Opini

Perppu No. 2 Thn 2022 Cipta Kerja dan Unjuk Rasa Buruh 10-11 Agustus 2023

Oleh : very - Senin, 14/08/2023 21:08 WIB

Mayjen Tni (Purn) Prijanto. (Foto: Ist)

Oleh: Mayjen Tni (Purn) Prijanto*)

Jakarta, INDONEW.ID - “Persoalan mendesak yang dihadapi negara seperti Indonesia bukanlah habis dan langkanya sumber daya alam, melainkan bagaimana mengalihkan sumber daya alam sebagai modal nasional  menjadi modal sosial untuk mempertinggi kualitas hidup rakyat banyak.’’ (J.A. Katili, Harta Bumi Indonesia).

Menjelang unjuk rasa 10 Agustus 2023, media dihebohkan pernyataan Rocky Gerung atas ajakan unjuk rasa, sehingga menghilangkan persoalan pokok apa di balik unjuk rasa buruh. Dari video yang beredar, unjuk rasa buruh terkait dengan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja atau Perppu No. 2/2022 tentang Cipta Kerja, yang dinilai tidak berpihak kepada buruh.

Mencermati penjelasan Presiden atau pemerintah, bahwa untuk mendukung cipta kerja diperlukan  penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan antara lain pemberdayaan ekosistem investasi. Tentu hal ini juga berkaitan dengan bagaimana menarik para investor asing untuk menanamkan investasinya di sektor sumber daya alam.

Mencermati sinyalemen yang santer, datangnya investor asing yang berkaitan sumber daya alam, tidak saja investasi dana, tetapi juga sistem dan persyaratan lain dari investor. Persoalan yang paling menonjol, penggunaan tenaga kerja asing, dan segala aturan di proyek, bagaikan negara dalam negara. Celakanya ada pernyataan salah satu pejabat negara yang dapat katagorikan pelecehan terhadap kemampuan bangsa Indonesia sendiri, sebagai alasan didatangkannya tenaga kerja asing. Dengan segala kemudahan melalui regulasi, mereka mengeruk sumber daya alam. Bagi bangsa Indonesia yang ingat anak cucu, menilai sungguh mengerikan, memprihatinkan, menakutkan dan mengkhawatirkan.

Kekhawatiran tersebut sejalan dengan Prof. Dr. John Ario Katili, seorang geolog, birokrat, politisi, pendidik dan diplomat, yang lebih dikenal dengan J.A. Katili dalam buku biografinya: ”Harta Bumi Indonesia” menyampaikan pikirannya bahwa persoalan Indonesia yang kaya dengan sumber kekayaan alam adalah bagaimana mengalihkan sumber daya alam sebagai modal nasional  menjadi modal sosial untuk mempertinggi kualitas hidup rakyat banyak. Lebih lanjut John menekankan, bahwa eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam Indonesia secara intensif, janganlah sampai  mengakibatkan peninggalan tanah yang gersang atau padang pasir yang penuh dengan sisa lubang penggalian sumber daya alam, sehingga ditangisi generasi mendatang yang hidup  dalam keadaan miskin dan sengsara. Apa yang disampaikan Prof. Katili benar terjadi. Sisa-sisa eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam ditinggal begitu saja tanpa memperhatikan faktor lingkungan hidup.

Apakah segala kemudahan investasi dalam Undang-Undang Cipta Kerja sudah memperhatikan dampak buruk untuk masa depan anak cucu? Apakah kebijakan yang dituangkan sudah satu nafas dengan Pasal 33 Ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945? Mahkamah Konstitusi  harus menguji substansi materi muatan Undang-Undang Cipta Kerja bukan untuk kebutuhan masa kini  saja, tetapi juga masa depan bangsa.

