Opini

Memahami Polemik Renovasi JIS

Oleh : very - Selasa, 18/07/2023 20:16 WIB

Syarief Basir, SH, MH, MBA adalah pemerhati yang juga praktisi akuntan dan konsultan hukum. (Foto: Ist)

 

Oleh: Syarief Basir, SH, MH, MBA*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Seorang pengunjung warung kopi, yang tadinya nampak tenang membaca berita online dari gadgetnya, tiba-tiba bicara keras bernada emosi. “Ini nih bukti politisasi Jakarta Internasional Stadium (JIS). Untuk alasan piala dunia U-17 JIS diulik kekurangannya, tidak memenuhi syarat FIFA lah, perlu renovasilah. Jelas ini untuk menyudutkan Anies Baswedan, Capres yang sukses membangun JIS. Ini benar-benar politis”.

Mendengar ocehan si pengunjung itu, seorang pengunjung lainnya membalas dengan suara yang tidak kalah lantang: “ Apanya yang politis? Ini kan fakta, JIS tidak memenuhi syarat untuk jadi Venue U-17. Rumputnya tidak sesuai standar FIFA, akses jalannya kurang, pintu masuk kurang. Supaya bisa digunakan piala dunia, memudahkan akses penonton, area parkir dan lain-lain tersedia, JIS perlu direnovasi.  Anda saja yang baperan, malah  renovasi JIS ditarik ke soal politik. Curiga dan prasangka buruk  aja di benak anda ”

Untung saja pengunjung lain melerai keributan itu,  sehingga debat kusir renovasi JIS di warung kopi itu tidak berakhir dengan bentrok fisik.

Saya, yang saat itu juga sedang asyik menimati secangkir kopi, pada awalnya tidak terlalu peduli dengan topik yang diperdebatkan mereka berdua. Tapi lama-lama ikut terpancing untuk bertanya, “Apa iya renovasi JIS itu politis?”  Memang benar  kalau JIS yang berdiri megah di Jakarta Utara itu sering disebut sebagai legacy atau Mahakarya Anies Baswedan untuk Jakarta, karena pada periode Anies sebagai Gubernur DKI  lah JIS berhasil diwujudkan.  Anies sang pewujud JIS itu kini maju menjadi salah seorang Capres pada Pilpres 2024.

Tapi apakah ketika JIS akan direnovasi, otomatis jadi politisasi? Kalau ini politisasi, siapa yang melakukan dan siapa mengambil keuntungan? Apakah lawan-lawan politik Anies yang sengaja mempolitisir untuk memojokkan Anies, atau malah kubu Anies sendiri yang mempolitisir demi strategi Pilpres? Politik memang sulit ditebak!

Kalau dirunut ke belakang, asal mula munculnya isu renovasi JIS adalah ketika Indonesia ditetapkan FIFA menjadi tuan rumah piala dunia U-17, yang akan digelar mulai 10 November sampai 2 Desember 2023. Untuk itu  pemerintah dan juga PSSI perlu menyiapkan stadion yang memenuhi syarat FIFA. JIS menjadi salah satu yang akan diusulkan untuk menjadi venue pertandingan U-17, menggantikan stadion utama GBK yang  terlanjur sudah dikontrak untuk konser grup band Coldplay pada  15 November 2023.

Ketika inspeksi  JIS oleh Ketum PSSI/Menteri BUMN Erick Thohir (yang juga digadang menjadi Cawapres), Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, serta PJ Gubernur DKI Heru Budi dilakukan 4 Juli lalu,  Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan  bahwa rumput JIS tidak memenuhi syarat FIFA, selain itu beberapa fasilitas perlu ditambah/diperbaiki, sehingga JIS perlu renovasi.

Seketika JIS disebut perlu renovasi, maka sontak komentar dari banyak pihak menilai bahwa renovasi ini politis. “Tidak mungkin stadion bernilai Rp5 Trilyun yang ketika dibangun berkonsultasi dengan FIFA serta menggandeng konsultan international, Buro Happold, yang berpengalaman membangun stadion-stadion kelas dunia tidak memenuhi syarat FIFA,” ujar sebagian  masyarakat yang curiga politisasi JIS.

