunakan bahan PET dengan Kode Plastik Daur Ulang No.1,” urai Dhora.

Dia menambahkan sampah plastik akan lebih baik jika dapat didaur ulang dan dimanfaatkan kembali karena butuh waktu 450 - 1000 tahun untuk sampah dari botol plastik dapat terurai. “Barang-barang plastik dapat terurai di tanah 1.000 tahun lamanya, sedangkan kantong plastik 10 hingga 1000 tahun. Botol plastik dapat terurai di alam sekitar 450 tahun,” jelas Dhora.

Ketua Ikatan Pemulung Indonesia, Prispolly Lengkong, menjelaskan selama ini para pemulung memanfaatkan nilai ekonomis dari sampah yang mereka pungut dan Prispolly menyebut plastik jenis PET merupakan primadona untuk para pemulung karena nilai ekonominya yang tinggi.

"Galon sekali pakai karena nilai ekonomisnya tinggi sudah pasti diambil oleh pemulung dan tidak mungkin adanya penumpukan plastik limbah, bahkan ketika kita buang didepan rumah sekalipun pasti ada yang mengambilnya,” ujar Prispolly.

Hillary Ignatius Kenneth, Chief Executive Officer at Mahkota Giovey Abadi, mengatakan banyak yang kurang paham jika sampah botol plastik berjenis rPET merupakan sebuah komoditas berharga. Ia mengatakan perusahaan daur ulang sampah botol plastik sangat memerlukan pasokan sampah botol plastik dari pemulung.

Selain itu, sudah waktunya Indonesia mulai menggalakkan penggunaan produk rPET hingga 100% dan kampanye ini harus masif digalakkan hingga menyentuh konsumen paling bawah. Kenneth, melalui perusahaannya Mahkota Giovey Abadi memproduksi berbagai jenis botol plastik yang dapat didaur ulang, salah satunya botol rPET 1.000 miligram yang kini populer digunakan di berbagai gerai F&B ternama di Indonesia.

“Jika edukasi ke publik menyentuh sampai akar rumput (grassroot), maka tidak ada lagi botol plastik yang telah didaur ulang yang justru jadi sampah baru. Konsumen semakin paham bahwa sampah botol plastik memiliki nilai keekonomisan,” kata pengusaha daur ulang sampah botol plastik tersebut.

Tentang Rethinking Plastics

’Rethinking Plastics – Circular Economy Solutions to Marine Litter’  mendukung transisi menuju ekonomi sirkular untuk plastik guna mengurangi kebocoran sampah plastik ke laut dan juga sampah laut.

Gerakan ini didasarkan pada kerja sama antara Uni Eropa (UE) dan tujuh negara di Asia Timur dan Tenggara dan selaras dengan upaya dan inisiatif regional dan nasional untuk mengurangi sampah plastik laut.

Bersama dengan mitranya, proyek ini bekerja untuk meningkatkan pengelolaan sampah plastik, mendorong konsumsi dan produksi plastik yang berkelanjutan serta mengurangi sampah dari sumber-sumber berbasis laut dan memperkuat pengadaan publik hijau.

Dialog dan belajar dari pengalaman dan contoh kebijakan, praktik, dan pendekatan inovatif adalah kunci untuk ‘Rethinking Plastics`.

`Rethinking Plastics` memberikan saran, mempromosikan pertukaran dan berbagi praktik terbaik, mengimplementasikan kegiatan dan mendukung lebih dari 20 proyek percontohan di Cina, Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam untuk menguji dan menyebarluaskan pendekatan baru atau praktik terbaik kelas atas.

Pertukaran pengetahuan dibina, misalnya, melalui dialog kebijakan, lokakarya dan konferensi, webinar dan kegiatan peningkatan kesadaran tentang pengurangan plastik.

Proyek ini didanai bersama oleh Uni Eropa dan Republik Federal Jerman melalui Kementerian Federal Jerman untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (BMZ). Ini dilaksanakan bersama oleh Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) dan Expertise France.

 

Artikel Terkait