Dari diskusi di forum akademis diketahui, UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja telah digugat di MK dengan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, dengan amarnya antara lain menyebutkan : “Menyatakan pembentukan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan diucapkan.” Di sini, tampak MK tidak mengadili materi muatan UU Cipta Kerja.  Namun demikian, salah satu makalah menyebutkan UU tersebut diganti Perppu No. 2/2022 dengan  perbaikan materi dengan substansi:

  1. Ketenagakerjaan.
  2. Jaminan produk halal (sertifikat halal).
  3. Harmonisasi dan sinkronisasi dengan UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
  4. Pengelolaan sumber daya air.
  5. Pemerintah Daerah.
  6. Perbaikan non substansi (tehnis penulisan).

Mencermati substansi penyempurnaan tersebut, dimanakah korelasi dengan amar yang memutus undang-undang sebelumnya inkostitusional? Tentu semua berharap, MK pada judicial review atas Perppu tersebut, lebih mencermati  keterkaitannya dengan Pasal 33 UUD 1945. Menilik materi perbaikan dalam Perppu, patut diduga belum menjawab atas putusan MK yang menyatakan UU No. 11/2020 inkonstitusional dan materi muatan Perppu belum menjawab kepentingan buruh, sehingga mereka melakukan unjuk rasa pada 10 dan 11 Agusustus 2023.

Diskusi juga membahas tentang kegentingan memaksa sebagai alasan dikeluarkan Perppu, apakah tepat? Penulis mengatakan tidak tepat, dengan alasan yang disampaikan pada bagian Menimbang huruf g, Perppu No. 2/2022 sebagai kegentingan memaksa: “bahwa dinamika global yang disebabkan terjadinya kenaikan harga energi dan harga pangan, perubahan iklim (climate change), dan terganggunya rantai pasokan (supply chain) telah menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan terjadinya kenaikan inflasi yang akan berdampak secara signifikan kepada perekonomian nasional yang harus direspons dengan standar bauran kebijakan untuk peningkatan daya saing dan daya tarik nasional bagi investasi melalui transformasi ekonomi yang dimuat dalam undang-undang tentang cipta kerja.”

Sebab, dari perspektif ekonomi yang sederhana, bahwa kenaikan energi seperti BBM. sawit, batu bara, dan pangan, dll., memang memicu inflasi ekonomi global, tetapi bagi Indonesia yang ekonominya bertumpu pada ekspor komoditas tersebut, dampak  inflasi global pada gelombang 1 dan 2, secara faktual justru mengalami keuntungan. Sehingga ketika sebelum dikeluarkan Perppu, dapat dikatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih menggembirakan karena memiliki sumber kekayaan alam, dengan harga ekspor yang tinggi, dibanding negara-negara lain yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang buruk,

Ketika beberapa negara terpuruk karena inflasi global, pemerintah dengan bangga menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia, aman dan baik. Sehingga tidak ada satupun proyek nasional yang distop, termasuk pembangunan IKN pun tetap berjalan, bahkan sampai sekarang tetap jalan. Artinya, inflasi global pada gelombang 1 dan 2 sebelum tahun 2022 tidak berpengaruh parah terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Penulis bukan ekonom, tapi beberapa ekonom mengatakan benar. Seorang ekonom yang pernah duduk di kabinet mengatakan, inflasi flobal gelombang 3 mungkin bisa saja mempengaruhi Indonesia, karena bahan import naik, namun gelombang itu tidak terjadi. Hal ini bisa dilihat, tahun 2022 inflasi dunia pun turun. Inflasi AS turun ke 6,5% dan APBN Indonesia membaik.  Dengan demikian tidaklah logis jika di tahun 2022, inflasi global yang sudah lewat digunakan sebagai kegentingan memaksa untuk  dikeluarkannya Perppu No. 2/2022.

Selain indikator tersebut, kalimat yang dimaksud sebagai kegentingan memaksa dengan narasi: “… yang akan berdampak secara signifikan kepada perekonomian nasional,” kalimat ini bersifat hipotesis, atau belum terjadi. Hal ini tidak sesuai dengan Putusan MK No.138/PUU-VII/2009 terkait parameter kegentingan memaksa. Bahwasanya, kegentingan memaksa untuk keluarnya Perppu itu jika keadaan bersifat faktual dan mendesak sehingga harus segera diatasi, jika memakai prosedur biasa terlalu lama dan berakibat buruk, dan ada kekosongan hukum untuk mengatasinya.