Para politisi tanah air pun bersuara. Elit Partai Demokrat menduga ada sutradara dibalik polemik renovasi JIS. Menurutnya ada skenario untuk menjatuhkan kredibilitas Anies Baswedan. Demikian juga dari PKS, mengatakan bahwa beberapa pemain luar negeri yang pernah bermain di JIS memuji bagusnya rumput di JIS. “Tindakan mengundang media meninjau JIS dan menyebutkan kelemahan-kelemahannya adalah tidak etis,” katanya. Salah seorang Juru Bicara Anies bahkan tegas menyatakan renovasi JIS ada unsur politisasi Capres Anies Baswedan.

Sementara elit PKB DKI Jakarta berpendapat, “Kalau pembangunannya standar FIFA, kenapa sekarang tidak standar FIFA, berarti ini ada manipulasi, itu yang perlu dicek,” katanya. Elit PDIP dan PSI bahkan ada yang sampai menyuarakan untuk dibentuk Pansus JIS.  Jadilah polemik di tengah isu renovasi JIS. Masyarakat pun terbelah, gaduh berdebat kusir soal politisasi renovasi JIS.

Diam-diam saya pun lalu berpikir, masa sih JIS tidak sesuai standar FIFA. Rasanya mustahil, jangan-jangan memang ini sedang mencari-cari kelemahan saja. Kalaupun ada bagian dari JIS yang tidak memenuhi syarat, memangnya seberapa besar penyimpangannya dari syarat yang diminta FIFA. Kalau penyimpangannya kecil-kecil aja kenapa harus diumumkan ke media sehingga  memantik gaduh? Apa gak bisa kalau soal tidak memenuhi syarat ini tidak dibesar-besarkan? Kalau perlu renovasi, ya renovasi saja  tanpa perlu diumumkan di depan media.

Tapi ach… tunggu dulu! apa mungkin di era disrupsi teknologi ini, ada info urusan publik yang bisa disembunyikan? Kalaupun ada kekurangan JIS yang tidak diungkapkan Erick atau Basuki saat memeriksa JIS, apakah  publik tidak akan tahu? Rasanya itu juga tidak mungkin. Di jaman ini hampir tidak ada yang bisa ditutup-tutupi, kekurangan sedikit apapun, apalagi kalau sudah menyangkut kepentingan umum pasti bocor ke media dan masyarakat.

Berdasar itu saya mencoba memahami,  bahwa kebutuhan revitalasi JIS itu sebenarnya fakta nyata.  Ini soal stadion yang harus disiapkan untuk perhelatan piala dunia U-17, supaya sesuai dengan syarat FIFA. Toch bukan hanya JIS yang perlu disiapkan dan renovasi, konon ada 22 stadion yang akan diusulkan ke FIFA juga diperlakukan sama. Jadi menanggapi isu renovasi JIS itu seharusnya biasa-biasa saja. Tidak perlu berujung pada polemik politisasi.

Demikian juga Politisasi JIS adalah fakta nyata. Sekarang ini faktanya renovasi JIS menjadi bahan adu argumentasi para politisi. Itu artinya sudah politisasi. Ini tahun politik pula. Entah siapa yang memulai dan meneruskan politisasi ini, yang jelas renovasi JIS ini terus menjadi narasi para politisi yang sedang berburu insentif elektoral Pemilu, yang mau tidak mau menimbulkan polemik di tengah masyarakat.

Kalau begitu faktanya, bagaimana dengan kita menyikapi polemik renovasi JIS ini? Perlukah meminta dengan hormat kepada politisi dan elit untuk berhenti berpolemik yang memancing gaduh? Atau perlukah kita ikut berpolemik? Saya kira, saat ini lebih baik kita memandang kedua fakta, baik kebutuhan renovasi JIS dan Polemik politisasi JIS, sebagai sesuatu yang membuat kita lebih dewasa dalam berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya, tindakan kita dalam menanggapi isu renovasi JIS ini harus berada pada kerangka yang bertanggung jawab***

*) Penulis adalah Pemerhati yang juga praktisi akuntan dan konsultan hukum.

 

Artikel Terkait