Apakah unjuk rasa buruh kemarin karena tidak tepatnya alasan kegentingan memaksa  dikeluarkannya Perppu No.2/2022? Penulis berpendapat bukan. Persoalan kegentingan memaksa tepat atau tidak, hal itu ranah para pakar hukum, politisi dan pembentuk undang-undang lainnya. Bagi buruh hanya minta keadilan untuk hidupnya.

Undang-undang Cipta Kerja dikatakan pemerintah untuk mendatangkan investor, antara lain eksplorasi sumber daya alam. Rakyat melihat bagaimana pemerintah menggelar “karpet merah’’ untuk investor tetapi bagi buruh tidak. Hal inilah yang dinilai perlakuan terhadap buruh tidak adil. Secara sederhana, jika regulasi ada keadilan tentu buruh tidak unjuk rasa. Bagi buruh, unjuk rasa adalah perjuangan untuk hidupnya. Pernyataan pejabat negara adanya tenaga kerja asing dengan perlakuan istimewa, dengan alasan keterampilan tenaga kerja Indonesia tidak memadai, adalah pernyataan yang menyakitkan, karena itu mirip pernyataan penjajah kepada pribumi di jaman kolonial. Mestinya semua pejabat berpikiran seperti JA Katili, bagaimana mengubah modal nasional menjadi modal sosial, untuk menngkatkan kualitas bangsa.

Sesungguhnya materi undang-undang harus memenuhi asas  keadilan. Sebagaimana teori Rousseau, dia mengatakan hakikat asasi dari hukum bukan kemauan golongan tertentu, bukan pula kepentingan orang-orang yang hidup dalam segerombolan yang tidak teratur, dan yang pasti bukan kemauan dan kepentingan orang per orang. Hukum adalah wujud kemauan dan kepentingan umum yakni individu serentak kelompok, yang hidup teratur dalam sistem politik negara. Dengan demikian hukum harus dibuat dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, terkait dengan kapastian hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat seperti keamanan, ketertiban dan kesejahteraan.

Dari perspektif Sosialogi Hukum, bahwasanya hukum itu buatan manusia maka hendaknya hukum itu merupakan kehendak masyarakat/rakyat, sehingga apa yang menjadi tujuan hukum tercapai. Sebagai ilustrasi, Perppu Cipta Kerja yang digugat rakyat di MK dan direspons dengan unjuk rasa besar-besaran, menunjukkan ketidakberpihakan hukum terhadap rakyat, karena miskin pelibatan rakyat, sehingga dirasakan tidak adil. Padahal, soal keadilan terus digulirkan para filsuf Socrates, Aristoteles, Plato, John Rawls dan lain-lain sejak ratusan tahun sebelum masehi sampai abad sekarang. Sedangkan pada Pasal 6 Ayat (1) UU No. 12/2011 pun mengatur materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan beberapa asas, antara lain asas Keadilan.

Dari uraian di atas maka :

  1. Alasan kegentingan memaksa dikeluarkannya PERPPU No. 2 tahun 2022, terlalu dipaksakan, tidak logis dan bertentangan dengan parameter kegentingan memaksa sebagaimana dalam putusan MK.
  2. UU No. 6 Tahun 2023 yang menetapkan Perppu No. 2/2022 menjadi Undang-Undang harus diuji, apakah perbaikan materi telah menjawab amar Putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional?
  3. Apabila hasil uji menunjukkan kegentingan memaksa dikeluarkannya Perppu tidak sesuai hukum dan perbaikan materi belum menjawab bahwa UU Cipta Kerja sudah sesuai dengan UUD 1945, maka Mahkamah Konstitusi tidak perlu ragu untuk mencabut UU Cipta Kerja tersebut, demi bangsa Indonesia ke depan.

*) Penulis adalah Aster Kasad 2006-2007, Wagub DKI 2007-2012.

Artikel Terkait